--- On Fri, 11/7/08, rama yanti <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: rama yanti <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [wanita-muslimah] presiden US dan presiden taman kanak kanak... To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Date: Friday, November 7, 2008, 10:16 PM
http://www.republik a.co.id/koran/ 0/12147.html resume : bisa di bayangin gak, indonesia telah menghadapi berapa kali pemilu presiden baik langsung atau gak. tapi capres kita musti belajar dari amrik ttg hal berdemokrasi dan menerima kekalahan. ketika mega tumbang dgn sby sebagai anak buah nya yang dia pecat, mega gak pernah mengucapkan selamat. boro boro selamat, sekedar mengucap kan "hei" aja gak pernah. bila ada undangan yang mengharuskan mereka berdua datang, pasti mega liat liat dulu ada sby atau udah pulang gak tuh sby spt saat pernikahan anak nya murdaya yang juga fraksi PDIP. gak usah jauh2 ketika peringatan HUT RI aja mega gak pernah datang ke istana dgn banyak alasan, hanya gusdur yang pernah datang. seorang pengamat efendi ghazali bilang presiden kita itu lucu,.. begitu ketika sukarno tumbang oleh mahasiswa, lalu naik lah suharto dan mereka saling gak ada tegur sapa,.. ketika suharto tumbang oleh mashasiswa habibie menggantikannya begitu juga dgn sukarno, suharto menganggap habibie brutus yang selama ini di besarkan malah ngelunjak. lalu habibie pun di larang menjenguk suharto saat kritis di RS. ketika gus dur naik menggantikan habibie, lalu di tengah jalan tumbang dan di gantikan oleh megawati, gusdur balas dendam karna menganggap pengkhianat yang selama ini megawati dan PDIP selalu dekat dgn gusdur. lalu megawati pun harus tumbang di gantikan sby, tradisi kanak kanak berlanjut,.. . megawati gak mau menyapa sedikit pun,... obama memang sudah menang, tapi mC Cain itu di hargai dan di hormati dgn menghargai kekalahan. tapi di indonesia ini?? ah, bukan hanya DPR kanak kanak, pemimpin yang ngaku Partai nya embel embel demokrasi aja kayak kanak kanak,.. hidup indonesia!!! hidup kanak kanak "indonesia kami punya bekas presiden,..presiden nya semua kayak kanak kanak,..". (irama lagu taman kanak kanak,...satu dua tiga mulai anak anak,....) iya buuuuuu,... bu gulu gulu,..ibu kan ngaku demokrat ko kek kanak kanak siehhhh???!! ! ko bu gulu diem,... ihh iihhh,..lagu ya ngejawab nya ?? atau gagu,..??? Menghargai Kekalahan Erick Thohir Direktur Utama PT Republika Media Mandiri Kita, dan ratusan juta pasang mata di seluruh dunia, baru saja menyaksikan pesta demokrasi di Amerika Serikat (AS). Sebuah pesta demokrasi yang tak hanya menentukan masa depan setiap warga negara AS, tapi mungkin juga akan ikut mewarnai masa depan negara-negara lain. Sebuah pesta demokrasi yang menyuguhkan sejumput pelajaran berharga tentang nasionalisme, kekalahan dan kemenangan terkait perebutan kekuasaan. Rakyat AS sudah memilih Barack Obama, kandidat dari Partai Demokrat, sebagai presiden ke-44 AS. Sejak awal masa kampanye, Obama, dan kandidat Wakil Presiden, Joe Biden, memang diprediksi mampu mengalahkan lawannya, John McCain dan Sarah Palin, kandidat presiden dan wakil presiden dari Partai Republik. Faktanya, itulah yang terjadi. Obama menang mudah atas McCain. Ini tercermin dari perolehan suara Obama yang cukup signifikan melebihi perolehan suara McCain. Obama meraih 52 persen suara dari seluruh pemilih (popular vote) dan 349 suara dari perwakilan pemilih (electoral vote). Sedangkan McCain hanya mengantongi 46 persen suara popular vote dan 147 suara electoral vote. Kemenangan itu, membuat Obama mencatatkan dua sejarah baru sekaligus. Yaitu menjadi orang berkulit hitam pertama yang mendiami White House sebagai presiden AS. Juga menjadi kandidat pertama Partai Demokrat yang meraih suara popular vote lebih dari 50 persen, sejak Jimmy Carter pada 1976. Seluruh pendukung Obama pastinya menyambut gembira kemenangan ini. Pendukung McCain tentu kecewa. Namun, kekecewaan itu sama sekali tak terlihat dalam pidato kekalahan McCain. Betul, dia mengaku kecewa dengan kekalahannya. Tapi itu dianggapnya sebagai hal yang wajar, dan dia menegaskan pula kekecewaan itu tak akan menjadi hambatan untuk membangun kembali AS bersama sang presiden baru. Dalam pidatonya, McCain mengaku menelepon Obama untuk mengucapkan selamat. McCain juga mengakui kemampuan lawannya untuk memberikan inspirasi dan membangkitkan harapan jutaan warga AS. Dia juga menilai Obama mampu melakukan pencapaian besar bagi AS. Dia bahkan secara personal menyampaikan simpatinya karena nenek Obama, yang membesarkan Obama, tak melihat keberhasilan cucunya. Pujian itu bukan basa basi. McCain sadar betul, situasi dan kondisi AS saat ini sedang dalam masa sulit. Karena itu pula, McCain menawarkan bantuan penuh kepada Obama, untuk membawa AS menghadapi tantangan berat di masa depan. "I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face." Begitu pernyataan McCain. Dia bahkan mengajak seluruh pendukungnya agar membuktikan niat baik serta kerja keras mereka kepada Obama untuk membantu menata kembali AS. McCain tak membantah kalau antara dirinya dan Obama masih memiliki banyak perbedaan pandangan. Tapi perbedaan ini ternyata tak membuat McCain menghentikan dukungan terhadap Obama sebagai presiden baru. Sebaliknya, kemenangan ternyata tak lantas membuat Obama lupa diri dan merendahkan lawannya. Obama bahkan memuji McCain sebagai satu dari sekian banyak warga AS yang pengorbanannya untuk negara tak terperi dan tak pernah terbayangkan siapapun. Obama menilai McCain sebagai pemimpin yang berani dan tidak mementingkan diri sendiri. Obama pun siap merangkul McCain --juga warga yang tak memilihnya-- untuk bersama-sama membangun kembali AS. McCain pun tak lantas melontarkan macam-macam tuduhan kecurangan atas kemenangan Obama. Dia bahkan menegaskan kepada pendukungnya, kemenangan Obama adalah kemenangan seluruh warga AS. Sedangkan sang pemenang tak lantas meninggalkan yang kalah. Tak ada benih-benih konflik yang disebar dari sebuah kekalahan dan kemenangan memperebutkan kekuasaan. Kedua kandidat justru sedang memperlihatkan kebesaran seorang negarawan. Keduanya sepakat, ketika bicara kepentingan nasional AS, tak ada Demokrat atau Republik, tua atau muda, miskin atau kaya, apalagi hanya sekadar perbedaan ras. Apapun perbedaannya, Obama dan McCain sama-sama menghembuskan semangat nasionalisme dan kesatuan sebagai 'warga negara Amerika Serikat'. Kita benar-benar sedang menyaksikan sebuah pesta demokrasi yang jauh dari konflik berkepanjangan. Tak ada saling hujat, apalagi saling menjatuhkan. Jangankan ajakan untuk anarkis, bahkan nada kemarahan dari kandidat yang kalah pun sama sekali tak terasa. McCain secara sportif menerima kekalahan, mengakui keunggulan Obama, juga mengajak pendukungnya untuk bersama-sama bekerja keras membantu sang presiden baru. Sebuah peristiwa yang jarang terlihat di negera kita, yang selama ini dikenal ramah tamah. Wajah ramah tamah dan saling menghormati negeri ini sering mendadak hilang -berganti menjadi wajah-wajah emosional penuh kemarahan dan mungkin juga dendam-- ketika bicara kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika, yang sejak lama menjadi moto negara ini seringkali jadi kehilangan makna ketika bicara soal kepentingan golongan atau partai. Pemilu AS benar-benar telah memperlihatkan sebuah pelajaran penting. Bukan hanya pelajaran tentang bagaimana menyelenggarakan pemilu yang memiliki kredibilitas tinggi. Lebih dari itu, kita sedang menyaksikan bagaimana sikap-sikap seorang negarawan dipraktikkan secara nyata, bukan sekadar wacana. Pemilu bersejarah di AS, mestinya membuat kita jadi lebih mampu memaknai sesuatu yang sering terlupakan ketika kita bicara demokrasi, kekuasaan, dan nasionalisme; menghargai sebuah kekalahan sekaligus kemenangan. (-) Index Koran [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]