http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2009/03/14/krn.20090314.159565.id.html

Menunggu Argumentasi Prabowo
Jum'at, 13 Maret 2009 | 23:48 WIB


Keberatan Prabowo terhadap biografi Letnan Jenderal (Purn.) Sintong Panjaitan 
sebaiknya segera dituangkan pula dalam sebuah buku. Jawaban-jawaban singkat 
Prabowo Subianto kepada pers, apalagi sambil bercanda, tidaklah memadai. 
Penjelasan yang serius amat diperlukan demi transparansi sejarah.


Tuduhan Sintong dalam bukunya bertajuk Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando 
tak bisa dianggap enteng. Salah satunya mengenai tudingan bahwa Prabowo pernah 
berencana menculik petinggi TNI. Kisah ini didasari pengakuan Luhut Panjaitan, 
saat itu mayor infanteri, atasan langsung Prabowo di Kopassus. Diungkapkan, 
pada Maret 1983, Kapten Inf. Prabowo, Wakil Komandan Detasemen Antiteror, 
bertingkah laku aneh. Ia seperti seorang yang tengah stres dan menganggap 
negara dalam keadaan genting. 


Menurut Luhut, tanpa memberi tahu dirinya, Prabowo telah menyiapkan pasukan 
detasemen untuk menculik Letjen L.B. Moerdani dan sejumlah perwira TNI. Itu 
karena ia melihat Moerdani bakal melakukan kudeta merebut takhta Soeharto. 
Tanda-tandanya, Moerdani memasok senjata dalam jumlah besar ke Jakarta. Luhut 
kurang percaya kepada informasi ini. Ia akhirnya berhasil mencegah tindakan 
Prabowo dengan membubarkan status siaga detasemennya.


Ketika dimintai konfirmasi oleh wartawan, Prabowo mengelak. Ia menyatakan tak 
mungkin seorang kapten seperti dirinya saat itu ingin menculik jenderal. 
Bantahan seperti ini tidak cukup. Apalagi Luhut sampai ingat betul kata-kata 
Prabowo: "Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang kapten dan seorang 
mayor."


Data yang dihimpun Hendro Subroto, penulis buku biografi Sintong itu, cukup 
meyakinkan. Pembaca dapat melihat kutipan yang jernih dari berbagai sumber. 
Memang sumber utama, Benny Moerdani, yang telah meninggal, tak sempat 
diwawancarai. Tapi banyak sumber lain yang masih hidup yang bisa dimintai 
konfirmasi.


Mendekati pemilu, penerbitan buku ini memang bisa dianggap upaya memojokkan 
citra Prabowo sebagai calon presiden dari Partai Gerindra. Tapi kita harus 
melihat pula dari sisi lain. Munculnya buku seperti ini merupakan hal wajar 
dalam masyarakat terbuka. Dalam iklim demokrasi, para pelaku sejarah justru 
dituntut berani membeberkan kesaksiannya atas suatu peristiwa penting. 


Ketika disingkirkan dari TNI pada 1998, Prabowo suatu kali dalam sebuah 
wawancara pernah memetaforakan dirinya bagaikan anak bungsu Raja Hidetora dalam 
film Ran besutan Akira Kurosawa, adaptasi dari King Lear karya Shakespeare. 
Anak bungsu itu mengingatkan sang ayah bahwa ia bakal dikudeta. Tapi infonya 
tak dipercaya, malah ia dianggap mengada-ada dan kemudian disingkirkan. 
Sebaliknya, Sintong dalam buku itu dengan tajam menyebut Prabowo bagaikan putra 
Saddam. Setelah Maret 1983 itu, menurut dia, seharusnya Prabowo ditindak. Tapi 
kenyataannya TNI tak berani mengambil tindakan apa pun, karena segan Prabowo 
menantu Presiden Soeharto.


Khalayak ingin tahu mana yang benar, apakah Prabowo "putra bungsu King Lear" 
ataukah "anak Saddam". Polemik berbentuk buku merupakan cara terbaik. Tak hanya 
berguna bagi publik, tapi juga demi kejernihan sejarah TNI. Itu sebabnya, 
penjelasan lengkap versi Prabowo amat ditunggu.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke