http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

[ Sabtu, 03 April 2010 ] 
Renungan Paskah 2010 


Solidaritas Melawan Kemiskinan 
Oleh Benny Susetyo Pr.


KEMISKINAN merupakan fakta yang lumrah terjadi di dunia ini. Namun, kemiskinan 
menjadi masalah serius ketika ia terjadi bukan karena sebab yang lumrah. Hal 
itulah yang menjadi masalah serius di negeri ini sejak kemerdekaan dan lebih 
parah sepanjang masa Orde Baru hingga kita rasakan sampai masa kini.

Masalah Struktural 

Kemiskinan di negeri ini umumnya terjadi karena sebab-sebab struktural. 
Kemiskinan terjadi karena kesalahan kebijakan kita dalam mengelola sumber daya 
alam. Juga, karena ada orang lain yang lebih kaya, yang berjumlah sedikit, yang 
mengeruk manfaat dari kemiskinan itu.

Kemiskinan sampai saat ini memang terus-menerus menjadi masalah berkepanjangan. 
Kemiskinan tidak hanya bermula dari masalah krisis ekonomi semata. Tapi, sejak 
dulu bangsa ini didera penderitaan kemiskinan yang begitu parah hingga 
deritanya seolah tak terasakan lagi.

Tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara 
lain yang sudah bangkit sejak krisis ekonomi 10 tahun lalu membuktikan bahwa 
akar penyebab kemiskinan di Indonesia sangatlah kompleks. 

Terutama, masalah struktural yang dimulai dari cara pandang bangsa ini dalam 
mengelola sumber daya alamnya hingga kebijakan-kebijakan yang tidak pro-orang 
miskin merupakan serentetan masalah struktural yang terkadang sering diabaikan 
sebagai penyebab utama kemiskinan. Bangsa ini lebih banyak menilai orang miskin 
karena bodoh dan malas. Kenyataannya, sulit dicerna dengan akal sehat, di 
tengah keberlimpahan sumber daya ekonomi, jumlah orang miskin terus bertambah 
dari waktu ke waktu.

Di tengah-tengah laporan tentang penanggulangan kemiskinan yang dikabarkan 
semakin menurun, rasanya kita tidak bisa memercayai begitu saja. Begitu banyak 
bukti yang menunjukkan bahwa derajat kualitas dan kuantitas kemiskinan di 
negeri ini semakin meningkat. Tragisnya, kemiskinan kerap dipolitisasi hanya 
untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi dan 
justru diperparah peningkatan kualitas korupsi di tingkat elite yang semakin 
membabi-buta. Kesenjangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin tidak sulit 
dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue 
pembangunan dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi objek pembangunan.

Solidaritas Baru 

Fakta yang dikemukakan tersebut menjadi sumber perenungan kita semua dalam 
Paskah kita kali ini. Dalam Paskah kali ini, kita diajak merenungkan peran kita 
dalam mengatasi masalah yang sangat rumit tersebut.

Sebagai warga negara sekaligus umat beragama, kita mengalami Paskah di tengah 
situasi bangsa yang kurang menguntungkan dan di tengah ketidakpastian akan 
segala hal yang menyelimuti negeri ini.

Di tengah kecamuk ketidakpastian tersebut, negeri ini telah kehilangan rasa 
untuk menganggap lainnya sebagai saudara. Persaudaraan telah memudar karena 
ulah dan perilaku elite politik yang sering bekerja demi kepentingan diri 
sendiri dan tentu kepentingan uang semata-mata. 

Ketika uang menjadi semacam ''dewa'' bagi bangsa ini, kita semakin pesimistis 
tak mampu lagi mengangkat bangsa ini untuk memiliki kebesaran dan 
memperjuangkan peradaban. Perabadan politik telah digantikan oleh kekuatan uang 
yang luar biasa. Ia menentukan segala hal, bahkan mulai moralitas hingga harga 
diri.

Ia begitu dominan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Uang juga menjadi 
penentu gegap gempitanya percaturan politik di negeri ini. Lalu, orang pun 
bertanya, di manakah kedaulatan rakyat? Sebagian di antara kita dengan sedih 
menyatakan daulat rakyat telah digantikan daulat uang. Itulah awal mula 
kematian bangsa ini ketika logika akal sehat sudah tidak lagi menjadi ukuran.

Karena itu, dalam Paskah ini kita bertanya, masih adakah harapan untuk 
melakukan perubahan? Perubahan seperti apa yang dikehendaki elite-elite bangsa 
ini? Dalam Paskah ini, kita bersedih karena sebagian (besar) elite bangsa kita 
telah gelap mata. Hal itu mengakibatkan mata hati kemanusiaan terlindas oleh 
naluri mencari kepuasan dan kekuasaan semata. Kita merasakan hari demi hari 
negeri ini tak memiliki tuan. Sebab, tuannya adalah uang.

Anak negeri kini telah mengalami kelumpuhan mata hati karena pendidikan yang 
menempatkan uang sebagai satu-satunya pemecah masalah. Realitas penderitan yang 
kini dialami anak negeri ini sering kita pertanyakan apakah memang sebagai 
bagian dari nasib dan takdir yang tak terelakkan?

Apakah itu merupakan bagian dari kutukan karena sebagian (besar) pemimpinnya 
lebih menyukai menjadi pembohong, pembual, penipu, dan pemfitnah? Mengapa 
negeri ini selalu dirundung nestapa serta penderitaan?

Benarlah apa yang dikatakan Pengkhotbah (5:16) ''Telah mengeluh bahwa manusia 
sepanjang umurnya berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak 
kesusahan, penderitan, dan kekesalan.'' Yang dikatakan Pengkhotbah itu 
merupakan cermin penderitan bangsa ini yang tak pernah putus dirundung 
penderitaan.

Penderitaan bangsa ini semata-mata bukan disebabkan kesalahan sendiri. Bangsa 
ini menderita lantaran para pemimpinnya tidak menggunakan mata hatinya dalam 
menjalankan amanat. Para pemimpin hanya mengejar hal yang populer yang 
semata-mata berorientasi untuk kepentingan dirinya.

Dalam Paskah kali ini, kita diajak menyalakan lilin kehidupan yang mampu 
menerangi mata hati kembali ke dalam rasa kemanusiaan yang otentik. Kemanusiaan 
itulah yang harus dikembalikan ke dalam jati diri manusia Indonesia. Penemuan 
kembali jati diri kemanusiaan hanya bisa terjadi bila kembali pada Sang 
Kebenaran Abadi. Dan itulah Paskah yang sejati.

Marilah kita mengingat kisah murid Emaus (Luk 24:13-35). Para murid baru sadar 
bahwa Tuhan beserta mereka ketika Dia menampakkan di hadapan mereka. Kesadaran 
Tuhan beserta kita harus menjadi kesadaran bangsa ini. Bahwa Tuhan tidak tidur, 
Gusti ora sare. Dia ada di dalam relung hati setiap orang yang memperjuangkan 
nilai kemanusiaan, kelembutan, serta ketulusan hati. (*)

*). Benny Susetyo Pr., sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antarumat Beragama 
Konferensi Wali Gereja Indonesia 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke