Salam...
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa tidak ada diantara umat islam yang menentang dan mempersoalkan keadilan Ilahi dalam tataran substansi. Kalaupun terjadi perbedaan dan perselisihan, ini biasanya terjadi hanya karena masalah tafsiran saja. Salah satu perbedaan tafsir yang terjadi tentang keadilan Ilahi adalah tafsir antara kaum Mu`tazilah dengan Asy`ariah. Kedua kelompok ini melihat perosalan ini sedemikian rupa, sehingga menimbulkan perselisihan yang sebenarnya tidak perlu dan patut untuk kita sesali bersama. Bagi Mu`tazilah, mereka percaya bahwa pada hakikatnya ada tindakan atau perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya adalah ‘adil’ dan sebaliknya, ada juga tindakan dan perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya ‘tidak adil’. Sebagai contoh, kalau Allah memberikan pahala pada orang yang taat dan yang berbuat baik serta memberikan hukuman kepada para pendosa, maka tindakan Allah ini disebut adil, dan Allah memang Maha Adil. Dia (Allah) memberikan penghargaan terhadap yang taat dan menghukum terhadap yang bersalah, dan mustahil Allah akan melakukan hal yang sebaliknya. Memberikan pahala kepada yang berdosa (bersalah) dan menghukum yang taat, karena perbuatan sedemikian sungguh adalah suatu perbuatan yang tidak adil, dan Allah mustahil berbuat seperti itu. Demikian juga dengan contoh yang lain, misalnya kehendak bebas. Tidak mungkin Allah menciptakan makluk yang tidak mempunyai kehendak bebas, lalu kemudian menciptakan perbuatan dosa dengan tangan makhluk itu dan setelah itu menghukumnya. Itu adalah perbuatan tidak adil, Allah tidak mungkin dan tidak pantas untuk melakukan tindakan yang seperti itu. Demikian juga penentangan mereka tentang tauhid af`ali (keesaan perbuatan) yang didengung-dengungkan oleh kelompok asy`ariah. Bagi Mu`tazilah yang jika kaum asy`ariah tetap bersikeras dengan pendapat mereka tentang tauhid af`ali maka kontra argumennya adalah : Jika memang betul keesaan perbuatan, maka berarti semua perbuatan-perbuatan manusia itu pada dasarnya dilakukan oleh Allah, dan kalau memang betul semuanya dilakukan oleh Allah termasuk segerobak perbuatan dosa itu adalah menjadi tanggung jawab Allah semata. Kenapa pula Allah kemudian menghukum manusia atas perbuatan-Nya sendiri, bukankah itu suatu tindakan yang tidak adil? , Dia yang berbuat dosa, kok manusia yang dihukum. Mana mungkin Allah melakukan hal serupa itu, itu adalah suatu tindakan yang tidak adil dan tidak pantas untuk dilakukan oleh Allah, karena Allah itu adalah Maha Adil. Dan secara otomasi yang namanya tauhid af`ali itu sungguh sangat bertentangan dengan akidah keadilan Ilahi. Kemudian dari itu, atas nama akidah keadilan Ilahi, kaum mu`tazilah dengan gigihnya mempromosikan contoh-contoh yang lain dan yang lebih umum seperti sifat ‘keindahan’ dan ‘keburukan’, ‘baik’ dan ‘buruk’. Menurut pandangan Mu`tazilah, bahwa pada dasarnya sifat-sifat itu ada pada perbuatan. Sifat jujur, ramah, murah senyum dan lagi tidak sombong misalnya, pada dasarnya adalah suatu sifat yang memang sudah dari sononya memiliki kualitas yang baik. Sedangkan sifat-sifat mudah cemberut, ngambekan, pembohong, munafik, tidak senonoh dan juga porno pada dasarnya memang sudah merupakan suatu sifat yang ndak baik dan buruk pula. Karena itu maka bisa disimpulkan bahwa pada hakikatnya suatu perbuatan itu sebelum ada hukum atau penilaian Allah terhadapnya sekalipun, perbuatan-perbuatan semacam itu memang sudah dari ‘sono’nya memang telah menjadi sifatnya. Konsekuensi logis dari ‘pemikiran’ tersebut adalah bahwa sesungguhnya akal manusia, setidak-tidaknya sebagian akan mampu untuk membedakan sebelah mana yang baik dan sebelah mana pula yang buruk tanpa perlu harus selalu mengacu kepada syariat (hukum) . Rentetan dari pemikiran ini berlanjut kepada pertentangan yang sengit ke ranah teologi lainnya, misalnya : apakah Allah menciptakan suatu eksistensi itu mempunyai maksud dan tujuan atau tidak. Kaum Mu`tazilah mengklaim kalau Allah menciptakannya tanpa maksud dan tujuan, maka sungguh itu adalah suatu perbuatan yang meng-ada-ada (qabih) dan karena itu mustahil menurut akal yang sehat. Juga perkara yang lain, mungkinkah Allah akan memberikan tugas kepada manusia yang mana tugas tersebut sesungguhnya berada diluar batas kemampuan manusia untuk memenuhinya? Menurut Mu`tazilah , ini juga termasuk hal yang qabih, meng-ada-ada dan mustahil. Persoalan yang aneh seperti itu tidak masuk akal. Tidak mungkin Allah memberikan suatu tugas semacam itu kepada manusia. Selanjutnya, apakah dalam persoalan keimanan seseorang bisa atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya seorang kafir menjadi muslim? Atau sebaliknya apakah seseorang bisa atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya seorang preman kemudian berubah menjadi ustadz? Jawaban-nya jelas dan pasti, BISA! Karena jika seseorang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut, maka tidak adil kalau Allah menghukum orang atas perbuatan jahatnya sementara orang itu sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk merubah situasinya. Salam, Iman K. www.parapemikir.com ______________________________________________________________________ Search, browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel. http://sg.travel.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]