http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/LU/mbm.20090309.LU129739.id.html

03/XXXVIII 09 Maret 2009

Perseteruan Para Kolaborator
Sutan Sjahrir dan Jenderal Sudirman berselisih paham meraih dan mempertahankan 
kedaulatan. Pernah saling tangkap, walau akhirnya saling mengagumi.
RAUT wajah Jenderal Sudirman menegang ketika membaca pamflet Perdjuangan Kita, 
sekitar November 1945. Pamflet itu merupakan program politik Sutan Sjahrir lima 
hari sebelum menjadi perdana menteri. Sjahrir menegaskan kemerdekaan penuh bisa 
diraih lewat diplomasi. Cara yang akan ditempuhnya pertama-tama "menyingkirkan 
semua kolaborator Jepang". 

Sudirman marah karena Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang dipimpinnya tak 
lain bentukan Jepang. "Pernyataan itu kurang bijak dan menyinggung perasaan 
kalangan PETA," katanya kepada Adam Malik seperti tertuang dalam buku Mengabdi 
Republik (1978). "Jika diplomasi itu memecah persatuan kita, saya tak segan 
mengambil kebijakan sendiri." 

Sejak itu perseteruan Sudirman-Sjahrir tak terelakkan. Sudirman kemudian 
bergabung dengan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan, kelompok yang menampung 
141 wakil organisasi politik, tentara, dan pemuda radikal. Keduanya menjadi 
penentang paling keras politik diplomasi Sjahrir. Mereka mendesak Presiden 
Soekarno memecatnya. 

Sudirman menganggap Sjahrir mengkhianati cita-cita proklamasi karena 
diplomasinya menyodorkan opsi pengakuan kemerdekaan kepada Jawa dan Madura 
saja, juga pembentukan Republik Indonesia Serikat. Menurut Sudirman, mestinya 
Sjahrir mendesak Belanda, Inggris, dan Sekutu mengakui kedaulatan seluruh 
wilayah Indonesia, setelah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik. 

Oposisi itu mengeras karena Soekarno-Hatta ternyata lebih condong kepada jalan 
Sjahrir. Orang Persatuan Perjuangan bahkan menuding Soekarno mengendalikan 
politik Sjahrir dari jauh. 

Di tengah situasi panas itu, Muhammad Yamin yang merapat ke kubu Persatuan 
menemui Bung Karno di Istana Negara. Pertemuan yang ditafsirkan upaya makar itu 
kian menggolakkan suhu politik. Sjahrir mendadak meletakkan jabatan perdana 
menteri. Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menangkap 12 pemimpin Persatuan. 
Bung Karno menyatakan keadaan darurat perang. 

Tentara yang pro-Persatuan membalas penangkapan itu dengan menculik Sjahrir 
yang sedang berkunjung ke Solo pada 27 Juni 1946. Dengan kembali memimpin 
pemerintahan, Soekarno meminta Sjahrir dibebaskan. Untuk sementara perseteruan 
mereda sampai Soekarno kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri, 2 
Oktober 1946. 

Perseteruan antarpemimpin sipil itu kian terbuka. Para pemuda Persatuan bahkan 
baku tembak dengan tentara ketika mencegat mobil yang ditumpangi Amir 
Sjarifoeddin. 

Sjahrir, sementara itu, tetap melanjutkan diplomasi dengan menggelar 
Perundingan Linggarjati, Renville, hingga Konferensi Meja Bundar. Para 
penentangnya menuding perjanjian itu gagal dan memberi Sekutu peluang lebih 
lama bercokol di Indonesia. Sementara oleh pendukungnya, Sjahrir dianggap 
sukses karena soal pendudukan ini tetap menjadi isu internasional. 

Rosihan Anwar, misalnya, menilai Sudirman terlalu terpengaruh gerakan radikal 
pendukung Tan Malaka, yang menginginkan konfrontasi. Menurut Rosihan, wartawan 
harian Pedoman dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia, Sjahrir bukan tak 
sadar pertikaian di dalam itu melemahkan program politiknya sendiri. 

Suatu kali, November 1946, Sjahrir meminta Sudirman yang sedang bergerilya di 
hutan-hutan Yogyakarta datang ke Jakarta. Sjahrir menawarkan gencatan senjata 
dengan Sekutu. Di luar dugaan, Sudirman mau dengan ajakan itu. "Tapi dia cuma 
sampai Cirebon," kata Rosihan, kini 87 tahun, tiga pekan lalu. "Dia takut 
ditangkap tentara Sekutu." 

Sjahrir kembali meyakinkan bahwa Sudirman adalah pemimpin yang dihormati 
sehingga tak mungkin ditangkap. Kali ini bujukan itu dipenuhi Sudirman. Ia 
keluar dari hutan dan menemui Sjahrir di Istana. 

Dengan gaya flamboyannya, Sjahrir menyambut jenderal besar yang paru kirinya 
sudah mati itu dengan upacara megah. "Saya lihat dia kagum dengan cara Sjahrir 
memperlakukannya," kata Rosihan. Setelah pertemuan itu Sudirman melunak dan tak 
lagi menyangka Sjahrir bersekongkol dengan Sekutu. 

Menjelang meninggal, Januari 1950, Sudirman mengatakan kepada Sultan Hamengku 
Buwono IX, yang menjenguknya saat sakit, bahwa Sjahrir adalah pemimpin besar 
yang pantas memimpin Republik. "Saya dengar cerita ini dari Sultan sekitar 
Februari 1950," kata Rosihan.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke