Jawa Pos
 Senin, 01 Februari 2010 ]

Kematian Politik Islam 
Oleh: Ahmad Sahidah




MUSYAWARAH Kerja Nasional II Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melihat warga 
tak lagi melirik partai Islam karena isu keislaman tidak bisa mendongkrak 
suara. ''Kegagalan ini karena isu keislaman berhenti pada tataran simbol atau 
ritual semata,'' tegas orang nomor satu partai berlambang Ka'bah, Suryadharma 
Ali. Karena itu, partai Islam harus mewujudkan program yang lebih membumi, 
yaitu perhatian terhadap isu ekonomi berkaitan dengan daya beli masyarakat. 

Sekilas, pernyataan tersebut tampak masuk akal. Namun, apakah kehendak 
pembaruan itu akan dilakukan? 

Sekarang masyarakat luas dihadapkan pada tantangan hidup yang makin keras, 
biaya pendidikan yang mahal, kesehatan yang tak terjangkau, dan lapangan kerja 
yang sempit. Namun, di tengah keadaan yang memilukan ini, para pemimpin dan 
panutan menunjukkan kepongahan, menghamburkan uang untuk memenuhi kebutuhan 
mewah, seperti rencana pembelian pesawat kepresiden, pagar istana yang berharga 
miliaran, dan pembelian kapal lagoon yang tak jelas fungsi dan kegunaannya 
untuk meningkatkan hasil laut. Belum lagi, kenaikan gaji pejabat 20 persen di 
tengah keterpurukan hidup rakyat kebanyakan. 

Tentu, PPP berhak mengatasnamakan Islam karena secara tegas dinyatakan sebagai 
partai berbasiskan agama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Meski demikian, penegasan tersebut tidak dengan sendirinya menafikan politisi 
yang berada di partai nasionalis. Selagi para politisi muslim menggantungkan 
pada nilai-nilai keagamaan yang dianut, tanggung jawab mereka sebagai pemanggul 
amanat tidak dielakkan bersifat religius. 

Jadi, persoalannya, seberapa jauh ajaran agama yang bersumber pada kitab suci 
dan teladan Nabi merembes dalam tindak tanduk mereka di panggung politik. 
Fondasi kenabian perlu ditegaskan di sini agar alat ukur yang digunakan bisa 
dijadikan penilaian. 

Pesan Tersirat 

Pernyataan menteri agama di atas adalah tidak keliru ketika menegaskan bahwa 
keislaman tidak berhenti di simbol dan ritual semata. Meski demikian, 
pernyataan itu bermasalah karena simbol tersebut mengandaikan tanda yang 
dikandungnya. Demikian juga, ritual apa pun dalam agama, seperti sembahyang dan 
puasa, mengandaikan nilai-nilai yang bersifat individual dan sosial. 
Sepatutnya, sang menteri mendorong umat untuk menyelaraskan simbol dan isi yang 
dikandungnya agar makna semantik dari lambang itu dipahami dan diamalkan. 
Lebih-lebih kesadaran umat untuk menyerap kelindan simbol dan makna dalam 
sehari-hari terpatri kuat. 

Menurut Karen Amstrong, ahli perbandingan agama Inggris, setelah hijah ke 
Madinah, ayat Alquran, Muhammad mulai mengambil keputusan-keputusan yang 
bersifat politis dan sosial. Ayat-ayat yang tidak saling berkaitan dan 
surat-surat yang menyampaikan kebenaran yang sulit dipahami digantikan dengan 
ayat-ayat yang lebih praktis dengan menetapkan aturan baru atau menanggapi 
situasi politik saat itu. 

Penjelasan penulis buku fenomenal The History of God tentu merupakan analisis 
yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuannya sebagai sarjana Barat 
modern. Namun, tak bisa disangkal, pembahasaan baru seperti itu sebenarnya 
mencerminkan realitas yang pada perkembanganya sekarang telah menimbulkan 
silang pendapat di antara sarjana, mengenai Islam etik atau praktik, apakah 
agama dan politik itu terpisah. 

Jauh dari perselisihan tersebut, pernyataan Amstrong tetap mengandaikan kondisi 
pada masa Nabi hidup, yaitu negara belum terwujud seperti sekarang ini. Malah, 
meskipun Piagam Madinah dijadikan pedoman pembentukan masyarakat layaknya 
tatanan sosial masa kini, pembagian kekuasaan pada masa itu belum serumit yang 
telah dipraktikkan pemerintahan modern. 

Lalu, apa yang bisa diraih dari ruang kosong sejarah profetik? Teladan Muhammad 
sendiri dan para penerusnya dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemimpin. 

Model Kenabian 

Bagaimanapun, yang hampir luput dari perhatian orang adalah sikap Nabi terhadap 
kekayaan, sesuatu yang erat berkaitan dengan politik. Dia tidak mengutuk 
kekayaan dan kepemilikan, demikian pula tidak memerintahkan kaum muslim untuk 
mendermakan semua hartanya. Nilai-nilai etik yang harus dikembangkan muslim, 
antara lain, adalah dilarang menimbun harta, didorong untuk peduli kepada orang 
miskin, dan dilarang memakan harta anak yatim. 

Bahkan, etos itu berlaku ketika kaum muslim menjadi kekuatan dunia yang besar 
dan makmur. Lalu, bagaimana kehidupan Nabi sendiri? Sederhana. Demikian pula, 
para penerusnya, seperti Nuruddin dan Shalahuddin, senantiasa melanjutkan 
cita-cita egalitarian ini. 

Lalu, apakah kesederhanaan telah merembesi kehidupan para pemimpin dan politisi 
itu? Alih-alih berhasil menyejahteraan khalayak, mereka tanpa merasa bersalah 
mempertontonkan gaya hidup mewah. Tentu kita masih ingat dengan pembagian mobil 
Toyota Crown Royal Saloon untuk para petinggi dan para menteri, sementara mobil 
yang sebelumnya lebih dari layak untuk menyusuri Jakarta yang macet. 

Belum lagi, pagar istana yang bernilai Rp 20 miliar dan rencana pembelian 
pesawat kepresidenan Rp 700 miliar. Setidaknya, walaupun mereka belum bisa 
menunaikan janjinya menjadikan negeri ini makmur, dalam tindak tanduknya mereka 
tak memamerkan kekayaan, apalagi menghamburkan uang negara. 

Kalau Laode Ida, wakil ketua DPD, sebagai petinggi bisa mengembalikan mobil 
mewah itu, mengapa yang lain tidak? Herannya, menteri yang berasal dari partai 
Islam dengan slogan yang muluk-muluk pun berdiam diri dan menikmati fasilitas 
itu tanpa merasa bersalah. Tidakkah dasar keislaman yang ditempelkan dalam 
platfom partai tidak lebih sekadar pemanis bibir? 

*). Dr Ahmad Sahidah, postdoctoral research fellow pada Universitas Sains 
Malaysia 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke