Tutup Saja RS Omni!
Rakyat Merdeka, 9 Juni 2009-06-09 Hebat, kali ini anggota DPR benar-benar menunjukkan kepeduliannya kepada rakyat yang sedang susah. Kemarin, Komisi IX DPR mendesak RS Omni Internasional meminta maaf dan mencabut gugatan hukum terhadap Prita Mulyasari yang sekarang sedang ‘dimejahijaukan’ di Pengadilan Negeri Tangerang. Jika tidak dilakukan, wakil rakyat yang terhormat itu mendesak pemerintah mencabut izin operasi RS Omni. Keputusan ini diambil Komisi IX DPR dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan jajaran direksi RS Omni di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Rapat yang dipimpin Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning itu berlangsung seru dan panas. Pihak RS Omni yang diwakili pimpinannya Direktur Umum Bina Ratna Kusuma Fitri didampingi dr Grace, Dr Leo dari komite RS OMNI, dan kuasa hukum Harry Bertus, sampai pontang-panting menjawab hujan pertanyaan dari sejumlah anggota dewan. Saking kesalnya, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Demokrat, Max Sopacoa terpaksa membentak pimpinan RS OMNI karena penjelasannya terlalu bertele-tele. ‘’Saya mau tahu, apa alasan Omni memenjarakan Prita. Anda itu warga negara Indonesia loh, masak Anda tega memenjarakan sesame warganegara,’’ cecar Max. Anak buah SBY yang bekas wartawan TVRI itu menanyakan, apa alasan pihak RS Omni meminta Prita ditahan. ‘’Apa betul Prita mau melarikan diri? Melarikan diri ke mana, wong perempuan kok melarikan diri,’’ katanya. Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Nina Mardiana menambahkan, tega-teganya RS Omni memenjarakan seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. Ini tindakan yang tidak berperikemanusiaan, oleh sebab itu dia minta pemerintah menutup saja rumah sakit tersebut. ‘’Omni rumah sakit dengan label internasional yang tidak mengedepankan misi kemanusiaan dan sosial, professional tetapi hanya mengedepankan bisnis oriented sehingga sebaiknya ditutup dan tidak diberi izin,’’ katanya. Trisnawati Karna dari Partai Golkar menuding RS Omni melakukan pembohongan publik dengan label internasional. "Label itu jelas digunakan agar orang menganggap rumah sakit internasional, padahal tidak. Kita tidak bisa mentoleransi kebohongan seperti ini, apalagi menyangkut nyawa orang lain," serangnya. Direktur RS Omni Bina Ratna menjelaskan awal mula kasus Prita. Dia bersikukuh, kasus itu terjadi karena Prita tidak terima atas penjelasan rumah sakit. Padahal, kata dia, rumah sakit menyelesaikan secara kekeluargaan. Tapi, Prita tetap meminta hasil rekam medis. "Saya tidak habis pikir kenapa laporan itu terus diminta. Kami sudah katakan bahwa laporan itu salah," ujar Grace Hilza menimpali penjelasan Bina Ratna. RS Omni juga berkilah, keluhan medis Prita bukan karena kesalahan prosedur. Sebab, semua prosedur medis dilakukan sebagaimana mestinya. Termasuk, soal bengkak pasca-perawatan. "Itu adalah bagian dari perjalanan penyakit Ibu Prita. Dia mengalami infeksi karena penyakit yang dideritanya," kata Bina. RS Omni menggambarkan Prita sebagai pasien yang arogan dan mengancam rumah sakit yang berlokasi di Alam Sutera, Tangerang, itu. Saat Prita disodori surat permintaan maaf, dia malah merobeknya dan tetap minta hasil pemeriksaan yang menunjukkan trombositnya sebesar 27.000. Bina tak memberikan karena hasil pemeriksaan yang keliru tak bisa dikeluarkan. "Saat pemeriksaan dengan menggunakan alat, selalu ada kemungkinan kesalahan, yakni 0,19 persen hingga 1,9 persen. Nah, Ibu Prita masuk persentase kesalahan itu. Makanya, hasil pemeriksaannya diulang," kata Bina. Bina mengakui pemegang saham rumah sakit yang dipimpinnya tidak berasal dari luar negeri. Label intenasional merupakan bagian dari strategi pasar. "Label internasional digunakan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa rumah sakit memiliki kompetensi dan kapasitas internasional," ujar wanita berambut panjang itu. Pengacara Omni, Heribertus mengaku pencemaran nama baik bukan pasal awal yang digunakan untuk menjerat Prita. Saat mendatangi kantornya, pihak RS Omni mengatakan berada di bawah ancaman. "Prita mengancam keselamatan dr Hengki dan Grace. Karena itu tidak bisa dibuktikan, kami tawarkan memperkarakan Prita melalui pencemaran nama baik, yakni pasal 310 dan 311," tuturnya. RS Omni siap dicabut izinnya jika terbukti bersalah dalam kasus pencemaran nama baik yang didakwakan terhadap Prita. Omni juga berharap ada mediasi dengan Prita. "Kami hormati keputusan dewan. Kami siap dicabut izin jika bersalah," kata Heribertus . Namun demikian, Heribertus belum dapat memberi jawaban saat ditanya kapan akan mencabut gugatan maupun bertemu Prita. "Kita lihat nanti perkembangannya," ujarnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, begitu ketua rapat mengetokkan palu sebagai tanda rapat usai, maka petugas Pamdal Setjen DPR langsung mengamankan para petinggi RS Omni. Mereka dikawal ketat dari ruang sidang hingga memasuki mobilnya. HPS/BUY Jaksa Prita Diduga Suap Rakyat Merdeka, 9 Juni 2009 Jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang dan RS Omni Internasional diduga telah ‘kongkalikong’ sehingga dengan tanpa prikemanusiaan memenjarakan Prita Mulyasari selama 22 hari di LP Wanita Tangerang. Kuasa hukum Prita, Slamet Yuwono menemukan adanya dugaan RS Omni telah memberikan pelayanan check up gratis kepada jaksa di Kejari Tangerang. "Beberapa hari lalu, kami meminta ke ICW maupun KPK maupun lembaga yang concern pada penegakkan hukum untuk melakukan investigasi terhadap perkara ini," kata Slamet Yuwono saat di Gedung Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta, kemarin. Menurut Slamet, bukti terkait pemberian pelayanan berupa perawatan gratis tersebut sudah dimiliki. Ia siap jika pihak kejaksaan menanyakannya. "Tanya saja ke Jamwas, kalau itu dibantah kita punya bukti dan stempelnya. Jelas itu di surat dan stempel Kejari," ungkapnya. Slamet berharap, pemeriksaan bukti-bukti itu dilanjutkan ke pihak RS Omni untuk mengetahui ada tidaknya kepentingan lain dalam memberikan pelayanan gratis tersebut. Andri Nugroho, suami Prita juga membenarkan hal tersebut. "Ya, kita menemui ada pengumumannya di Kejaksaan Negeri bahwa RS Omni memberi fasilitas Medical Check Up gratis," jelasnya. Andri sendiri mengaku melihat pengumuman tersebut di papan pengumuman Kejari Tangerang saat istrinya ditahan oleh pihak Kejari. "Saya taunya pas istri ditangkap," ujarnya. Slamet juga membeberkan tujuan kedatangannya ke Kejagung, kemarin. “Kami meminta perlindungan hukum Kejagung dalam kasus ini,” kata Slamet yang ditemui Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan. Perlindungan hukum tersebut terkait dengan pemeriksaan jaksa-jaksa kasus Prita yang dilakukan oleh jajaran pengawasan Kejagung. Slamet meminta Kejagung profesional dalam melakukan pemeriksaan. Tidak hanya terhadap jaksa penuntut umum, namun juga dengan kepala Kejaksaan Negeri Tangerang dan kepala Kejaksaan Tinggi Banten. “Kami minta ada sanksi yang tegas, termasuk sampai pemecatan,” tegasnya. Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan mengatakan, tim dari Jaksa Agung Muda Pengawasan mulai memeriksa jaksa yang terkait kasus Prita. Pemeriksaan dilakukan di Kejari Tangerang. Tim dipimpin oleh Inspektur Kepegawaian dan Tugas Umum JAM Was Ajat Sudrajat dengan empat anggota. “Sasarannya, penuntut umum dan Kasi Pidum. Kalau nanti ditemukan ada kaitan-kaitan, bisa sampai ke atas (Kajari, Red),” kata Jasman. Terkait dengan sanksi, Jasman masih menunggu hasil pemeriksaan. Namun dia menegaskan, jika ada indikasi tindak pidana, pihaknya akan menyerahkan kasus itu ke polisi. “Kalau nanti tim pengawasan menemukan ada indikasi seperti itu, kami tidak segan-segan menyerahkan ke penyidik,” tegas Jasman Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari telah melimpahkan kasus Prita Mulyasari kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Kebijakan itu diambil, setelah Menkes beserta jajarannya mengundang pihak RS Omni dan mencermati permasalahannya. Saat ini, kata Menkes, permasalahan pencemaran nama baik sedang ditangani di Pengadilan Negeri Tangerang. Namun, terkait ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan di RS Omni, Menkes telah mengirim tim Investigasi ke RS Omni dan memanggil Direksi RS Omni dan staf yang terlibat ke Depkes untuk dimintai keterangan. "Kami ingin memperoleh penjelasan kronologis terjadinya kasus tersebut," ujarnya. Menkes meminta MKDKI melakukan penilaian kasus Prita. Tujuannya, untuk mengetahui apakah dokter di RS Omni yang memberikan pelayanan telah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran atau tidak. "Penilaian itu sepenuhnya kami serahkan kepada MKDI," ungkapnya. MKDKI merupakan lembaga otonom di bawah Konsil Kedokteran Indonesia yang berwenang menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan atau dokter gigi. Sebab, kata Menkes, pada pasal 55 UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran menyatakan, dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi masyarakat sesuai dengan ketentuan perlu dilakukan pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran. Pembinaan itu, kata Menkes, bisa dilakukan pemerintah, pemda, konsil kedokteran Indonesia maupun organisasi profesi sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi, kata Menkes, kemudian dibentuk MKDKI. JPNN/BUY Yahoo! Mail Sekarang Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya! http://id.mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]