PERLAKUAN TERHADAP WANITA (Diambil dari buku "Riwayat Hidup Muhammad" karya Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad)
Rasulullah s.a.w. sangat berhasrat memperbaiki keadaan wanita di tengah masyarakat, menjamin mereka mendapat kedudukan terhormat dan perlakuan wajar lagi pantas. Islam adalah agama pertama yang memberikan hak waris kepada wanita. Al-Qur'an menjadikan anak-anak perempuan, bersama-sama dengan anak-anak lelaki, ahli waris kekayaan orang tua mereka. Demikian pula ibu menjadi ahli waris harta benda peninggalan anak laki-laki atau anak perempuan; dan seorang istri jadi ahli waris harta-benda suaminya. Jika seorang saudara laki-laki menjadi ahli waris harta-benda saudaranya yang meninggal, maka saudara perempuan juga jadi ahli waris harta-benda itu. Tidak ada agama sebelum Islam begitu jelas dan tegas dalam menjamin hak waris wanita dan hak memiliki harta kekayaan. Dalam Islam, seorang wanita menjadi pemilik mutlak harta-bendanya sendiri dan suaminya tak dapat mempunyai hak sedikit pun mengendalikan harta-benda itu hanya semata-mata karena alasan ia suaminya. Seorang wanita bebas sepenuhnya bertindak atas harta-bendanya menurut kehendaknya sendiri. Rasulullah s.a.w. begitu berhati-hati mengenai perlakuan terhadap wanita, sehingga mereka yang ada di sekitar beliau, yang sebelumnya tidak biasa memandang kepada wanita sebagai kawan dan mitra, merasa sukar untuk menyesuaikan diri pada standar yang Rasulullah s.a.w. begitu menghendaki sekali supaya dilaksanakan dan dipelihara. Sayyidina Umar meriwayatkan, "Istriku kadang-kadang berusaha mencampuri urusanku dengan memberi saran dan usul, dan aku biasa memarahinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arab tidak pernah mengizinkan istrinya mencampuri urusannya. Ia membantah, "Masa itu telah lewat. Rasulullah s.a.w. mengizinkan istri-istri beliau memberi saran dan usul dalam urusan beliau dan beliau tidak melarangnya. Mengapa engkau tidak mengikuti contoh beliau?" Maka aku biasa menjawab: Mengenai Aisyah, Rasulullah s.a.w. sangat senang kepadanya, tetapi mengenai anakmu (Hafsah), jika ia berbuat demikian, pada suatu hari ia akan menderita oleh kelancangannya. Telah terjadi bahwa sekali peristiwa Rasulullah s.a.w. marah, karena suatu sebab memutuskan untuk hidup pisah dari istri-istri beliau, untuk sementara waktu. Ketika aku mengetahui itu kukatakan kepada istriku: Apa yang kutakutkan telah terjadi. Kemudian aku pergi ke rumah anakku, Hafsah, dan mendapatkannya sedang menangis. Kutanyakan apa sebab-sebabnya, dan apakah Rasulullah s.a.w. telah menceraikan. Ia menjawab, "Aku tak tahu apa-apa tentang perceraian, tetapi Rasulullah s.a.w. telah memutuskan untuk hidup pisah, untuk sementara waktu, dari kami semua. "Aku katakan kepadanya, Bukankah aku telah sering mengatakan bahwa kau jangan begitu lancang seperti Aisyah terhadap beliau, sebab Rasulullah s.a.w. sangat mencintai Aisyah, tetapi kau agaknya telah menerima akibat yang aku khawatirkan". Kemudian aku menghadap Rasulullah s.a.w. dan melihat beliau sedang berbaring di atas tikar kasar. Beliau pada waktu itu tidak memakai kemeja dan pada tubuh beliau nampak kesan tapak tikar. Aku duduk dekat beliau dan berkata, "Ya Rasulullah! Kaisar dan Kisra tidak berhak menikmati karunia Ilahi sedikit pun, tetapi walaupun demikian, mereka hidup dalam kemewahan; sedangkan anda, sebagai Rasul Allah, begitu sengsara. Rasulullah s.a.w. menjawab, "Itu tidak benar. Dan Utusan-utusan Allah tidak diharapkan akan menggunakan waktunya dalam kesenangan. Kehidupan demikian hanya pantas untuk raja-raja duniawi". Kemudian aku menyampaikan kepada Rasulullah apa yang terjadi antara istriku dan anakku. Mendengar hal itu Rasulullah s.a.w. tertawa dan bersabda, "Tidak benar aku telah menceraikan istri-istriku. Aku hanya memandang ada baiknya kalau hidup untuk sementara waktu pisah dan mereka" (Bukhari, Kitab al-Nikah). Beliau begitu hati-hati mengenai perasaan wanita-wanita sehingga sekali peristiwa, ketika beliau memimpin sembahyang dan mendengar seorang anak menangis, beliau menyelesaikan shalat secepat mungkin. Beliau menerangkan kemudian bahwa ketika beliau mendengar tangisan anak itu, beliau membayangkan bahwa ibu anak itu tentu amat gelisah, dan oleh karena itu beliau menyelesaikan shalat itu dengan cepat sehingga ibu itu dapat pergi ke anaknya dan mengurusnya. Jika dalam salah satu perjalanan beliau ada pula wanita-wanita ikut serta, beliau senantiasa memberi petunjuk supaya kafilah bergerak lambat dan berhenti secara bertahap. Pada suatu kesempatan serupa itu ketika orang-orang ingin sekali maju cepat, beliau bersabda, "Perhatikan kaca! Perhatikan kaca!" dengan maksud mengatakan bahwa ada wanita-wanita dalam rombongan dan bahwa jika unta-unta dan kuda-kuda berlari cepat, mereka itu akan menderita dan bantingan-bantingan binatang-binatang itu (Bukhari, Kitab al-Adab). Pada suatu pertempuran timbul kekacauan di tengah barisan-barisan berkuda dan binatang-binatang itu pun tidak terkendalikan. Rasulullah s.a.w. jatuh dari kuda, begitu pula beberapa wanita jatuh dari tunggangan mereka. Seorang dari antara sahabat-sahabat yang mengendarai unta amat dekat di belakang Rasulullah s.a.w., turun dengan meloncat dan berlari-lari kepada Rasulullah s.a.w. sambil berteriak. "Biarlah aku berkorban untuk anda, ya Rasulullah." Kaki Rasulullah s.a.w. masih tersangkut di sanggurdi. Beliau melepaskan dengan segera kaki itu dan bersabda, "Jangan perdulikan aku, lekas tolong wanita-wanita itu." Sesaat sebelum beliau wafat, salah satu dari perintah yang ditujukan kepada kaum Muslimin dan sangat ditekankan oleh beliau ialah, mereka hendaknya senantiasa memperlakukan wanita dengan baik dan kasih sayang. Beliau seringkali dan berulang-ulang mengatakan, jika seseorang mempunyai anak-anak perempuan dan ia telah berusaha agar mereka mendapat didikan dan ia berusaha keras memelihara mereka, Tuhan akan menyelamatkannya dari siksaan neraka (Tirmidhi). Telah menjadi kebiasaan pada orang-orang Arab memberi siksaan jasmani kepada wanita atas tiap-tiap kesalahan kecil. Rasulullah s.a.w. mengajarkan bahwa wanita itu sama seperti pria selaku makhluk Tuhan dan bukan budak kaum pria dan tidak boleh dipukul. Tatkala wanita-wanita mengetahui hal itu, ulah mereka menjadi sama sekali terbalik dan mulai berani membantah kaum pria dalam segala hal, akibatnya ialah dalam beberapa rumah kedamaian dan ketenteraman rumah tangga senantiasa terganggu. Sayyidina Umar menerangkan hal itu kepada Rasulullah s.a.w., dan berkata bahwa kecuali jika kaum wanita kadang-kadang boleh dihukum, mereka akan menjadi susah diatur dan tidak ada yang mengendalikan lagi. Karena ajaran Islam yang bertalian dengan perlakuan terhadap wanita-wanita belum diturunkan, Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika seorang wanita bertindak melampaui batas, ia boleh dihukum. Hal itu pada gilirannya menjadikan kaum pria, dalam beberapa hal, kembali ke pada kebiasaan-kebiasaan Arab kuno. Sekarang datang lagi giliran kepada kaum wanita untuk mengeluh dan mereka membentangkan kesusahan kepada istri-istri Rasulullah s.a.w. Akibatnya, Rasulullah s.a.w. menyesali kaum pria dan mengatakan kepada mereka bahwa siapa yang memperlakukan wanita-wanita secara tidak baik, tidak mungkin dapat menarik keridhaan Ilahi. Kemudian hak-hak wanita ditetapkan, dan untuk pertama kalinya wanita mulai diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang mandiri dengan hak mereka masing-masing (Abu Daud, Kitab al-Nikah). Mu'awiyah Al Qusyairi meriwayatkan, "Aku menanyakan kepada Rasulullah s.a.w., hak apa istriku dapat menuntut dari padaku?" dan beliau menjawab, "Berilah dia makan dari apa-apa yang Tuhan telah merezekikan kepadamu dalam urusan makan, dan berilah dia pakaian yang Tuhan telah menganugerahkannya kepadamu dalam urusan pakaian, dan janganlah menyiksa atau memaki-maki atau mengusirnya dari rumahmu." Beliau begitu berhati-hati tentang perasaan wanita sehingga beliau senantiasa menganjurkan kepada orang-orang yang harus melakukan perjalanan supaya menyelesaikan urusan secepat-cepatnya dan pulang selekas mungkin sehingga wanita-wanita dan anak-anak mereka tidak akan menjadi resah karena pisah lebih daripada yang benar-benar diperlukan. Jika beliau pulang dari perjalanan, beliau biasa datang siang hari. Jika beliau kembali dari perjalanan sedang hari hampir malam, beliau biasa berkemah dahulu di luar Medinah pada malam itu sebelum masuk kota di waktu pagi esok harinya. Beliau mengatakan juga kepada para Sahabat bahwa jika mereka pulang dari suatu perjalanan, mereka hendaknya tidak pulang secara tiba-tiba tanpa memberi khabar lebih dahulu tentang kedatangan mereka kembali (Bukhari dan Muslim). Dalam memberikan petunjuk-petunjuk, beliau ingat akan kenyataan bahwa hubungan antara dua jenis kelamin itu bagian besar dipengaruhi oleh perasaan. Dalam waktu suami tidak ada di rumah, seorang wanita mungkin sering lalai mengurus badan sendiri dan pakaiannya, dan jika suaminya tiba-tiba pulang tanpa diduga-duga, maka perasaan halus wanita mungkin akan tersinggung. Dengan memberi petunjuk bahwa jika seseorang pulang dari perjalanan hendaklah berusaha datang ke rumah pada siang hari dan lebih dahulu memberi kabar kepada anggota-anggota keluarga tentang kedatangannya, beliau meyakinkan bahwa anggota-anggota keluarga akan siap menerima anggota keluarga yang pulang itu dengan cara yang layak. Salam, MAS http://www.alislam.org