JUBIR HTI ISMAIL YUSANTO : MARI ELKA PANGESTU ITU MENTERI PERDAGANGAN
INDONESIA ATAU MENTERI PERDAGANGAN CHINA?

Lebih dari lima puluh persen pengusaha industri dalam negeri mengeluhkan
kebijakan pemerintah yang tidak mau melakukan renegosiasi perjanjian
perdagangan bebas negara-negara ASEAN dengan China (ACFTA).

Ironi memang, sejak ditanda-tangani perjanjian tersebut pada 2002 hingga
diberlakukannya pada 2010 ini, tidak nampak sama sekali adanya upaya
persiapan dari pemerintah untuk menjaga kepentingan dalam negeri.

"Akibatnya diprediksikan pada tahun ini pengangguran akan bertambah sekitar
2,5 juta orang," tegas Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia Rekson Silaban dalam acara Talkshow Halqah Islam dan Peradaban
(HIP) ke 16, Ahad (24/1) di Wisma Antara, Jakarta.

Lantaran, ujar Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia Franky Sibarani,
pengusaha yang berbasiskan industri akan bergeser menjadi pedagang.
"Otomatiskan buruh yang menjadi korban!" tandas Franky.

Rekson menyayangkan mengapa pemerintah mau menandatangani ACFTA tersebut,
tetapi tidak memiliki skenario untuk menjamin nasib 2,5 juta karyawan yang
bakal kehilangan pekerjaannya itu. "Payah dong!" ujarnya.

Mereka di-PHK bukan karena malas atau tidak bisa bekerja melainkan
perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut lantaran kalah bersaing dengan
produk dari China. Barang dari luar tersebut menjadi sangat murah lantaran
dicabutnya hambatan impor yang berupa tarif dan non tarif itu, seperti yang
dituangkan dalam perjanjian ACFTA.

Padahal dengan hambatan tarif, barang tertentu dikenai pajak bea masuk yang
tinggi sehingga barang tersebut tidak jadi masuk atau kalaupun masuk
harganya menjadi lebih mahal dibanding produk lokal.

Sedangkan hambatan non tarif, misalnya, pemerintah membuat kriteria
tertentu, sehingga barang yang tidak memenuhi kriteri tersebut tidak bisa
masuk. Dengan diberlakukannya ACFTA, hambatan terhadap produk China menjadi
tidak ada.

Di samping itu, menurut Franky, pengusaha besar dan menengah di Indonesia
itu tidak lebih dari satu persen. Mereka menguasai hampir 60 persen usaha.
Jadi bagaimana nasib yang 99 persen ini?

Ya jadi seperti pertandingan tinju, ujar Pakar Ekonomi Islam Hidayat
Muttaqien. "Petinju Indonesia yang kelas bulu itu dipaksa masuk ring melawan
petinju China yang kelas berat" ujarnya dalam acara yang bertajuk
"ACFTA-Perdagangan Bebas-2010: Bunuh Diri Ekonomi Indonesia" itu.

Sehingga, ujar Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, hampir tidak ada gunanya
kita mempunyai pemerintah. "Kalau hambatan tarif dan non tarif itu sudah
tidak ada sesungguhnya negara sudah tidak punya alat untuk melindungi
kepentingan rakyatnya!" tandas Ketua STEI Hamfara Yogyakarta tersebut.

Inilah salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa pemerintah telah
kehilangan visi yang paling penting dari sebuah pemerintahan yaitu
melindungi dan mengurus kepentingan rakyatnya.

Ismail pun menanyakan lantas sebenarnya pemerintah ini sedang bekerja untuk
siapa? Perlu dipertanyakan juga Mari Elka Pangestu itu Menteri Perdagangan
Republik Indonesia atau Menteri Perdagangan Republik China?

Korban Kapitalisme

Rakyat Indonesia menjadi terjajah seperti ini karena hidup di dalam sistem
ekonomi kapitalistme. Kemudian dipimpin oleh para pemimpin yang berotak
kapitalis juga. Jadi kalau sekarang rakyat remuk redam itu karena memang
rakyat berada dilingkungan yang membuatnya remuk.

Islam telah menegaskan bahwa pemimpin adalah pelindung dan pelayan umat.
Bagaimana mau menjalankan fungsi tersebut kalau tidak mandiri. Bila memang
melihat China sebagai potensi pasar, ya memang harus digarap tetapi dengan
kemandirian kebijakan. Salah satunya dengan tetap menerapkan hambatan tarif
dan non tarif.

Tapi perlu disadari pula bahwa ini bukan masalah teknis renegoisasi ACFTA,
tetapi ini sudah pertarungan ideologi. Bagaimana kapitalisme itu terus
mencengkeram. Jadi sekarang kapitalisme bukan hanya Amerika dan Eropa tetapi
China itu juga menjadi raksasa kapitalisme.

Di sinilah sebenarnya mengapa HTI bolak-balik tidak pernah berhenti, tidak
pernah capek, bahwa sistem negara kita tercinta ini harus dirubah sehingga
mempunyai kemandirian di dalam pengelolaan politik dan ekonomi. "Itulah yang
kita sebut dengan Selamatkan Indonesia dengan Syariah di Bawah Naungan
Khilafah," ujarnya kemudian disambut tepuk tangan oleh sekitar 350 peserta
yang hadir.

"Saya menjamin bahwa seluruh pengusaha itu akan sangat nyaman dengan
syariah!" tegas Ismail. Mengapa? Satu, secara makro policy politik ekomi
pemerintah itu berdasarkan syariah. Berdasarkan sebuah ukuran-ukuran yang
konstan, yang tetap yang tidak mudah tersimpangkan oleh pandangan-pandangan
kapitalistik.

Pandangan kapitalistik yang berlaku saat ini di Indonesia adalah lebih
merupakan negosiasi antara pemilik modal dari luar dengan para patronnya di
dalam untuk kepentingan kekuasaan.

Yang kedua secara mikro industri, skema-skema syariah itu justu akan lebih
menguntungkan para pengusaha.

Ketiga, jangankan korupsi, atau sogok menyogok, hadiah bagi pejabat itu
diharamkan dalam Islam. Jadi syariah menjamin tidak adanya ongkos ekonomi
yang tinggi (high cost economy) .

Nah, kalau itu semua bisa diberikan kepada pengusaha saya kira pengusaha
tidak keberatan. "Baik pengusaha itu Muslim maupun non Muslim!" tandas
Ismail.[] joko prasetyo

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/25/hip-16-tolak-acfta-dan-terapkan-sistem-syariah/


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke