Refleksi : Sutradara-sutradara sendiwara teror wayang masih perlu lebih banyak 
mendapat pendidikan lanjut dengan beasiswa pemerintah agar karya-karya mereka 
bisa berkwalitas kelas profesional internasional. Atau bagaimana pendapat Pak 
Intel? Maaf, terlebih harus ditanya kepada sang raja.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/19/0350500/bukan.peperangan.orang.aceh

TERORISME (2)
Bukan Peperangan Orang Aceh
Jumat, 19 Maret 2010 | 03:50 WIB



Sebuah pesan pendek berbunyi: "Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah 
telah bertahan untuk melanjutkan jihad terhadap musuh-musuh Allah: kaum Yahudi, 
Salibis, dan Murtadin serta meminta musuh-musuh Allah untuk segera meninggalkan 
tanah Serambi Mekah".

Pesan lewat SMS itu dikirim Abu Yusuf dari Pegunungan Bun, Jalin, Kecamatan 
Jantho, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kepada seseorang di Solo, 
Jawa Tengah, pada 27 Februari 2010. Abu Yusuf alias Mustaqim adalah lelaki asal 
Lampung yang memimpin pelatihan menembak dan membaca peta kelompok bersenjata 
itu. Dia disebut-sebut sebagai lulusan akademi militer Jamaah Islamiah 
Hudaibiyah di Mindanao, Filipina.

Ancaman dari Abu Yusuf itu terbukti bukan gertak sambal. Sepanjang Kamis (4/3) 
lalu, belasan kali ambulans milik Kepolisian Daerah (Polda) NAD bolak-balik 
Banda Aceh-Lamkabeu, Aceh Besar, untuk mengantar anggota polisi yang tertembak 
dalam pengejaran kelompok bersenjata yang dipimpin Abu Yusuf itu.

Hingga tengah malam, 11 anggota Satuan Brimob Polda NAD dirawat. Empat di 
antaranya harus menjalani operasi karena mengalami cedera serius. Kontak tembak 
itu juga menewaskan seorang warga sipil, dua anggota Brimob Polda NAD, dan 
seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Esoknya, Mabes Polri menyatakan, kelompok bersenjata itu sangat menguasai 
medan. Mayat tiga polisi yang tewas itu pun baru bisa diambil dua hari kemudian 
karena aparat tak berani mendekat ke lokasi kontak tembak.

Seorang anggota Brimob Polda NAD yang ikut dalam pengepungan itu sejak 22 
Februari 2010 mengisahkan, pergerakan kelompok itu di pegunungan cukup sulit 
untuk diikuti. Mereka, katanya, sangat mengetahui seluk-beluk kawasan 
perbukitan itu dan mahir menggunakan senjata api.

Tajudin (35), mantan panglima pasukan elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Gajah 
Keng wilayah Aceh Besar, mengatakan, tanpa penguasaan medan, sulit mengejar 
kelompok bersenjata itu. "Tempat tertembaknya anggota Densus 88 dan Brimob 
seperti mangkuk. Waktu ditembak, mereka berada di dasar mangkuk itu, sedangkan 
kelompok bersenjata itu ada di atas. Tak perlu senjata api, orang yang berada 
di bawah bisa mati cukup dilempari batu dari atas," kata Tajudin yang belasan 
tahun bergerilya di wilayah itu.

Medan geografis di Aceh memang mendukung untuk peperangan gerilya. Kontur 
tanahnya berbukit, dinaungi hutan hujan tropis, dengan sungai-sungai yang 
mengalir di lembahnya, yang merupakan tempat berlindung yang sempurna.

Memanfaatkan medan itu, para pejuang Aceh bertahan menghadapi gempuran penjajah 
Belanda. Tradisi gerilya itu yang kemudian diteruskan Darul Islam (DI) hingga 
gerakan Aceh Merdeka (AM) dan terakhir oleh GAM.

Romantisisme sejarah

Romantisisme perang Aceh yang sudah banyak dikisahkan ini agaknya telah 
menginspirasi kelompok teroris ini untuk mencoba membangun basisnya di sana.

Ditemui secara terpisah, Yudi Zulfahri dan Sofyan Tsauri, dua tersangka yang 
menjadi kunci untuk menyiapkan pelatihan kelompok Tandzim Al Qoidah Indonesia 
Cabang Serambi Mekah mengatakan, faktor alam menjadi alasan utama mereka.

Selain itu, mereka juga menilai Aceh sebagai etalase penting bagi tegaknya 
syariat Islam di Indonesia. "Tapi, sayangnya, syariah yang ditegakkan di sini 
sekarang belum sepenuhnya tegak. Itu yang mengecewakan," kata Yudi, pegawai 
negeri sipil di Pemerintah Kota Banda Aceh, yang ditangkap dalam penggerebekan 
di Janto.

Latar belakang kekecewaan pribadi yang dirasakan Yudi itu menjadi salah satu 
pendorong untuk "mempromosikan" Aceh sebagai basis pelatihan kepada jaringan 
kelompok asal Jawa. Dengan pertimbangan itulah, para anggota jaringan lama, 
termasuk Dulmatin, menyetujui Aceh dijadikan basis persiapan kekuatan bagi 
gerakan mereka. Yudi dan Sofyan pun diserahi tugas-tugas persiapan, mulai dari 
mencari senjata dan amunisi, mencari lokasi yang cocok, hingga persiapan 
logistik.

Yudi pun memanfaatkan orang-orang lokal yang bisa membantu, salah satunya Munir 
alias Abu Rimba. Meskipun Abu Rimba diakui Yudi bukan sosok yang ideologis, 
seperti yang diyakini kelompoknya, ia dinilai memahami medan di pegunungan. 
Apalagi, Yudi mengenal Abu Rimba sebagai bekas anggota pasukan khusus GAM Gajah 
Keng yang kecewa dengan kondisi Aceh pasca-perdamaian. Belakangan, mantan 
Panglima GAM Gajah Keng Tajudin menyatakan Abu Rimba bukan mantan anggota 
pasukannya.

Hal itu dikuatkan dengan keterangan Abu Jihad. Lelaki asal Samalanga, Bireuen, 
ini beberapa kali dihubungi oleh Sofyan Tsauri untuk bergabung dengan 
kelompoknya. Abu Jihad yang bernama asli Yusuf Al Qardhawi adalah Ketua Front 
Pembela Islam wilayah NAD. Dia adalah inisiator perekrutan calon mujahidin ke 
Palestina di wilayah Aceh.

Yusuf mengatakan, ada beberapa alasan yang disebutkan Sofyan kenapa memilih 
Aceh. Selain medan tempur yang dinilai strategis, Aceh juga disebutkan 99 
persen Muslim, yang diperkirakan akan mendukung penegakan syariat Islam. 
Apalagi, Aceh memiliki sejarah pernah mendukung pergerakan Darul Islam (DI) 
yang diproklamasikan oleh SM Kartosuwiryo di Jawa Barat.

"Dengan faktor itu, mereka yakin akan didukung masyarakat Aceh, terutama oleh 
mantan anggota GAM yang kecewa dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun, 
mereka ternyata keliru membaca situasi," kata Yusuf.

Pendapat yang sama disampaikan Tajudin. "GAM sangat berbeda dengan mereka," 
ujar Tajudin, "karena bagi kami syariat Islam hanya omong- omong. Jelas ini 
bukan peperangan kami."

Abu Rimba

Omongan Tajudin itu dibuktikan pada Rabu (17/3) tengah malam itu, dengan 
mengantarkan Abu Rimba ke Kepolisian Resor Aceh Besar. "Setelah dibujuk 
keluarga, Abu Rimba akhirnya mau menyerah. Dia itu masih anak-anak, memakai 
senjata juga belum bisa. Hanya ikut-ikutan," katanya.

Yusri (28), kakak kandung Abu Rimba, mengatakan, se- lama pelarian, adiknya 
sebenarnya tak jauh dari rumahnya yang berbatas hutan di Lamtamot, Kecamatan 
Lembah Seulawah, Aceh Besar. "Dia hanya ikut-ikutan karena mengira ini masih 
kelanjutan dari latihan untuk dikirim ke Palestina beberapa waktu lalu," 
ujarnya.

Ditemui setelah hampir sebulan dalam pelarian, sosok Abu Rimba (25) terlihat 
jauh berbeda dengan foto sangarnya di selebaran daftar pencarian orang (DPO) 
yang disebarkan polisi. Rambutnya yang semula panjang tergerai dicukur tipis. 
Dengan tinggi sekitar 150 sentimeter dan tubuh kurus, dia lebih menyerupai 
anak-anak yang baru saja pulang dari main perang-perangan bersama 
kawan-kawannya. Tak ada sama sekali raut ketegangan sepulang dari sebuah medan 
pertempuran hidup-mati.

Dia menutupi mukanya dan berusaha bersembunyi dari kamera sebelum kemudian 
mengatakan, sambil tersenyum malu, "Kalau mau ambil foto berdua juga boleh." 
Lalu, dia kembali bercanda dengan mengatakan, "Bagi uangnya, ya. Kalian 
wartawan mendapat uang dari memotret saya...." (AIK/SF/LAS/MHD) 

++++

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=95584:teroris-hanya-perang-opini-bukan-kenyataan&catid=77:fokusutama&Itemid=131

            Tuesday, 09 March 2010 13:32           
     
      Teroris hanya perang opini, bukan kenyataan  
      Warta - Warta Fokus  
      AGUS ZULHAMIDI
      WASPADA ONLINE 

      MEDAN - Menyikapi isu berkembangnya jaringan teroris di wilayah Indonesia 
yang baru-baru ini ditandai dengan adanya pelatihan militer oleh sekelompok 
orang yang diduga memiliki kaitan dengan terorisme di Pegunungan Jalin, 
kecamatan Jantho, kabupaten Aceh Besar, sejak 20 Februari 2010 lalu, dinilai 
hanya perang opini dan bukanlah kenyataan. 

      Hal ini diungkapkan oleh analis militer, Syahrin Harahap, yang sekaligus 
rektor Universitas Alwasliyah Medan kepada Waspada Online, siang ini. 

      Syahrin menuturkan, ada pihak-pihak tertentu yang mengklaim bahwasanya 
negara-negara di Asia Tenggara merupakan negara sarang teroris meskipun pihak 
kepolisian Indonesia sudah memberantas gembong teroris dan anak buahnya yang 
kerap melakukan aksi terornya di republik ini. 

      Dia menambahkan, tertangkapnya teroris di Aceh juga masih berupa dugaan, 
belum terbukti merupakan jaringan teroris. Bahkan menurut Syahrin, hal ini 
menjadi tekanan yang akan menyudutkan rakyat Aceh. "Karena orang-orang pasti 
berasumsi bahwasannya perjuangan rakyat Aceh selama ini diikuti oleh teroris," 
ujar Syahrin. 

      Saat disinggung munculnya isu dan gerakan yang diduga teroris ini 
berkaitan dengan kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, pada akhir 
Maret ini ke Indonesia, Syahrin mengatakan bahwa hal ini akan menjadi 
kesempatan bagi orang-orang yang ingin mencemarkan nama Indonesia di mata 
internasional. 

      "Semakin berkembangnya isu mengenai terorisme jelang kedatangan Barack 
Obama akan menjadi momen bagi orang-orang yang ingin mencemarkan nama Indonesia 
di kancah dunia, bahwasannya Indonesia merupakan negara sarang teroris," tandas 
pria bertitel profesor ini. 

      Sebelumnya, tim gabungan dari Detasemen Khusus 88 Antiteror dan 
Kepolisian Daerah Aceh menangkap sejumlah orang yang diduga memiliki kaitan 
dengan terorisme di Pegunungan Jalin, kecamatan Jantho, kabupaten Aceh Besar, 
sejak 20 Februari 2010.

      Polisi juga menyita barang bukti berupa empat senjata api laras panjang, 
24 magasin dan satu granat asap selain berbagai atribut seperti seragam rompi 
militer serta sejumlah dokumen.
     



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to