Jawa Pos

 Kamis, 04 Desember 2008 ] 

Pencitraan SBY dalam Ibu Guru Muslimah 


Tim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sungguh jeli dalam memanfaatkan 
momentum. Ibu Guru Muslimah yang kini sangat terkenal seiring dengan populernya 
novel dan film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dibawa ke Jakarta untuk 
dianugerahi Satyalancana Pendidikan.

Sungguh, memberikan penghargaan kepada "nama top" seperti Ibu Guru Muslimah 
untuk saat ini akan lebih banyak bermanfaat daripada memberikannya kepada nama 
Ibu/Bapak Guru Anu yang namanya tidak populer. Rakyat akan mudah menengok 
peristiwa penghargaan tersebut. Dan, si pemberi penghargaan (SBY) pun akan 
mendapatkan tengokan serupa.

Nah, di sinilah proses pencitraan akan terbangun. Bila dikaitkan dengan 
kepentingan popularitas menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, manfaat 
pencitraan positif seperti itu jelas akan banyak. Dan, SBY yang sudah 
membulatkan tekad untuk maju lagi dalam Pilpres 2009 jelas sangat membutuhkan 
hal tersebut.

Kita tidak hendak mengatakan bahwa pemberian penghargaan kepada Ibu Guru 
Muslimah adalah berbau politis. Terlalu dini kalau kesimpulan itu ditarik. 
Hanya, ada sedikit ganjalan terkait dengan peristiwa tersebut. Ibu Guru 
Muslimah yang semula muncul dan populer dalam karya fiksi mendadak bisa muncul 
di alam nyata. Tidak tanggung-tanggung, kemunculannya langsung menyeruak di 
pusaran kekuasaan. Betapa hebatnya!

Dalam konteks novel dan film Laskar Pelangi, sosok Ibu Guru Muslimah memang 
sangat luar biasa. Kreatif, inovatif, tangguh, dan penuh dedikasi. Namun, 
benarkah gambaran ideal itu sebanding lurus dengan kenyataan di lapangan?

Bagi Andrea, si penulis novel, bisa jadi sosok Ibu Guru Muslimah mungkin 
sedemikian luar biasa. Dan, karena keluarbiasaan itulah, Andrea terilhami untuk 
membuat sebuah karya fiksi yang dilatarbelakangi kisah nyata. 

Namun, karena yang dibuat Andrea adalah karya fiksi, kendati mirip, ia tetap 
bukan yang sesungguhnya. Artinya, penggambaran di novel bisa jadi tidak luput 
dari emosi dan subjektivitas yang didorong perasaan cintanya yang begitu besar. 
Sehingga, tidak tertutup kemungkinan adanya penggambaran yang melebihi kadar 
yang semestinya.

Jika asumsi itu benar, tentu Andrea tidak bisa dipersalahkan. Bukankah dia 
tetap mengategorikan hasil karyanya sebagai karya fiksi, bukan sejarah? 

Karena itu, beruntunglah Ibu Guru Muslimah yang kebetulan memiliki murid 
seperti Andrea. Sebab, dari karya fiksi muridnya itulah, dia kini menerima 
penghargaan sangat tinggi dari negara.

Di sisi lain, bersabarlah guru yang kebetulan tidak seberuntung Ibu Guru 
Muslimah. Kendati perjuangan, kreasi, inovasi, dan dedikasinya bisa jadi sama 
atau bahkan melebihi Ibu Guru Muslimah. Namun, karena tidak memiliki murid yang 
sehebat Andrea, nasibnya menjadi berbeda.

Untuk sekadar mengurangi "ganjalan", tidak ada salahnya bila kini kita mencoba 
berbaik sangka bahwa pemberian Satyalancana Pendidikan kepada Ibu Guru Muslimah 
tidak hanya dirujukkan pada karya fiksi Laskar Pelangi. Namun, didasarkan pada 
data-data akurat dan penelitian yang mendalam.

Sungguh sangat sedihnya kita bila sampai pemberian penghargaan itu hanya 
didasarkan pada sebuah karya fiksi. Sebab, kalau hal tersebut sampai terjadi, 
sama artinya negara Indonesia -yang wujud di alam nyata ini- digeser dan 
dimasukkan ke alam fiksi. Sungguh, semoga hal itu tidak benar! (*)


 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke