http://www.republika.co.id/koran/0/12147.html


resume :

bisa di bayangin gak, indonesia telah menghadapi berapa kali pemilu presiden 
baik langsung atau gak.

tapi capres kita musti belajar dari amrik ttg hal berdemokrasi dan menerima 
kekalahan. 

ketika mega tumbang dgn sby sebagai anak buah nya yang dia pecat, mega gak 
pernah mengucapkan selamat. boro boro selamat, sekedar mengucap kan "hei" aja 
gak pernah. bila ada undangan yang mengharuskan mereka berdua datang, pasti 
mega liat liat dulu ada sby atau udah pulang gak tuh sby spt saat pernikahan 
anak nya murdaya yang juga fraksi PDIP.

gak usah jauh2 ketika peringatan HUT RI aja mega gak pernah datang ke istana 
dgn banyak alasan, hanya gusdur yang pernah datang.


seorang pengamat efendi ghazali bilang presiden kita itu lucu,..
begitu  ketika sukarno tumbang oleh mahasiswa, lalu naik lah suharto dan 
mereka  saling gak ada tegur sapa,..

ketika suharto tumbang oleh mashasiswa habibie menggantikannya begitu juga dgn 
sukarno, suharto menganggap habibie brutus yang selama ini di besarkan malah 
ngelunjak. lalu habibie pun di larang menjenguk suharto saat kritis di RS.

ketika gus dur naik menggantikan habibie, lalu di tengah jalan tumbang dan di 
gantikan oleh megawati, gusdur balas dendam karna menganggap pengkhianat yang 
selama ini megawati dan PDIP selalu dekat dgn gusdur.

lalu megawati pun harus tumbang di gantikan sby, tradisi kanak kanak 
berlanjut,...
megawati gak mau menyapa sedikit pun,...



obama memang sudah menang, tapi mC Cain itu di hargai dan di hormati dgn 
menghargai kekalahan.

tapi di indonesia ini??

ah, bukan hanya DPR kanak kanak, pemimpin yang ngaku Partai nya embel embel 
demokrasi aja kayak kanak kanak,..

hidup indonesia!!!

hidup kanak kanak

"indonesia kami punya bekas presiden,..presiden nya semua kayak kanak 
kanak,..". (irama lagu taman kanak kanak,...satu dua tiga mulai anak anak,....)

iya buuuuuu,...

bu gulu gulu,..ibu kan ngaku demokrat ko gak kok kanak kanak siehhhh???!!!

ko bu gulu diem,...

 ihh iihhh,..lagu ya ngejawab nya ?? atau gagu,..???


Menghargai Kekalahan                    
                 
                

                                        Erick Thohir
Direktur Utama PT Republika Media Mandiri

Kita,
dan ratusan juta pasang mata di seluruh dunia, baru saja menyaksikan
pesta demokrasi di Amerika Serikat (AS). Sebuah pesta demokrasi yang
tak hanya menentukan masa depan setiap warga negara AS, tapi mungkin
juga akan ikut mewarnai masa depan negara-negara lain. Sebuah pesta
demokrasi yang menyuguhkan sejumput pelajaran berharga tentang
nasionalisme, kekalahan dan kemenangan terkait perebutan kekuasaan.

Rakyat
AS sudah memilih Barack Obama, kandidat dari Partai Demokrat, sebagai
presiden ke-44 AS. Sejak awal masa kampanye, Obama, dan kandidat Wakil
Presiden, Joe Biden, memang diprediksi mampu mengalahkan lawannya, John
McCain dan Sarah Palin, kandidat presiden dan wakil presiden dari
Partai Republik. Faktanya, itulah yang terjadi.

Obama menang
mudah atas McCain. Ini tercermin dari perolehan suara Obama yang cukup
signifikan melebihi perolehan suara McCain. Obama meraih 52 persen
suara dari seluruh pemilih (popular vote) dan 349 suara dari perwakilan pemilih 
(electoral vote). Sedangkan McCain hanya mengantongi 46 persen suara popular 
vote dan 147 suara electoral vote.

Kemenangan
itu, membuat Obama mencatatkan dua sejarah baru sekaligus. Yaitu
menjadi orang berkulit hitam pertama yang mendiami White House sebagai
presiden AS. Juga menjadi kandidat pertama Partai Demokrat yang meraih
suara popular vote lebih dari 50 persen, sejak Jimmy Carter pada 1976. Seluruh 
pendukung Obama pastinya menyambut gembira kemenangan ini.

Pendukung
McCain tentu kecewa. Namun, kekecewaan itu sama sekali tak terlihat
dalam pidato kekalahan McCain. Betul, dia mengaku kecewa dengan
kekalahannya. Tapi itu dianggapnya sebagai hal yang wajar, dan dia
menegaskan pula kekecewaan itu tak akan menjadi hambatan untuk
membangun kembali AS bersama sang presiden baru.

Dalam
pidatonya, McCain mengaku menelepon Obama untuk mengucapkan selamat.
McCain juga mengakui kemampuan lawannya untuk memberikan inspirasi dan
membangkitkan harapan jutaan warga AS. Dia juga menilai Obama mampu
melakukan pencapaian besar bagi AS. Dia bahkan secara personal
menyampaikan simpatinya karena nenek Obama, yang membesarkan Obama, tak
melihat keberhasilan cucunya.

Pujian itu bukan basa basi. McCain
sadar betul, situasi dan kondisi AS saat ini sedang dalam masa sulit.
Karena itu pula, McCain menawarkan bantuan penuh kepada Obama, untuk
membawa AS menghadapi tantangan berat di masa depan. "I pledge to him tonight 
to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face." 
Begitu pernyataan McCain.

Dia
bahkan mengajak seluruh pendukungnya agar membuktikan niat baik serta
kerja keras mereka kepada Obama untuk membantu menata kembali AS.
McCain tak membantah kalau antara dirinya dan Obama masih memiliki
banyak perbedaan pandangan. Tapi perbedaan ini ternyata tak membuat
McCain menghentikan dukungan terhadap Obama sebagai presiden baru. 

Sebaliknya,
kemenangan ternyata tak lantas membuat Obama lupa diri dan merendahkan
lawannya. Obama bahkan memuji McCain sebagai satu dari sekian banyak
warga AS yang pengorbanannya untuk negara tak terperi dan tak pernah
terbayangkan siapapun. Obama menilai McCain sebagai pemimpin yang
berani dan tidak mementingkan diri sendiri. Obama pun siap merangkul
McCain --juga warga yang tak memilihnya-- untuk bersama-sama membangun
kembali AS.

McCain pun tak lantas melontarkan macam-macam
tuduhan kecurangan atas kemenangan Obama. Dia bahkan menegaskan kepada
pendukungnya, kemenangan Obama adalah kemenangan seluruh warga AS.
Sedangkan sang pemenang tak lantas meninggalkan yang kalah. Tak ada
benih-benih konflik yang disebar dari sebuah kekalahan dan kemenangan
memperebutkan kekuasaan. Kedua kandidat justru sedang memperlihatkan
kebesaran seorang negarawan. Keduanya sepakat, ketika bicara
kepentingan nasional AS, tak ada Demokrat atau Republik, tua atau muda,
miskin atau kaya, apalagi hanya sekadar perbedaan ras. Apapun
perbedaannya, Obama dan McCain sama-sama menghembuskan semangat
nasionalisme dan kesatuan sebagai 'warga negara Amerika Serikat'.

Kita
benar-benar sedang menyaksikan sebuah pesta demokrasi yang jauh dari
konflik berkepanjangan. Tak ada saling hujat, apalagi saling
menjatuhkan. Jangankan ajakan untuk anarkis, bahkan nada kemarahan dari
kandidat yang kalah pun sama sekali tak terasa. McCain secara sportif
menerima kekalahan, mengakui keunggulan Obama, juga mengajak
pendukungnya untuk bersama-sama bekerja keras membantu sang presiden
baru. Sebuah peristiwa yang jarang terlihat di negera kita, yang selama
ini dikenal ramah tamah. Wajah ramah tamah dan saling menghormati
negeri ini sering mendadak hilang -berganti menjadi wajah-wajah
emosional penuh kemarahan dan mungkin juga dendam-- ketika bicara
kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika, yang sejak lama menjadi moto negara
ini seringkali jadi kehilangan makna ketika bicara soal kepentingan
golongan atau partai.

Pemilu AS benar-benar telah memperlihatkan
sebuah pelajaran penting. Bukan hanya pelajaran tentang bagaimana
menyelenggarakan pemilu yang memiliki kredibilitas tinggi. Lebih dari
itu, kita sedang menyaksikan bagaimana sikap-sikap seorang negarawan
dipraktikkan secara nyata, bukan sekadar wacana. Pemilu bersejarah di
AS, mestinya membuat kita jadi lebih mampu memaknai sesuatu yang sering
terlupakan ketika kita bicara demokrasi, kekuasaan, dan nasionalisme;
menghargai sebuah kekalahan sekaligus kemenangan. (-)
                                

Index Koran


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke