Jawa Pos [ Senin, 01 Februari 2010 ]
Pelaku Zina Belum Bisa Dirajam SELAMA ini, Wilayatul Hisbah (WH) belum bisa menggarap kasus-kasus besar. Kasus-kasus yang layak rajam tidak pernah dilaksanakan. Yang layak rajam adalah kasus zina antara lelaki beristri dan wanita bersuami. Atau salah satu di antara mereka telah memiliki pasangan. Ketua Satpol PP dan WH Pemprov Aceh Marzuki Abdullah mengakui, hukuman mati dengan rajam belum bisa dipraktikkan. Kalaupun ada kasus yang layak rajam, mereka mendasarkan hukumannya pada qanun nomor 14 tentang khalwat. Hukumannya ''hanya'' cambuk 12 kali atau denda Rp 5 juta. ''Memang masih sangat lemah qanun sekarang ini,'' kata Marzuki. Itu, lanjut Marzuki, disebabkan qanun yang mengatur rajam dan mencuri (yang dihukum potong tangan) belum digedok oleh DPRD Aceh. Pembicaraan mengenai rancangan qanun tersebut masih tarik ulur. Beberapa konten rancangan diskriminatif. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf juga tak kunjung menyetujuinya. Qanun itu bernama qanun jinayat atau hukum jinayat. Hukuman-hukuman berat diatur dalam qanun tersebut. Mulai pemerkosaan, liwath (persanggamaan antara lelaki dan lelaki), qadzaf (menuduh berzina), dan musahaqah (persanggamaan antara wanita dan wanita). Kasus yang terjadi di Kota Langsa (anggota WH memerkosa gadis), kata Marzuki, sebenarnya sudah layak rajam. Mereka yang diduga memerkosa adalah lelaki beristri. Apalagi, salah seorang yang diduga memerkosa adalah qori alias pembaca Alquran. ''Dia sudah layak ditanam separo badan di perempatan jalan, kemudian dilempar batu-batu besar sampai mati,'' ujar Marzuki. Karena tidak bisa menindak berat, kasus pemerkosaan itu biasanya diserahkan ke kepolisian. Orang tua korban disuruh membuat laporan agar polisi bisa menindak. Dalam sejarah, hanya ada sekali. Yakni, kepada putra Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda. ''Itu menunjukkan penegakan hukum di Aceh tidak pandang bulu,'' katanya. (aga/kum) [Non-text portions of this message have been removed]