Indonesia Menjadi Obyek "Wisata Seks" Terpopuler Bagi Turis Arab

http://www.eramuslim.com/berita/dunia/indonesia-menjadi-obyek-wisata-seks-te
rpopuler-bagi-turis-arab.htm

 

 

Minggu, 19/04/2009 17:06 WIB

 

 Cetak |  Kirim 

 

 

Riyadh, Naif. Ketika Indonesia menjadi obyek dakwah dan ladang persemaian
gerakan-gerakan Islam yang berasal dari negara-negara Arab, di sisi yang
lain Indonesia juga menjadi obyek "wisata seks" yang sangat populer bagi
turis-turis Arab.

 

Dan lebih naifnya lagi, praktik ini dilegalkan oleh salah satu fatwa ulama
mereka. Salah satu ulama yang melegalkan praktik demikian adalah Syaikh
Abdullah bin Baz, ulama yang menjadi rujukan penting kalangan
salafi-wahhabi.

 

Baru-baru ini, Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra'aya)
Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mendesak Badan Pembesar Ulama (Hay'ah
Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk mengeluarkan fatwa
yang menyikapi maraknya fenomena "pernikahan" para lelaki Saudi dengan
perempuan Indonesia "yang diniatkan adanya talak (cerai) setelahnya" (nikah
bi niyyat at-thalaq).

 

Khalid al-Arrak, Kepbid Bimas Kedutaan Saudi di Jakarta menyatakan, pihaknya
khawatir jika fenomena yang marak di kalangan lelaki negaranya itu kian hari
kian merebak dan tak dapat dikontrol.

 

Harian Saudi Arabia al-Wathan (16/4) melansir, fenomena "nikah dengan niat
talak di belakangnya" yang dilakukan oleh para lelaki Saudi dengan perempuan
Indonesia itu sangat populer.

 

Al-Arrak menyatakan, para lelaki Saudi yang melakukan praktik ini tidak lagi
memperhatikan undang-undang yang berlaku terkait pernikahan, karena mereka
justru menyandarkan perbuatan mereka terhadap salah satu fatwa ulama yang
melegalkannya. "Mereka melakukan pernikahan ini dengan bersandar pada fatwa
ulama yang membolehkan nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat
at-thalaq)," ungkap al-Arrak.

 

Sayangnya, dari pihak perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktik ini
sebagai ladang pekerjaan. Lagi-lagi kemiskinan dan susahnya hidup yang
melilit mereka adalah dendang usang kaset lawas yang dijadikan dalih.
"Perempuan Indonesia beranggapan jika menikah dengan lelaki Saudi, sekalipun
kelak akan diceraikan, dipandang sebagai solusi sesaat untuk mendulang uang
dan jalan pintas untuk dapat keluar dari jerat kemiskinan," tambah al-Arrak.

 

Yang lebih disayangkan lagi, di Indonesia sendiri banyak tersebar
kantor-kantor "siluman" yang memfasilitasi praktik pernikahan edan ini,
lengkap dengan modin, saksi, dan wali palsu dari calon pengantin perempuan.

 

Kedutaan Saudi di Jakarta sendiri telah mencatat setiaknya 82 pengaduan pada
tahun lalu, ditambah 18 pengaduan tahun ini yang diajukan oleh para "mantan
istri" perkawinan ini, yang ternyata menghasilkan anak.

 

Meski tidak tercatat secara resmi di Kedutaan, namun pihaknya siap untuk
memfasilitasi anak-anak yang diadukan itu untuk dapat pergi ke Saudi, negara
bapak mereka berasal, dengan memberikan tiket dan visa masuk gratis.

 

Tetapi, dalam banyak kasus, para bapak mereka (pria Saudi) tidak akan
mengakui kalau anak-anak tersebut adalah darah daging mereka, karena tidak
adanya bukti-bukti legal dan lengkap dari pihak keluarga perempuan di
Indonesia.

 

Salah seorang korban dari paktik ini, Isah Nur (24), mengaku pernah dinikahi
pria Saudi saat ia berusia 16 tahun. Sekarang ia telah menjanda, dan
meneruskan profesi lamanya sebagai "istri yang dinikahi sesaat untuk
kemudian diceraikan" dengan menjalani kehidupan malam.

 

Lebih naif lagi, Isah mengaku senang saat dulu dinikahi pria Saudi tersebut,
karena orang-orang Saudi dipercaya memiliki dan membawa berkah. "Umat Islam
di Indonesia menganggap orang Mekkah dan Madinah memiliki dan membawa
berkah," katanya.

 

Isah juga menambahkan, mayoritas pria Saudi yang melakukan praktik
pernikahan ini menyetorkan mahar sekitar Rp. 3 hingga 6 juta, atau setara
dengan RS. 2300, jumlah yang sangat kecil sekali bagi ukuran pendapatan
orang-orang Saudi, sebanding dengan uang saku anak sekolah. Namun, bagi
penduduk Indonesia, jumlah tersebut sangat besar.

 

Pada mulanya, Isah dan keluarganya mengaku sama sekali tidak mengetahui jika
pria Saudi yang menikahinya itu hanya akan menikmati tubuhnya saja, dengan
berpedoman pada fatwa bolehnya "menikah dengan niat bercerai".

 

Pernikahan antara mereka sendiri hanya berlangsung beberapa saat waktu saja,
untuk kemudian sang pria Saudi itu meninggalkan Isah bersama seorang anak
kecil hasil hubungan mereka.

 

"Saat meninggalkan kami, pria itu hanya memberikan uang Rp. 3 juta," tutur
Isah.

 

Kedubes Saudi juga menjelaskan, jika kasus pernikahan model demikian hanya
terjadi pada 20% populasi pernikahan pria Saudi dengan wanita Indonesia.

 

"Selebihnya resmi dan legal," tutur al-Arrak.

 

Praktik "pernikahan dengan niat bercerai sesudahnya" ini benar-benar naif,
dan lebih naif lagi dilegalkan oleh fatwa ulama. Indonesia adalah tempat
terpopuler untuk obyek praktik ini bagi orang-orang Arab, karena dipandang
paling murah dan paling mudah. Praktik demikian sejatinya tak jauh beda
dengan prostisusi, prostisusi yang kemudian terlegalkan oleh fatwa ulama.
dan salah satu lokasi wisata favorit bagi turis-turis Arab untuk melegalkan
praktik tersebut adalah kawasan puncak dan sekitarnya. (wtn/arby/L2)



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke