http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=93504


Negara dan jaminan sosial
      Tanggal :  06 May 2010 
      Sumber :  Harian Terbit 


Oleh Zuber Safawi SHI


MESKI sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan 
pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan 
ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi 
berusia enam bulan, putri pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS 
Sari Asih, Karawaci, Tangerang beberapa waktu lalu misalnya menambah panjang 
catatan hitam kasus serupa di tanah air.

Bayi mungil itu tak mendapatkan layanan medis semestinya karena orang tuanya 
tak mampu menyanggupi uang muka sebesar 10 juta rupiah yang diminta pihak rumah 
sakit. Akhirnya, orang tuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU 
Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal 
sebelum tiba di RSU Tangerang.

Tentu sangat miris rasanya, jika peristiwa seperti ini terus terjadi secara 
berulang. Padahal UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah mewajibkan 
fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasiennya. 
Pada pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa dalam keadaan 
darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib 
memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan 
kecacatan terlebih dahulu. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan, dalam keadaan 
darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang 
menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Fungsi Sosial

Demikian pula UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 29 ayat 
(1) huruf f, secara tegas undang-undang ini mewajibkan rumah sakit untuk 
melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan 
pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan 
gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial 
bagi kemanusiaan.

Tapi, realitasnya berkata lain. Kasus Elsa menunjukkan hal yang sebaliknya, 
rumah sakit menolaknya karena tak bisa menyediakan uang muka sebagai jaminan 
pembiayaan. Masalah ketersediaan uang muka atau jaminan pembiayaan memang 
sering menjadi titik pangkal persoalan dalam layanan kesehatan. Ketika tidak 
ada jaminan pembiayaan, seperti kasus di atas, maka sulit bagi warga masyarakat 
untuk mengakses layanan kesehatan.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya implementasi dari aturan yang ada. Untuk itu 
harus ada upaya keras dari pemerintah sebagai regulator untuk menindak 
pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Selain itu, perlu ada upaya yang 
komprehensif untuk merapikan sistem sehingga tidak ada pihak yang merasa 
dirugikan dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut, salah satunya adalah masalah 
jaminan pembiayaan.. 

Sebagai fasilitas yang padat modal, padat karya dan padat teknologi, fasilitas 
layanan kesehatan, khususnya rumah sakit memang dihadapkan pada tuntutan akan 
adanya jaminan pembiayaan yang memadai. Tanpa itu, rumah sakit tak mungkin bisa 
menjalankan fungsinya. Apalagi rumah sakit swasta yang dituntut menjadi revenue 
center (pusat penghasilan) yang harus membawa keuntungan bagi pemilik dan 
pengelolanya. Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit dalam 
melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani warga yang 
tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan penghasilannya. Ini akan 
berdampak buruk terhadap keberlangsungan operasional RS itu sendiri.

Di sisi lain, program terobosan pemerintah nampaknya belum sepenuhnya efektif. 
Pemberian SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan program Jaminan Kesehatan 
Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan jaminan pembiayaan kesehatan bagi warga 
miskin belum sepenuhnya menjadi solusi. Coverage yang terbatas, birokrasi yang 
lambat dan bertele-tele, dan informasi yang tidak tersebar dengan baik menjadi 
titik lemah program yang menyebabkan warga yang tidak mampu menjadi korbannya.

Kasus yang menimpa Istiqomah, warga Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur, pada 
awal Februari lalu menjadi salah satu contohnya. Ia terpaksa harus merelakan 
anaknya, Nur Jamilah (2 tahun) menghadap Yang Maha Kuasa, setelah ditolak oleh 
RSU Persahabatan, Rawamangun dengan alasan ketidaklengkapan dokumen. Pihak 
rumah sakit tidak bisa merawat Nur Jamilah, karena surat keterangan tidak mampu 
dari RW yang dilampirkan tidak  berstempel.

Persyaratan untuk mendapatkan layanan kesehatan bagi warga miskin seperti Kartu 
Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT/RW dan 
lurah setempat, serta surat rujukan dari Puskesmas seringkali menjadi sandungan 
warga untuk mendapatkan layanan, bahkan dalam keadaaan darurat sekalipun. 

Fakta lain, tak sedikit warga miskin peserta Jamkesmas, yang seyogyanya 
mendapat jaminan pembiayaan dari negara tetap tak bisa mendapatkan layanan 
kesehatan. Terbatasnya fasilitas layanan untuk pasien Jamkesmas adalah 
alasannya. Jamkesmas memang hanya menjamin fasilitas layanan untuk di kelas III 
rumah sakit. Sedangkan, untuk mengejar keuntungan, rumah sakit lebih banyak 
menyediakan kelas II, I, VIP dan bahkan VVIP, ketimbang kelas III yang minim 
keuntungan.

Ambil saja contoh kasus yang menimpa keluarga Nasarudin. Warga Desa Sukamulya, 
Cikupa, Tangerang ini kehilangan satu dari tiga bayi kembarnya karena kurangnya 
perawatan medis.  (Penulis adalah anggota Komisi IX DPR RI)

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke