REFLEKSI:
begini lah kalau partai politik di negara kita masih menggunakan sistem massa, 
bukan pengkaderan.

partai politik seperti GOLKAR saja masih nepotisme. sebagaimana beberapa caleg 
yg masih ada kerabat dgn pucuk pimpinan di partai beringin itu. seperti teo 
sambuaga menjadikan anaknya menjadi caleg. agung laksono pun sperti itu.

apa lagi dgn partai moncong putih spt PDIP yg jelas2 lebih baikan GOLKAR dalam 
hal pengkaderan. sabam sirait contoh nya dari DPP PDIP  anak nya menjadi salah 
satu caleg dan juga pimpinan taruna merah putih yg notabene underbouw nya 
partai moncong putih itu. belum lagi megawati dgn puan maharani yg di prediksi 
akan menggantikannya ke depan di pimpinan PDIP.

yah alih alih begitu lah patron dari politik negeri kita.

selama masih menggunakan massa tanpa pengkaderan percuma. dan kita tahu 
bagaimana negeri kita hancur karna nepotisme sebagaimana jaman suharto. betapa 
luluh lantak nya sistem bila nepotisme subur di negeri ini. orang tidak di 
pandang lagi antara layak atau tidak tapi "siapa anda"? dari siapa anda??

dan itu lah yg dulu terjadi di saat penerimaan ppegawai negeri di negeri kita. 
saat wawancara pasti di tanya,..anda bawaan dari siapa?? kenal orang dalam??
lalu ijazah  yang mati matian di dapat tidak lagi berguna dan berarti.

so, pilih lah partai kader.

partai nya anak muda yg di dirikan atas nama kebersamaan dan penggemblengan   
serta pengkaderan.

pilih Partai Kader Sejati.

di jamin anti nepotisme!!!







--- On Fri, 10/31/08, Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Sunny <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [wanita-muslimah] Fenomena Politik Nepotisme
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Friday, October 31, 2008, 1:36 PM










    
            http://www.radartim ika.com/index. php?mod=article& cat=Opini& 
article=13379



Senin, 27/10/2008 | 04:56 (GMT+9.5)



Fenomena Politik Nepotisme



Selain Korupsi dan Kolusi, salah satu unsur penting yang ingin dibasmi di era 
reformasi adalah Nepotisme. Ironisnya menjelang Pemilu 2009, mereka - mereka 
yang menganggap diri sebagai tokoh - tokoh reformis malah "mewariskan 
kekuasaan" (baca : nepotisme ) melalui partai, kepada keluarga dan krini - 
kroninya.



Kecenderungan menempatkan suami, istri, anak, ipar atau keponakan merupakan 
gejala politik yang akrab terjadi pada era Orde Baru bahkan mungkin masa 
sebelumnya. Di era kekuasaan Soeharto, mantan presiden itu mengangkat putrinya 
sebagai Ketua DPP Partai Golkar dan ditunjuk sebagai menteri. Seorang pengusaha 
dekatnya ditunjuk sebagai anggota kabinet. Di era yang sama, beberapa sanak 
keluarga pejabat atau tokoh ditunjuk menjadi anggota MPR utusan golongan, 
karena sistem politik Orde Baru memberikan peluang untuk itu. Era Orde Baru 
akhirnya tumbang di tangan mahasiswa. Perilaku politik Orde Baru lalu 
meninggalkan isu kroniisme dan nepotisme sebagai isu politik sentral dalam 
panggung politik era reformasi. Menurut Profesor Syamsuddin Haris (Riset Ilmu 
Politik LIPI) - Nepotisme politik secara sederhana dapat diartikan sebagai 
pemberian perlakuan istimewa kepada keluarga sendiri dalam posisi kekuasaan 
politik tertentu, baik di lembaga legislatif, eksekutif,
 maupun yudikatif. (Kompas, 20 October 2008) Jika kita diamati fenomena politik 
jelang Pemilu 2009, sejumlah partai politik masih menerapkan pola kekeluargaan 
"ala Orba" dalam perekrutan tokohnya, baik dalam penentuan calon wakil rakyat 
maupun jabatan politik lainnya. Bahkan, politik kekeluargaan itu kini mengarah 
pada dinasti karena munculnya generasi ketiga atau cucu tokoh dalam penentuan 
jabatan politik, khususnya pencalonan anggota parlemen.



Mencermati Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR, dua cucu mantan Presiden 
Soekarno, Puan Maharani dan Puti Guntur Soekarnoputri, menjadi calon anggota 
DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). PDI-P juga menempatkan 
Megawati Soekarnoputri, anak Soekarno dan ibu Puan, sebagai calon presiden 
untuk Pemilu 2009. Selain itu, sejumlah anggota keluarga Megawati juga menjadi 
calon anggota legislatif (caleg) dari PDI-P.



Sukmawati Soekarno, adik kandung Megawati, yang memimpin Partai Nasional 
Indonesia (PNI) Marhaenisme juga menjadi caleg untuk Daerah Pemilihan Bali. 
Sejumlah politisi lainnya juga menempatkan kerabatnya sebagai caleg. Bukan itu 
saja, Edy Baskoro, putra Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang 
Yudhoyono (SBY); Dave Laksono, putra Wakil Ketua Umum Partai Golkar ditempatkan 
di elite partai pada posisi nomor urut teratas, menyisihkan para kader dan 
aktivis partai yang "berkeringat" serta berjuang dari bawah.



Khawatir



Merebaknya Politik Nepotisme yang akan menciptakan peluang dinasti politik 
dalam tubuh partai telah memunculkan kekhawatiran terhadap praktek Politik 
jenis ini, karena dapat mengebiri perkembangan politik di negeri ini. Menurut 
Profesor Syamsuddin Haris, salah satu dampak dari nepotisme politik dalam 
proses rekrutmen politik adalah tidak kunjung melembaganya partai sebagai 
sebuah organisasi modern dan demokratis. Nepotisme tak hanya menutup peluang 
para kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik 
dari bawah, tetapi juga menjadi perangkap berkembang biaknya personalisasi 
kekuasaan dan kepemimpinan oligarkis partai-partai. Implikasi lain dari 
menguatnya nepotisme dalam rekrutmen politik adalah semakin melembaganya 
praktik korupsi politik dalam arti luas. Apabila para elite terbiasa mengambil 
hak politik para kader dan aktivis partai, yang menjadi korban berikutnya 
adalah rakyat melalui korupsi berjemaah atas dana publik,
 seperti marak dalam sejumlah kasus mutakhir.



Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Arbi Sanit : 
"Politik dinasti, politik klik, harus ditolak. Ketika perangkat demokrasi belum 
berfungsi akan terjebak pada konflik kepentingan atau penyalahgunaan 
kewenangan," 



Menurut dia, politik dinasti juga banyak terjadi di negara yang sudah lama 
menjalankan sistem demokrasi, seperti di Amerika Serikat atau India. Namun, 
yang menjadi persoalan adalah belum adanya kriteria dan standar prosedur 
seleksi pejabat negara yang benar- benar obyektif dan lemahnya kontrol di 
negeri ini. "Kontrol anggaran tidak berjalan, etika politik tidak berjalan, 
oposisi juga tidak berjalan. Semua dapat diterobos oleh dinasti," paparnya. 
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ichlasul Amal berpendapat, 
banyaknya keluarga pemimpin partai atau mantan penguasa yang terjun ke dunia 
politik lebih didorong oleh faktor pragmatisme, bukan ideologi. Hal ini tidak 
menguntungkan bagi kehidupan partai dan pendidikan politik nasional. (Media 
Indonesia - 21 Oktober 2008) Suatu hal yang memberikan gambaran jelas kepada 
kita semua tentang masalah pengkaderan dalam Parpol yang tidak berjalan 
sebagaimana mestinya, akhirnya para petinggi Parpol
 menggunakan cara instan untuk mengapai kursi didewan dan mengawinkannya dengan 
strategi "aji mumpung".



Tanggapan



Memang, Politik Nepotisme atau politik dinasti ini bukan hanya milik Indonesia 
saja. Di negeri kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat, sering disebut klan 
John F Kennedy, George Bush, dan Bill Clinton sebagai pelaku nepotisme. Di Asia 
acapkali dicontohkan keluarga Nehru yang melahirkan Indira Gandhi serta anak 
dan menantu Gandhi yang terjun ke politik, sementara di Pakistan ada keluarga 
Ali Bhutto yang melahirkan Benazir Bhutto dan kini suami serta anaknya juga 
turut berkiprah dalam politik. Kecenderungan hampir sama terjadi di Filipina, 
Thailand, Banglades, dan beberapa negara lain. (Kompas, 20 October 2008)



Sehingga beberapa hari lalu dari Subang, Jawa Barat, Ketua Umum Partai 
Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri berharap majunya anak 
atau keluarga petinggi parpol pada Pemilu 2009 jangan selalu dilihat dari sisi 
negatif. Pandangan itu bisa mencegah pembentukan kader bangsa. Dinasti politik 
juga ada yang baik, seperti keluarga Kennedy di Amerika Serikat atau Nehru di 
India.Ia menyebutkan, putrinya, Puan Maharani, seperti bersekolah di partai. 
"Ia mengikuti saya dari peristiwa Kongres Luar Biasa PDI di Asrama Haji 
Sukolilo, Surabaya, pada 1993. Saat peristiwa 27 Juli 1996, ia juga ikut 
membantu dapur umum di Kebagusan," papar Megawati.



Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla juga menegaskan, tak ada dinasti dalam 
kehidupan partai di Indonesia. Yang ada justru pengaruh keluarga kepada tokoh 
tertentu. "Seperti pengusaha, anaknya juga cenderung menjadi pengusaha. Tentara 
juga demikian karena anaknya berada dalam lingkungan militer. Jadi, jika anak 
Agung Laksono (Ketua DPR), yakni Dave, jadi anggota DPR, itu karena 
lingkungannya setiap hari ia mendengar omongan politik. Semakin lama, ia tentu 
akan tertarik dengan politik," ujarnya.Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan 
Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Jabar Ahmad Kurdi Moekri 
menyatakan, sejumlah caleg keluarga tokoh partainya adalah kader berkualitas. 
Mereka masuk dalam bursa caleg tidak berbekal nama besar orangtua atau 
kerabatnya, tetapi karena aktivitas mereka masing-masing. Hanya Ketua Partai 
Demokrat, Susilo Bambang Yudoyono yang berani mencoret anaknya dari Daftar 
Caleg DPR RI, suatu contoh yang patut ditiru.



Rakyat



Fenomena Politik nepotisme telah memancing berbagai tanggapan, namun suatu hal 
yang perlu diingat adalah dalam sistem politik demokrasi sekarang ini, kita 
tidak ingin menutup hak politik para kerabat tokoh politik yang berkuasa untuk 
muncul dalam panggung politik. Karena apa pun, dalam sistem demokrasi, hak 
untuk berpolitik dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dijamin konstitusi 
sebagai hak asasi manusia. Hal itu juga tercantum dalam International Covenant 
Civil and Political Right yang telah diratifikasi pemerintah. Sekarang saatnya 
rakyatlah yang menentukan pilihannya dalam pemilu mendatang apakah calon - 
calon yang "berbau" nepotisme tersebut benar-benar berkompoten atau hanya 
membonceng nama besar orang tua atau keluarganya ?.



Oleh: Fredrik Wakum. Penulis adalah Koordinator Kompartemen Pendidikan & 
Politik LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) Kabupaten Mimika



[Non-text portions of this message have been removed]




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke