http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=14166:budaya-politik-ketokohan-di-saat-rakyat-menghukum-parpol-n-irwansyah-hasibuan&catid=115:tokoh&Itemid=122
Budaya Politik Ketokohan; Di Saat Rakyat Menghukum Parpol n Irwansyah Hasibuan Pemilu 9 April 2009 baru berlalu. Mata terbelalak melihat perolehan Partai Demokrat melejit 3 kali lipat, 20% lebih dibanding perolehan 2004 yang sedikit di atas 7%. Dalam banyak sejarah Pemilu di dunia, perolehan angka yang demikian spektakuler, biasanya di dapat dari praktik rejim otoritarian, atau angka-angka kecurangan yang penuh intimidasi dan kekerasan terhadap pemilih. Indonesia lewat Pemilu legislatif 2009, agaknya berhasrat mengukir sejarah lain. Rejim Indonesia Bersatu dipimpin SBY tidak otoriter. Bahkan cenderung santun. Partai Demokrat sepanjang 2004-2009 ini, tidak menunjukkan prestasi menggembirakan di berbagai jenjang dari DPRD Kab/Kota, Propinsi, hingga DPR RI. Pilkada yang banyak menyebar di tanah air, juga tidak dominan diisi oleh kampiun-kampiun Partai Demokrat. Terjadi, kejutan yang menghentak akal sehat. Dari mana dan apa penyebab angka-angka yang membuhul ini semua? Budaya Politik Ketokohan Jauh sebelum kelahiran Sang Fajar -Bung Karno- politik di anut bangsa ini, condong pada sang tokoh. Subject politic culture atau budaya politik ketokohan. Budaya politik yang pada dirinya, bersemayam harapan seketika (instant) untuk bangkit dari segala keterpurukan dan ketertinggalan, menggelorakan semangat untuk membebaskan diri dari penjajahan dan penindasan. Dahulu, gerakan millenari semacam ini, terkategori tradisional. Sepenuhnya bergantung pada mitos dan simbol-simbol tradisi yang hidup di masyarakat. Di zaman post modernis dewasa ini, kita belum juga beranjak dari politik ketokohan menuju politik kewargaan, civic politic culture. Padahal beberapa prasyarat yang dibutuhkannya telah terpenuhi. diantaranya sistem politik negara yang modern di topang oleh sistem pendidikan yang modern pula. Jika Bung Karno begitu menjanjikan dan masih dikenang dengan baik oleh sebagian anak bangsa, Pak Harto dengan tangan besi-nya, membangun negeri ini. Kemudian harus dihentikan oleh gelombang reformasi untuk digantikan dengan Habibi. Naiknya Gus Dur lewat jurus poros tengah di Parlemen. Akhirnya jurus itu pula yang menjatuhkannya untuk digantikan oleh Megawati -faktanya- SBY bisa langgeng memenuhi usia periodik kekuasaannya tanpa harus dihentikan di tengah jalan. Sepanjang sejarah Indonesia modern dan di tengah sistem pemilu yang lebih demokratis, baru kali ini tampaknya kita melewati satu fase kepemimpinan yang menang bertarung (setidaknya Partainya) dan seakan-akan siap untuk memimpin kembali. Ketokohan SBY dan akhirnya PD mampu meraup suara terbesar. Ditunjukkan oleh kesuksesan pilihan-pilihan kebijakan politik kerakyatan yang dilakukannya seperti BLT, Raskin, Jamkesmas, dana BOS dan PNPM. Padahal, angka kemiskinan seperti yang dijanjikan di 2004 tak kunjung tercapai (target 15 juta jiwa. Kini masih berkisar 40-an juta jiwa), angka pengangguran yang mau ditekan sekecil mungkin malah membengkak ditahun ini saja mencapai 11% (1% setara dengan 400.000 orang pencari kerja). Pertumbuhan ekonomi yang melambat pada kisaran 3,5% tahun 2009 ini dan kesemuanya itu diikuti prestasi yang memalukan. Indonesia, sebagai penghutang terbesar di dunia untuk Bank Pembangunan Asia. Jika membandingkan antara pilihan kebijakan politik kerakyatan yang ia tempuh dengan banyaknya target yang meleset dari janji semula yang ia lontarkan di 2004. Sesungguhnya akal sehat sangat sulit untuk menerima kemenangan PD yang fenomenal ini. Kendati demikian, untuk tak terjebak pada logika linear belaka, kita telisik bagaimana sesungguhnya budaya politik itu, bersemayam pada kebanyakan pemilih di tanah air. Absennya Pendidikan Politik Telah menjadi pengetahuan umum, sesungguhnya Parpol belum melakukan pendidikan politik secara baik dan memadai terhadap rakyat. Kesibukan Parpol baru kelihatan saat bermuktamar/musyawarah/kongres, Pemilu Legislatif, Pilkada dan Pilpres. Selebihnya, para pemilih yang tadinya menambatkan harapan pada parpol yang dia pilih. Kembali menjadi massa apung yang kehilangan pegangan. Para konstituen yang terfragmentasi, harus berjalan sendiri dengan keyakinannya, sembari menilai apakah pada Pemilu mendatang masih bersama Parpol pilihannya atau justru berpindah ke Parpol lain. Pemilu 2009, 38 Parpol Nasional dan 6 Parlok di NAD, sesungguhnya tidak menunjukkan ciri-ciri signifikan dan perbedaaan ideologis mencolok antara satu Parpol dengan Parpol lainnya. Politik aliran yang selama ini menjadi penanda nasionalis dan partai berbasis agama, kini di pandang rakyat sebagai hal yang biasa-biasa saja dan perbedaannya hanya setipis kulit bawang. Pancasila yang menjadi falsafah bangsa dan menjadi asas bagi kebanyakan Parpol, tak jua dipribumisasikan menjadi landasan nilai dan etos dalam podium politik, dimana Parpol beraliran nasionalis, seharusnya berkiprah. Demikian pula pada Parpol beraliran agama. Justru nilai-nilai keagamaan dan pandangan theofani yang seharusnya tegak kokoh pada kejujuran dan keadilan, kian abu-abu di hadapan rakyat. Rakyat menjatuhkan penilaian. Sesungguhnya, Pemilu ini agenda para elite politik termasuk Parpol, bukan agenda rakyat itu sendiri. Bila bukan agenda rakyat, sesungguhnya tak terbentuk ikatan menguat antara pemilih dengan Parpol yang banyak ini. Akibat longgarnya ikatan, rakyat menjadi bebas menjatuhkan pilihan sekenanya, tanpa beban apalagi penyesalan. Rakyat kemudian dihadapkan pada satu-satunya pilihan, yakni dengan memandang pragmatis dan menjeneralisir defenisi politik, kekuasaan adalah kebendaan (uang). Bila anda bisa duduk di parlemen dengan bebas menggunakan fasilitas negara, kini saatnya kami menuntut anda (parpol dan caleg) untuk bertekuk lutut di hadapan kami, sembari memenuhi tuntutan-tuntutan yang kami ajukan. Begitulah situasi yang ada sekarang ini. Menjadi beruntung bila berada pada barisan SBY dengan kebijakan politik kerakyatannya, karena no 31 terpatri kuat di sanubari rakyat, termasuk untuk perwakilan daerah. Bagi yang berada di luar itu, pertarungan menjadi sengit dan akhirnya banyak kolom di surat suara yang kosong melompong. Hak-Hak Sipil dihilangkan? Ribut soal DPT, tak bisa didiamkan begitu saja. Memilih dan dipilih dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi. Disini letak soal sesungguhnya. Pengabaian, terjadi terhadap hak-hak sipil, sebagian warga negara yang sesungguhnya sah untuk disertakan dalam Pemilu. Dari 171 juta lebih pemilih, diperkirakan 20-an juta pemilih yang dipaksa menjadi Golput. Untuk Sumut saja, bila sedikitnya setiap TPS 30 jiwa pemilih yang dipaksa Golput. Dari 29.018 TPS yang ada, terdapat 870.540 jiwa kehilangan hak memilih. Sungguh angka yang tak sedikit. Bukan sekadar angka, karena Golput terpaksa ini, jiwa-jiwa merdeka yang dilindungi konstitusi. Merehabilitasi suara pemilih yang dipaksa tidak ikut memilih dalam Pemilu 2009, sepatutnya dipikirkan secara matang oleh penyelenggara Pemilu. Tidak lagi mempertontonkan kepandiran seperti yang disimak rakyat 2 minggu terakhir ini. Presiden mengatakan KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk segera memperbaiki DPT. Depdagri, menjadi sumber DPT sebelumnya, menyatakan telah memberikan wewenang dan waktu cukup bagi KPU, untuk memutakhirkan data. Sikap saling lempar ini, justru mempercepat kematangan antipati rakyat banyak terhadap penyelenggara negara. Pemilu yang buruk hanyalah menghasilkan kualitas legislatif yang buruk pula. Bila ini terus diperpanjang hingga Pilpres nanti, jangan-jangan kita akan mendapatkan sosok Presiden dan Wakil Presiden yang minus legitimasi. Sulit untuk menyatakan Pemilu Legislatif, berjalan baik-baik saja dan harus diterima dengan lapang dada. Bila angka Golput (termasuk yang dipaksa) berkisar 40% atau bahkan lebih, itu artinya ada 68,4 juta jiwa (sengaja maupun tidak) yang menganggap parlemen 2009-2014 kurang/tidak legitimate. Jumlah ini melampaui pencapaian PD yang hanya ditopang setengahnya atau 35,5 juta jiwa. Angka menyeramkan ini menjadi lampu kuning bagi Parpol. Pembangkangan sosial bisa saja muncul dalam kurun waktu 2009-2014 mendatang. Bukan tidak mustahil skalanya kian meluas. Pembangkangan sosial, dalam terminologi politik berupa perlawanan bagi kekuasaan. Dalam gerakan kebudayaan akibatnya bisa lebih jauh dari sekadar pergantian kekuasaan. Dia bisa menyentuh pada elemen paling asasi pada penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Pudarnya kepercayaan pada negara, bisa mematangkan perubahan ke arah lebih tajam dan radikal. Bila pembangkangan sosial ini terlepas dari terminologi politik, menjadi sebuah kepatutan bila kepercayaan terhadap Parpol kian melemah. Segenap keributan terjadi seperti pada Pemilu 2009 ini, rakyat memosisikan dirinya sebagai penonton, bersikap pasif di tepi podium politik sembari menanti adegan-adegan selanjutnya. Tidak mengherankan bila media juga hanya sedikit menangkap reaksi yang muncul dari rakyat sebagai akibat ketidakberesan penyelenggaraan Pemilu kali ini. Kebanyakan yang ribut hanya Parpol dan para caleg. Hukum sosial memang sedang berlangsung. Kali ini Parpol dan caleg menanggung akibatnya. Menjadi tidak fair bila kita mendengar parpol maupun caleg menyalah-nyalahkan rakyat. Saat Parpol absen melakukan pendidikan politik terhadap rakyat, pada saat yang sama seperti sekarang ini, rakyat justeru menghukum nya dengan menggampangkan semua hal. Apakah itu dengan sengaja memperpendek daya ingat kolektif, maupun mentertawakan semua keadaan yang absurd ini. Di balik hukuman yang ditimpakan rakyat sekarang ini, saatnya Parpol untuk berbenah diri dengan menyingsingkan lengan baju setinggi-tingginya. Parpol harus mengagendakan pemulihan DPT dan rehabilitasi para pemilih yang dipaksa Golput dengan Pemilu susulan. Bukan mempertontonkan jurus koalisi semata, terbaca dengan mata telanjang hanya untuk mengincar kekuasaan. Parpol jangan membiarkan DPT ini berlalu begitu saja, sembari berharap mereka bisa disertakan dalam DPT Pilpres. Jika pola ini masih dilakukan, jangan kembali salahkan rakyat manakala Pilpres mendatang jumlah Golput kian membengkak. Rakyat sedang mengantongi satu kemenangan saat ini. Dia mampu memperpendek daya ingat kolektif secara sadar, sembari menertawakan kekuasaan. Baginya, ini semua agenda elite. Tokh setelah kekuasaan berjalan -seperti biasanya- janji akan ditebarkan dan pelanggaran demi pelanggaran dipertontonkan. Dalam posisi minus mallum, rakyat masih tetap mengikuti demokrasi prosedural dengan apa adanya. Diundang datang, tak diundang tak mengapa! Meminta rakyat pro aktif melapor ke Kelurahan untuk memastikan dirinya sebagai pemilih pada Pilpres mendatang, tampaknya hal itu juga bukan agenda rakyat. Selama ini rakyat sudah terbiasa mengikuti proses Pemilu yang dimanja (proyek)kan. Kok tiba-tiba di minta aktif ke RT/RW untuk memastikan dirinya masuk dalam DPT? Apa tidak bisa diproyekkan lagi? Ini bahasa baru sebuah kekuasaan yang manipulatif, yang menempatkan dirinya pertama-tama bersih dan penuh prestasi. Oleh karenanya meminta rakyat dengan kesadaran penuh untuk aktif memperjuangkan hak-hak konstitutifnya. Kenapa kekuasaan yang terus menerus menuntut pada rakyat? Penulis; Seorang Budayawan tinggal di Bogor [Non-text portions of this message have been removed]