Suara Merdeka

      Lagu Indonesia Raya Versi Baru        
      Ditulis Oleh Muhajir Arrosyid    

     
      27-06-2009,  
      Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku.
      Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.
      Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan Tanah Airku.
      Marilah kita berseru "Indonesia bersatu!"


      Kalimat-kalimat di atas adalah bait pertama lagu Indonesia Raya, lagu 
kebanggan bangsa Indonesia. Saya tidak hendak melanjutkan perdebatan tentang 
lagu Indonesia Raya. Saya hanya hendak berpendapat sebagai seoarang awam. Saya 
mendengar dan menghafal lagu ini sejak masuk Taman Kanak-kanak. Setiap hari 
Senin pagi sebelum pelajaran dimulai diselenggarakan upacara bendera. Lagu 
Indonesia Raya dilantunkan bersama-sama oleh seluruh peserta upacara. Semua 
tangan kanan berada di depan kening memberi hormat kepada sang saka merah putih 
yang dikibarkan oleh tiga pengebar bendera.

      Dari TK sampai SMA rutinitas Senin ini masih berlangsung. Setiap Senin, 
saya mendengarkan lagu ini. Sejak kecil melalui lagu Indonesia Raya, saya 
mengenal Indonesia. Di SD kelas lima saat upacara bendera dan mendengar lagu 
Indonesia Raya timbul pertanyaan dalam diri saya. Rasanya ada sesuatu yang 
mengganjal saat mendengar baris ke dua. 'Di sanalah aku berdiri'. Kenapa 'di 
sana', tidak 'di sini'?`

      Di SD oleh guru Bahasa Indonesia saya diajarkan membedakan arti kata 'di 
sana'dan 'di sini'. 'Di sana' dan 'di sini' adalah kata yang sama-sama 
menunjukan arah. 'Di sini' di gunakan jika kita bicara di suatu tempat akan 
menunjukan arah, arah yang akan kita tunjuk adalah tempat yang sekarang 
ditempati. Tidak terdapat jarak antara tempat berbicara dengan tempat yang 
dibicarakan. Contoh dalam kalimatnya kira-kira demikian; "Di mana kamu belajar 
mengaji?" tanya seorang pada temannya, dan temannya menjawab; "Di sini". 
Jawaban 'di sini' menunjukan di tempat tersebut orang yang di tanya belajar 
mengaji.

      'Di sana' digunakan jika kita bicara di suatu tempat akan menunjukan 
arah, arah yang akan kita tunjuk adalah tempat yang sekarang tidak kita 
tempati. Terdapat jarak antara tempat berbicara dengan tempat yang dibicarakan. 
Misalnya kita sekarang sedang berada di lapangan, dan membicarakan sawah, maka 
kita menunjuk arah sawah dengan kata 'di sana'.

      Kembali ke lagu Indonesia Raya. Saya merasa ada kejanggalan di baris ke 
dua. 'Di sana lah aku berdiri, Jadi pandu ibuku'. Kita sekarang sedang berada 
di Indonesia, membicarakan tentang Indonesia, kenapa mengunakan kata 'di sana'? 
Pertanyaan ini pernah saya ajukan kepada guru bahasa Indonesia waktu SD dulu 
dan beliau tidak menjawab. Di SMP pertanyaan serupa saya tanyakan kepada guru 
Pendidikan Moral Pancarila, saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Guru 
saya menjawab "Ya memang yang buat lagu begitu."

      Setiap mendengar lagu Indonesia Raya ini selalu timbul pertanyaan dalam 
diri saya. Sampai ketika masuk SMA saya mereka-reka jawaban atas pertanyaan 
saya. Apakah lagu tersebut diciptakan di luar negeri sehingga menunjuk 
Indonesia dengan kata tunjuk 'di sana'?

      Menurut saya pengunakan kata 'di sana' karena lagu ini diciptakan jauh 
sebelum Indonesia menjadi Indonesia. Indonesia masih menjadi mimpi. Lagu Ini di 
dinyanyian pertama kali pada 28 Oktober 1928, maka logis jika mengunakan kata 
tunjuk 'di sana'.

      'Di sana' nanti jika Indonesia sudah merdeka, saya akan menjadi pandu 
ibuku. Karena sekarang angan-angan pada 28 Oktober 1928 itu sudah menjadi 
kenyataan, bukan lagi sekedar angan-angan, maka menurut saya sudah saatnya kata 
'di sana' dalam lagu Indonesia Raya diganti dengan kata 'di sini'.

      Dengan diubahnya kata 'di sana' lagu ini akan lebih terasa gregetnya. 
Kita bernyanyi tidak sekedar bermimpi, berangan-angan tetapi juga merasakan dan 
menjiwainya dan melakukannya.

      Mari kita nyanyikan lagu Indonesia Raya versi yang saya usulkan;

      Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku.
      Disinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.
      Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan Tanah Airku.
      Marilah kita berseru "Indonesia bersatu!"
       
      Muhajir Arrosyid, penulis buku Kumpulan Cerita Pendek Di Atas Tumpukan 
Jerami.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to