Jawa Pos
[ Kamis, 28 Mei 2009 ] 

Ancaman Pers, Kini Premanisme 
Oleh: Maya Susiani *)

... kekerasan terhadap pers, yang mengganggu kerja-kerja jurnalistik, muaranya 
akan membuat masyarakat tidak memperoleh haknya untuk mendapatkan informasi..

---

Sungguh menyedihkan membaca berita terus berulangnya kekerasan terhadap pers. 
Publik tentu sedih membaca berita pembunuhan wartawan Radar Bali (Jawa Pos 
Group) Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa. Pembunuhan terhadap Prabangsa 
terkait pemberitaan yang pernah diturunkan korban tentang penyimpangan proyek 
atau kasus korupsi di Dinas Pendidikan Bangli (Jawa Pos, 26-27/5/2009).

Untuk kali kesekian, ini menjadi preseden buruk bagi dunia pers. Aksi tidak 
manusiawi terhadap Prabangsa tentu bukan satu-satunya. Memang, kehidupan pers 
di negeri ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan era Orde Baru yang 
penuh tekanan. Namun, kekerasan terhadap pers toh masih kerap terjadi. 

Data Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH-Pers) menyebutkan, sepanjang 2008 terdapat 
32 pengaduan kasus kekerasan terhadap pers. Angka tersebut meningkat dibanding 
posisi 2007 yang hanya terdapat 25 kasus. Kasus-kasus tersebut biasanya berupa 
penganiayaan, pemukulan, pelemparan, dan pengeroyokan.

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) malah lebih besar. Sepanjang 2008, 
berdasarkan data AJI, terdapat 60 kasus kekerasan terhadap wartawan, yang 
terdiri atas serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan 
larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), 
demonstrasi (1 kasus), dan penyanderaan (1 kasus). Secara kumulatif sejak Mei 
1999 hingga 2007, AJI mencatat 453 kekerasan terhadap pers. 

Fenomena kekerasan terhadap pers ini tidak hanya terjadi di dalam negeri. Di 
sejumlah negara, rezim yang berkuasa memulangkan para wartawan asing yang 
dicurigai terlalu turut campur dalam urusan dalam negeri mereka. Kasus 
pemulangan itu antara lain terjadi di Iran. 

Di Sri Lanka, Lasantha Wickrematunga, editor The Sunday Leader, media yang 
kerap mengkritik kebijakan penguasa terkait tindakan terhadap oposan Macan 
Tamil, ditemukan tewas dengan luka tembak jarak dekat saat perjalanan menuju 
kantornya awal Januari lalu. Wickrematunga sudah mengirim "sinyal", karena dia 
sempat menulis editorial untuk The Sunday Leader yang oleh berbagai kantor 
berita disebut sebagai "kata-kata terakhir". Di editorial itu dia menulis, 
"When I am killed, it will be the government that kills me."

***

Aksi-aksi kekerasan terhadap pers tentu patut kita sesalkan. Bagaimanapun, 
iklim demokratis yang kini kita nikmati tak lepas dari perjuangan insan pers. 
Lewat pers pula, kita bisa mengetahui berbagai peristiwa dan isu mutakhir. 
Fungsi pendidikan yang diemban insan pers telah banyak memberi kontribusi 
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan wacana kritis masyarakat.

Lewat dunia pers pula, kekuatan masyarakat sipil bisa ikut mengontrol 
kebijakan-kebijakan penguasa. Kehidupan publik yang saling mengingatkan 
mustahil ada tanpa kebebasan pers. Bahkan, bisa dikatakan bahwa cacat tidak 
termaafkan dalam sebuah negara demokratis adalah ketika kebebasan pers tidak 
dijalankan dengan penuh, termasuk jika masih ada kekerasan terhadap pers. 
Dengan demikian, kekerasan terhadap pers, yang mengganggu kerja-kerja 
jurnalistik, muaranya akan membuat masyarakat tidak memperoleh haknya untuk 
mendapatkan informasi-informasi penting.

UU Nomor 40/1999 tentang Pers sebenarnya sudah memberi landasan kuat 
perlindungan terhadap wartawan. Dalam pasal 8 disebutkan, "Dalam melaksanakan 
profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum." Disebutkan pula bahwa setiap 
orang yang menghambat pelaksanaan kegiatan jurnalistik bisa dijerat pidana 
penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Namun, kekerasan terhadap pers yang berulang-ulang terjadi -terutama karena 
pemberitaan wartawan yang mengungkap tabir "kejahatan" pesohor dan pejabat 
daerah maupun nasional- mengindikasikan kalau negeri ini hanya 
setengah-setengah memberikan perlindungan terhadap wartawan untuk menyuarakan 
kebenaran pada masyarakat. Fenomen itu menggambarkan bahwa sebenarnya, keran 
kebebasan pers yang dibuka sejak reformasi bergulir hanya berlaku untuk berita 
yang "aman-aman" saja. 

Indiarto Seno Adji (2003), pakar hukum yang juga konsen mengawal isu pers 
mengatakan, saat ini kebebasan pers belum sepenuhnya mendapat ruang. Kebebasan 
pers masih dibelenggu dengan pola pencegahan yang mengganggu kerja-kerja 
jurnalistik, termasuk di antaranya kekerasan terhadap wartawan. Pola pencegahan 
tersebut terjadi dalam bentuk political pressure maupun social pressure yang 
kadang berbentuk pengerahan massa, baik dalam skema political mass maupun 
public mass. Dalam tataran yang lebih luas, aksi kekerasan atau premanisme 
terhadap pers tidak saja menjurus pada kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk 
tekanan psikologis. 

Melihat realita menyedihkan kekerasan terhadap wartawan tersebut, seharusnya 
berbagai elemen segera sadar akan pentingnya menjunjung tinggi kebebasan 
berekspresi dan kebebasan pers, termasuk menghapuskan segala bentuk kekerasan 
terhadap wartawan. Ihwal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers ini pula yang 
disebut sebagai "hak asasi yang fundamental" dalam pasal 19 Universal 
Declaration of Human Rights. 

Upaya menghentikan kekerasan terhadap pers memang tidak mudah. Perlu perjuangan 
dan penyadaran bersama. Apa yang diungkapkan Dirjen Unesco Koichiro Matsuura 
dalam peringatan World Press Freedom Day, 3 Mei lalu, bahwa "a free press is 
not a luxury that can wait until more peaceful times. It is, rather, part of 
the very process through which they may be achieved", agaknya sangat relevan. 
Kesimpulannya, upaya mewujudkan kebebasan pers dan penghapusan kekerasan 
terhadap pers membutuhkan komitmen semua elemen masyarakat.

Namun, juga harus disadari bahwa kebebasan pers dan kemerdekaan berekspresi 
bukan berarti pers bisa bebas sebebas-bebasnya dalam menyajikan berita. Insan 
pers sendiri juga mesti mempunyai kesadaran akan pentingnya penyampaian berita 
yang berimbang, berkaidah jurnalistik, dan menjunjung tinggi supremasi hukum.

Tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik wartawan harus 
benar-benar dijalankan, tidak hanya dijadikan "macan kertas" yang harus 
mengalah demi kepentingan pragmatis. Inilah makna hakiki kebebasan pers. Mari 
kita hentikan kekerasan terhadap pers!

*) Maya Susiani, mantan aktivis pers mahasiswa, periset sosial di LSKD Jember. 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke