Ralat sedikit:
Pada paragraf akhir tertulis:
Jadi nyata benar bedanya. Luxenberg pake metode yang lazim digunakan dalam 
penelitian Bibel, yaitu prinsip bacaan mengacu pada teks, sedangkan HMNA pakai 
metode sebaliknya, yaitu yang dipakai dalam mengkaji Al-Quran, yaitu teks 
mengacu pada bacaan.

Seharusnya:
Jadi nyata benar bedanya. Luxenberg pake metode yang lazim digunakan dalam 
penelitian Bibel, yaitu prinsip bacaan mengacu pada teks, sedangkan Syasuddin 
Arief dan HMNA pakai metode sebaliknya, yaitu yang dipakai dalam mengkaji 
Al-Quran, yaitu teks mengacu pada bacaan.

Salam
HMNA


Pertanyaan Arcon:
jadi kesimpulannya : abah hmna setuju dengan luxenberg ?
kalo pak samsudin arief gimana ?
#################################################
HMNA:
Baiklah, karena Arcon tidak bisa membaca, saya akan straight to the point
656 Menjawab Tangan-Tangan Gurita ada tertulis:
-- ketiga, tidak sama dengan Bible yang memfokus pada teks, maka dalam
Al-Quran (dari QRA=bacaan) titik tolaknya adalah hafalan yang dibaca, teks
mengacu pada bacaan, dan ini di luar domein hermeneutika.

Perhatikan selanjutnya:
WDS::
WDS::
Luxenberg starts with Q 44:54 ?? ????????????? ???????
????? wa zawwajnahum bi hur 'in, 'We shall wed them to maidens with
large, dark eyes'. For ??????? zawwajnahum, 'we shall wed them' he has
a different, and purely Arabic, alternative: ??????? rawwahnahum 'we
shall let them rest'. It's a difference of only two diacritical dots
and in rasm it's identical.
*****************************************************************
HMNA:
It's a difference of only two diacritical dots and in rasm it's identical. 
Luxenberg pakai prinsip bacaan mengacu pada teks/tulisan/rasm
Inilah yang dibantah Syamsudin Arief:
Ini cuplikan dari tulisannya:

Pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah 'tulisan' (rasm atau writing) tetapi 
merupakan 'bacaan' (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. 
Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan 
periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. 
Dari dahulu, yang dimaksud dengan 'membaca' Al-Qur'an adalah "membaca dari 
ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin; to recite from memory)." 

Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an 
dicatat-yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, 
dan lain sebagainya-berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah 
tertera dalam ingatan sang qari'muqri'. Proses transmisi semacam ini, dilakukan 
dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil 
menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat 
Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada 
para Sahabat, demikian hingga hari ini. 

Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan-manuscript evidence dalam 
bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya-memegang peran utama dan berfungsi 
sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel. 

Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. 
Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin (dan Luxenberg -HMNA-), 
misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur'an sebagai 
'dokumen tertulis' atau teks, bukan sebagai 'hafalan yang dibaca' atau 
recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking "the Qur'an as Text") mereka lantas 
mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian 
Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan 
textual criticism. 

***

Kesimpulannya:
Luxenberg: => pakai prinsip bacaan mengacu pada teks/tulisan/rasm
HMNA: => tidak sama dengan Bible yang memfokus pada teks, maka dalam Al-Quran 
(dari QRA=bacaan) titik tolaknya adalah hafalan yang dibaca, teks
mengacu pada bacaan, dan ini di luar domein hermeneutika. 
Syamsudin Arief: => Pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah 'tulisan' (rasm atau 
writing) tetapi merupakan 'bacaan' (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan 
dan sebutan. Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Dengan asumsi 
keliru ini (taking "the Qur'an as Text") mereka lantas mau menerapkan 
metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti 
historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism

Jadi nyata benar bedanya. Luxenberg pake metode yang lazim digunakan dalam 
penelitian Bibel, yaitu prinsip bacaan mengacu pada teks, sedangkan HMNA pakai 
metode sebaliknya, yaitu yang dipakai dalam mengkaji Al-Quran, yaitu teks 
mengacu pada bacaan. Karena Luxenberg pakai asumsi yang keliru, ya semua hasil 
penjabarannya adalah keliru. Artinya grapes itu salah, dan yang benar itu 
virgins.

#########################################################################

----- Original Message ----- 
From: "Ari Condro" <masar...@gmail.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Sunday, March 14, 2010 07:30
Subject: Re: [wanita-muslimah] Misteri Sungai di Dalam Laut Mexico

yg aku tanya urusan bidadari vs anggur putih.

yg dikirim malah artikel yg bikin saya merasa sebel sama si abah selama
bertahun tahun ini.  enak aja comot nama orang dipasang di koran. 
#####################################################################
HMNA:
Pendapat yang dipublikasikan harus dapat dipertanggung-jawabkan. Pikir dahulu 
pendapatan sesal kemudian tidak berguna, ini menurut Bidal Melayu lama yang 
masih relevan hingga kini.
######################################################################
 entar
kalo ada orang bunuh saya pakai golok di jalan gara gara artikel itu, abah
mau nanggung dosanya ???  :D



salam,
Ari

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke