http://www.antaranews.com/berita/1253707021/penghinaan-malaysia-terkait-kehadiran-dua-juta-tki

Penghinaan Malaysia Terkait Kehadiran Dua Juta TKI

Rabu, 23 September 2009 18:57 WIB | Peristiwa | Naker | 
Brisbane (ANTARA News) - Penghinaan sebagian warga Malaysia terhadap Indonesia 
tidak dapat dilepaskan dari kehadiran sekitar dua juta pekerja Indonesia di 
negara tetangga itu.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia melakukan pengecekan 
keimigrasian di Bandara Adi Sumarmo, Solo. (ANTARA/Abar Nugroho Gumay)
"Mengapa Malaysia menghina kita ? Itu karena ada dua juta orang Indonesia 
(bekerja-red.) di sana," kata Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, pada acara 
ramah tamah dan dialog dengan puluhan mahasiswa dan warga Indonesia di kampus 
Universitas Queensland (UQ), St Lucia, Selasa malam (22/9).

Sofyan mengemukakan, untuk memperbaiki citra bangsa, Indonesia mutlak perlu 
memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

"Selama Indonesia belum mampu melipatgandakan pertumbuhan ekonomi nasionalnya 
agar mampu menyerap jutaan orang pencari kerja di Tanah Air, penghinaan bangsa 
lain terhadap Indonesia sulit dibendung," katanya.

Menurut Sofyan, banyaknya warga Indonesia yang bekerja di berbagai sektor 
informal di Malaysia dan beberapa negara lain, tidak dapat dilepaskan dari 
keterbatasan daya serap lapangan kerja di Tanah Air akibat pertumbuhan ekonomi 
nasional yang belum mampu menyerap lebih banyak pencari kerja.

Menurut anggota Kabinet Indonesia Bersatu kelahiran Aceh 23 September 1953 ini, 
dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar tujuh persen, misalnya, jumlah 
tenaga kerja yang dapat diserap hanya sekitar 2,2 juta orang, sedangkan angka 
pencari kerja jauh di atas daya serap lapangan kerja yang ada.

"Fenomena tenaga kerja Indonesia di sektor informal di luar negeri, seperti 
pembantu rumah tangga, juga sudah memengaruhi citra RI di kawasan Timur 
Tengah,"katanya.

Pengalaman Malaysia
Kemajuan Malaysia saat ini pun tidak terlepas dari strategi pemerintah negeri 
jiran itu mengirim sebanyak mungkin warganya belajar ke negara-negara industri 
maju, sehingga sumber daya manusianya kini umumnya "lebih baik" dari Indonesia. 
"Bahasa Inggris pun tidak masalah bagi mereka," katanya.

Sebaliknya Indonesia menghadapi "bottle neck" (masalah pelik-red.) pada 
kualitas sumberdaya manusia. "Kualitas sumberdaya manusia adalah masalah besar 
di Indonesia. Di Indonesia, orang-orang qualified (ahli) sangat terbatas," kata 
suami akademisi perempuan kenamaan, Dr Ir Ratna Megawangi MSc itu.

Sofyan Djalil mengatakan, sejak tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 yang 
mengawali era reformasi, Indonesia mengalami banyak kemajuan dengan reputasi 
internasional yang menguat, namun bangsa ini masih dihadapkan pada sejumlah 
"bottle neck" akibat relatif rendahnya mutu sumberdaya manusia dan kelembagaan.

"Anda (mahasiswa Indonesia di luar negeri-red.) adalah orang-orang terpilih 
karena tidak banyak warga Indonesia yang mendapat peluang ini," katanya.

Sofyan Djalil dan istri, Dr Ir Ratna Megawangi MSc, berada di Brisbane untuk 
mengunjungi anak mereka yang kuliah di UQ.

Di sela kunjungan pribadinya itu, Sofyan Djalil memenuhi undangan Perhimpunan 
Mahasiswa Indonesia di UQ (UQISA), Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di 
Brisbane (IISB) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) 
Queensland untuk bertatap muka dan berdialog dengan kalangan mahasiswa dan 
warga. (*)

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke