Tulisan yang bagus. Sudah lama, mungkin kita sudah pernah membaca, tapi
tetap menarik untuk dibaca ulang.. Semoga.
Wassalaam,
-Ning
 
ANDAI KARTINI KHATAM MENGAJI

Tepatkah  jika  setiap  21  April  di  peringati  dengan  acara-acara
wanita  berkebaya  dan  lomba  berbusana  ala  kartini  di
sekolah-sekolah  maupun  di  lingkungan  perkantoran?  Aktivis perempuan
sudah menobatkan R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi. Dia
digambarkan sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan
agar mempunyai hak yang sama dan sejajar dengan kaum pria. Pada bulan
April tokoh ini kembali diangkat sembari terus mendorong perempuan
Indonesia untuk menempati posisi-posisi yang biasanya didominasi oleh
pria. Bagai gayung bersambut, kaum perempuan Indonesia pun bergegas
mencari peluang karir setinggi-tingginya, tanpa peduli harus
mengorbankan keluarga maupun harga dirinya. Benarkah semua ini sejalan
dengan perjuangan Kartini?

Agaknya kesimpulan ini terlalu terburu-buru. Mengenal Kartini salah
satunya dengan membaca buku kumpulan surat-surat Kartini kepada
sahabat-sahabatnya di Negeri Belanda. Dalam buku ini tampak bahwa
Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat yang kuat di
lingkungannya. Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga tidak
seharusnya adat-istiadat membedakan berdasarkan asal-usul keturunannya.,
" Peduli  apa  aku  dengan  segala  tata  cara  itu?  Segala  peraturan
semua  bikinan  manusia,  dan  itu  menyiksa  diriku  saja. Kau  tidak
dapat  membayangkan  bagaimana  rumitnya  etiket  di dunia  keningratan
Jawa  itu...Tapi  sekarang  mulai  dengan  aku,  antara  kami (Kartini,
Roekmini,  &  Kardinah)  tidak  ada  tata  cara  lagi.  Peerasaan  Kami
sendiri  yang  akan  menentukan   sampai  batas-batas  mana  cara
liberal  itu  boleh  di  jalankan". [ Surat  Kartini  kepada  Stella, 18
Agustus  1899] .

Kebencian  Kartini  terhadap  segala  bentuk  etiket  yang
diskriminatif,  mendorongnya  untuk  mengintip nilai-nilai yang  berlaku
di  kalangan  temen-teman  Belandanya. Memang, pada awalnya Kartini
begitu mengagungkan kehidupan liberal di Eropa yang tidak dibatasi
tradisi sebagaimana di Jawa. ." Orang  kebanyakan meniru  kebiasaan
orang  baik-baik.  Orang  baik-baik  itu  meniru  perbuatan yang  lebih
tinggi  lagi,  dan  mereka  itu  meniru  yang  tertinggi  pula  ialah
orang  Eropa." [ Surat  Karini  Kepada  Stella, 25  Mei  1899].

Tahun-tahun  terakhir  sebelum  wafat,  kartini  menemukan  jawaban
atas  pertanyaan   yang  bergejolak  dalam  hatinya.  Ia  mencoba
mendalami  ajaran  yang  di  anutnya,  yaitu  ISLAM.  Ajaran  Islam pada
awalnya   tak  mendapat  tempat  di  benak  kartini.  Hal  ini  di
karenakan  pengalaman  yang  tak  mengenakkan  dengan  sang  Ustadzah.
Sang  Ustadzah  menolak  menjelaskan  makna  ayat  yang  di  ajarkannya.
" Mengenai  agamaku  Islam,  Stella,  aku  harus  menceritakan  apa?
Agama  Islam  melarang  umatnya  mendiskusikannya karena  nenek
moyangku  Islam.  Bagaimana  aku  dapat  mencintai  agamaku,  kalau  aku
tidak  mengerti,  tidak  boleh  memahaminya?  Al-Qur'an  terlalu  suci,
tidak   boleh  di terjemahkan  ke dalam  bahasa  apapun. Di sini  tidak
ada  orang  yang  mengerti  bahasa  Arab.  Di  sini  orang  di  ajar
membaca  Al-Qur'an tetapi  tidak  mengerti  apa  yang  di  bacanya.
Kupikir,  pekerjaan  orang  gilakah,  orang  di  ajar  membaca  tapi
tidak  di  ajar  makna  yang  di bacanya  itu.  Sama  saja  halnya
seperti  engkau  mengajarkan  aku  buku  bahasa  inggris,  aku  harus
hafal  kata  demi  kata,  tetapi  tidak  satu patah  kata pun  yang
engkau  jelaskan  kepadku  apa  artinya.  Tidak  jadi  orang  soleh pun
tidak  apa-apa.  Asalkan  jadi  orang  yang  baik  hati,  bukankah
begitu  Stella?" [  Surat  Kartini  kepada  Stella,  3  November  1899].

Namun,  pertemuannya  dengan  KH. Muhammad  Sholeh  bin  Umar, seorang
ulama  besar  dari  Darat  Semarang,  telah  mengubah  segalanya.
Kartini  tertarik  dengan  terjemahan  surat  Al-fatihah  yang  di
sampaikan  Kyai.  Kartini  pun  mendesak  salah  satu  pamannya  untuk
bertemu  dengan  sang  Kyai.  Berikut  adalah  petikan  dialog  Kartini
dengan  Kyai  Soleh  Darat,  yang  di tulis  oleh  Nyonya  Fadhilla
Sholeh,  Cucu  Kyai  Sholeh  Darat.  "  Kyai,  perkenakanlah saya
menanyakan,  bagaimana  hukumnnya  apabila  seseorang  yang  berilmu,
namun  menyembunykan  Ilmunya?"  Tertegun  Kyai  Soleh  Darat  mendengar
perkataan  Kartini  yang  di  ajukan  secara  diplomatis  itu.    "
Mengapa  Raden  ajeng  bertanya  demikian?"  Kyai  Soleh  berbalik
Tanya.                  Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku
sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk al-Quran yang
isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa
syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa
para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran
dalam bahasa Jawa? bukankah al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup
bahagia dan sejahtera bagi manusia?" Begitu komentar Kartini ketika
bertanya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat. 

Setelah  pertemuannya  dengan Kartini, Kyai  Soleh  Darat  tergugah
untuk  menerjemahkan   Al-Qur'an  ke dalam  bahasa  Jawa.  Pada  hari
pernikahan  Kartini,  beliau  menghadiahi  terjemahan  Al-Qur'an
(Faizhur  Rohman  Fit  Tafsiril Qur'an),  jilid  pertama  yang terdiri
dari  13  juz,  mulai  dari  surat  Al-Fatihah  sampai  dengan  surat
Ibrahim.  Mulailah  Kartini  mempelajari  Islam  dalam  arti  yang
sesungguhnya.  Tapi  sayang  tidak  lama  setelah  itu,  Kyai  Spleh
Darat  meninggal  dunia,  sehingga  belum  selesai  di  terjemahkan
seluruh  Al-Qur'an  ke  dalam  bahasa  Jawa.

Andai  saja  Kartini  sempat  mempelajari  keseluruhan  ajaran  Islam
(Al-Qur'an)  maka  tidak  mustahil  jika  ia  akan  menerapkan
semaksimal  mungkin  semua  kandungan  ajarannya.  Kartini  sangat
berani  untuk  berbeda  dengan  tradisi  adatnya  yang  sudh  terlanjur
mapan.  Kartini  juga  memiliki  modal  ketaatan  yang  tinggi  terhadap
ajran  Islam.  Pada  mulanya,  beliau  adalah  sosok  paling  keras
menentang  poligami.  Tetapi  setelah  mengenal  ajran  Islam,  beliau
mau  menerimanya.

Setelah sedikit mengenal Islam, Kartini justru mengkritik peradapan
masyarakat Eropa dan menyebutnya sebagai kehidupan yang tidak layak
disebut sebagai peradaban. Pemikiran Kartini berubah, yang tadinya
menganggap Barat (Eropa) sebagi kiblat, lalu menjadikan Islam sebagai
landasan dalam pemikirannya. Hal ini setidaknya terlihat dari [Surat
Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902] yang isinya berbunyi, "Sudah
lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami,
apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah
Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu
terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?"
.Demikian juga dalam [ Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
yang isinya, "Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat
agama lain memandang agama Islam patut disukai."

Dalam suratnya Kartini meminta pemerintah Hindia Belanda memperhatikan
nasib pribumi dengan menyelenggarakan pendidikan. Kartini memiliki
cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum
perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan
diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk
kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses
untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya. Ini
sebagaimana terlihat dalam tulisan [ Surat  Kartini kepada Prof. Anton
dan Nyonya pada 4 oktober 1902], yang isinya, "Kami di sini memohon
diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan
sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi
saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan
pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang
pertama-tama."

Ia mengungkap hal yang sama kepada sahabat-sahabatnya, terutama
pendidikan bagi kaum perempuan. Hal ini karena perempuanlah yang
membentuk budi pekerti anak. Berulang-ulang Kartini menyebut perempuan
adalah istri dan pendidik anak yang pertama-tama. Dia memaksudkan
keinginannya mengusahakan pendidikan dan pengajaran agar perempuan lebih
cakap dalam menjalankan kewajibannya dan tidak bermaksud menjadikan
anak-anak perempuan menjadi saingan laki-laki. Tidak ada keinginan
Kartini untuk mengejar persamaan hak dengan laki-laki dan meninggalkan
perannya dalam rumah tangga. Bahkan ketika ia menikah dengan seorang
duda yang memiliki banyak anak, Kartini sangat menikmati tugasnya
sebagai istri dan ibu bagi anak-anak suaminya. Inilah yang membuat
Stella, sahabatnya, heran mengapa Kartini rela menikah dan menjalani
kehidupan rumah tangganya.  

Setelah mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi
al-Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT (yang artinya),
"...mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)
.(QS al-Baqarah [2]: 257)," yang diistilahkan Armyn Pane dalam
tulisannya dengan, "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Demikianlah, Kartini adalah sosok yang mengajak setiap perempuan
memegang teguh ajaran agamanya, dan meninggalkan ide kebebasan yang
menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Kini jelas apa yang diperjuangkan
aktivis jender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan dan
meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah
Kartini telah disalahgunakan sesuai dengan kepentingan mereka. Kaum
Muslim telah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan dan
kesetaraan jender.

Jadi, kaum Muslimah saat ini harus kembali pada Islam, menjalankan
tugasnya sebagai ibu dan istri sekaligus menyadarkan Muslimah yang lain
agar tidak tertipu ide jender yang sejatinya merendahkan martabat
mereka, membahayakan generasinya serta menjauhkan dari agamanya. ( Dari
berbagai  Sumber).



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke