Refleksi: Siapa saja di Indonesia diantara para petinggi negara NKRI yang tidak mempunyai pompa bensin? Mungkin mereka bisa memberikan jawaban yang tepat mengapa lebih mahal dari di USA.
http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2008120623213516 Minggu, 7 Desember 2008 BURAS 'Engke Kumaha, Kumaha Engke!' H. Bambang Eka Wijaya "HARGA bensin di Amerika Serikat (AS) lebih murah daripada di Indonesia!" ujar Umar. "Di AS, bensin per galon atau 3,8 liter 1,773 dolar, jika pakai kurs 5 Desember 2008 per dolar Rp11.670, per liter jadi Rp5.450. Padahal di sini per liter Rp5.500!" "Itu cerminan pola pikir penentu harganya!" sambut Amir. "Di sini penentu harga berpikir kumaha engke--nanti bagaimana? Nanti bagaimana kalau begini, lalu saat dapat kesimpulan kembali ragu, bagaimana pula kalau begitu? Itu penyebab harga bensin yang sudah turun lebih separo dari harga tertingginya, 147 dolar per barel pada Juli, kini sudah mendekati 40 dolar, penyesuaian harganya di sini tetap maju-mundur!" "Di AS pola pikirnya bagaimana?" sela Umar. "Selain di AS harga berlaku real time, biasa di bursa saham harga menit dan detik ini yang berlaku, menit dan detik berikutnya beda, penguasa minyak di AS bukan pemerintah, tapi orang-orang Texas yang berpikir kumaha engke--bagaimana nanti saja! Apa yang seharusnya dilakukan saat itu lakukan, risiko urusan belakang!" "Apa yang mengganjal pola pikir penentu di negeri kita, dalam hal ini pemerintah, hingga segalanya diputus terlambat dengan akibat jadi sudah kurang relevan?" tanya Umar. "Pemerintah sini berpikir sebagai penguasa, belum sepenuhnya administrator, sehingga orientasi setiap pengambilan putusannya kepentingan kekuasaan!" tegas Amir. "Prinsipnya, action is power! Nuansa untung-rugi kekuasaan kental dalam tiap kebijakan! Salah satunya kebijakan harga bensin--makin dekat pemilu penurunan harganya, kian besar keuntungan bisa dipetik penguasa!" "Jadi setiap action harus punya aspek power signifikan bagi penguasa?" timpal Umar. "Pokoknya engke kumaha, jangan sekalipun merugikan kepentingan kekuasaan!" sambut Amir. "Soal keputusan jadi terlambat hingga nyata merugikan rakyat yang membayar bensin lebih mahal dari harga internasional, tak masalah! Sebab jauh lebih penting dari itu, kekuasaan harus selalu diuntungkan!" "Tapi, lepas kaitannya dengan kepentingan kekuasaan, model kumaha engke--rawe-rawe rantas malang-malang putung seperti Bung Karno telah memberi pengalaman pahit bangsa kita!" tukas Umar. "Jadi pemimpin model engke kumaha justru menjadi antitesis dari model yang terbukti gagal tersebut!" "Kebutuhan bangsa mungkin bukan antitesis, tapi sintesis! Bukan hantam kromo, tapi juga tak terlalu lamban!" timpal Amir. "Jadi yang proporsional, segala sesuatu diantisipasi dan diputuskan tepat waktu dan tepat sasaran!" "Tapi itu perlu dibiasakan juga!" tukas Umar. "Kalau belum terbiasa malah bisa seperti antisipasi krisis global dengan SKB 4 Menteri tentang Perburuhan, bukannya mengatasi masalah, malah menambah ruwet masalah!" "Itu antisipasi tepat waktu, tapi tak tepat sasaran!" timpal amir. "Model action is power, memperkuat aliansi penguasa-pengusaha dengan mengorbankan buruh!" tegas Amir. "Cari kesempatan dalam kesempitan!" [Non-text portions of this message have been removed]