HMNA,

Hanya orang2 bodoh saja yang bisa Anda bodohi dg tafsir yang jadi anutan Anda 
untuk mempropagandakan dan membenarkan aksi bunuh diri yang Anda klaim sebagai 
bom syahid.

Anda membawa-bawa tafsir ulama jaman dulu untuk membenarkan dan menjustifikasi 
aksi teror seperti yang dilakukan oleh Taliban, Amrozi cs, para bomber suicide 
hotel Marriot, para 'pejuang' bom bunuh diri di Palestina, Afghanistan, 
Pakistan dll yang membunuhi rakyat sipil di tempat-tempat umum sambil membunuhi 
dirinya.

Bukankah aksi-aksi tersebut dibenarkan dan dihalalkan oleh Anda dan menurut 
ajaran yang Anda anut?

Lihatlah tulisan di bawah ini yang dikutip dan diamini oleh HMNA menunjukkan 
betapa terangnya tipikal model HMNA dan ini memang giat mempropagandakan dan 
membenarkan aksi bunuh diri.

"Cara yang demikian beragam itu adalah bertujuan demi menimbulkan kerusakan dan 
 ketakutan terhadap kaum kafir .Di zaman sekarang ini di antara cara-cara yang 
cukup kita fahami ialah "menyerbu seorang diri ke posisi musuh, dimana tubuhnya 
telah dilengkapi dengan seperangkat explosive yang kemudian diledakkan sehingga 
dirinya dan musuh yang berada di sekitarnya terbunuh." Banyak pula hal sejenis 
yang dapat digolongkan sebagai operasi Fidaiyah. Dan para ulama tidak 
menyebutnya sebagai BUNUH DIRI."

Buas dan barbar bukan?


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "H. M. Nur Abdurahman" 
<mnur.abdurrah...@...> wrote:

> HMNA:
> Saya tidak pernah menulis ajaran bom bunuh diri, melainkan operasi berani 
> mati dengan senjata BOM-SYAHID.
> Adapun persoalan operasi berani mati sebenarnya sudah ada sejak zaman Ulama 
> terdahulu, misalnya Ibnu Taimiyah dan Imam 4 mazhab. Dan operasi sejenis itu 
> sudah terjadi di zaman Sahabat Radhiyallahu 'Anhum. Sedari dulu, belum ada 
> dari kalangan Ulama Salaf yang menganggap operasi itu adalah sebagai operasi 
> BUNUH DIRI. 
> 
> HUKUM ISTIMATA (OPERASI BERANI MATI TERHADAP MUSUH)
> Oleh Abu Ibrahim Al-Mishri, terjemahan Rere Tambusai
> 
> Kebanyakan ahli ilmu membolehkan  operasi berani mati yang dilakukan seorang 
> diri  untuk menerobos pasukan musuh atau meneroboskan dirinya dalam barisan 
> musuh yang begitu besar sekalipun dia meyakini bahwa hal itu akan 
> mengakibatkan kematian dirinya, demikian juga apabila telah nyata tujuan yang 
> baik seperti untuk memotivasi keberanian kaum muslimin dan menimbulkan 
> ketakutan yang menggentarkan pada pihak musuh dan pada saat yang sama akan 
> mengakibatkan kerugian pada pihak musuh.
> 
> Berkata Ibnu Hajar : " Adapun masalah seseorang meneroboskan dirinya ke dalam 
> pasukan musuh yang begitu banyak maka jumhur telah jelas menyatakan 
> kebolehannya dengan tujuan untuk menaikkan moral kaum Muslimin dan pada 
> keyakinan operasi tersebut akan menimbulkan ketakutan yang menggentarkan  
> pihak musuh ataupun adanya tujuan lain yang baik dan shahih serta membawa 
> kebaikan bagi kaum Muslimin.  Tetapi apabila tujuannya itu murni demi 
> kepentingan pribadi  apalagi membawa kelemahan bagi kaum Muslimin maka hal 
> tersebut DILARANG " Lihat Fat-hul Baari 8/34.
> 
> Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani , salah seorang murid Abu Hanifah berkomentar 
> : " Tidak mengapa seseorang melakukan operasi ini terhadap musuh, sekalipun  
> dia berkeyakinan bahwa operasi ini akan menyebabkan kematiannya. Yang dengan 
> operasinya itu akan menimbulkan kerusakan atau kekalahan pada pihak musuh 
> seperti terbunuh atau terlukanya pasukan musuh. " Kemudian dia berkata: 
> "Tetapi apabila dia mengetahui bahwa operasinya itu tidak membawa kerusakan 
> bagi pihak musuh, maka hal tersebut TIDAK HALAL" Kemudian Asy-Syarkhasi 
> berkata  dalam syarahnya dalam mengomentari pendapat Asy-Syaibani : " Maka 
> syaratnya ialah membawa kerusakan yang nyata pada pihak musuh" Lihat syarah 
> Ascariasis-Siirul Kabiir 1/63-64.
> 
> Imam Al-Qurtubi berkata mengutip dari sebagian Ahli Ilmu dalam masalah ini: " 
> Sekalipun operator mengetahui dan meyakini bahwa dirinya akan mati tetapi 
> dengan operasinya ini diduga kuat akan menimbulkan kerusakan dan kekalahan 
> pada pihak musuh atau menimbulkan dampak positif bagi kaum Muslimin, maka hal 
> ini adalah DIPERBOLEHKAN ", kemudian dia menggunakan dalil tentang riwayat 
> Bara bin Malik ketika terjadi perang  Yamamah ketika mereka membuat benteng 
> konsentrasi di sebuah kebun. Berkata Bara: "Letakkanlah aku di atas tameng 
> ini, kemudian lemparkanlah aku ke arah pasukan mereka" Sahabat r.a kemudian 
> memenuhi permintaannya dan ia seorang diri memerangi mereka sehingga 
> terbukalah benteng pertahanan Banu Hanifah ( Waktu itu dikenal sebagai kaum 
> murtadin). Kemudian Imam Qurtubi berkata : " Berkata Muhammad Bin Hasan : 
> "Apabila seseorang meneroboskan dirinya ke dalam pasukan 1000 (seribu) kaum 
> musyrikin dan ia opimis tentang keberhasilan operasinya itu atau kerugian 
> pada pihak musuh, maka hal ini TIDAK MENGAPA" Sebaliknya jika tidak begitu, 
> maka hukumnya adalah MAKRUH. Sebab operasinya itu tidak membawa manfaat bagi 
> kaum Muslimin. Dan Apabila operasinya itu bertujuan meningkatkan mental kaum 
> Muslimin atas musuh mereka sehingga kaum Muslimin yang lain melakukan hal 
> yang sama (istimata), maka inipun DIPERBOLEHKAN. Dan jika tujuannya adalah 
> untuk menimbulkan ketakutan terhadap Musuh dan untuk mendhahirkan inti dienul 
> Islam, maka inipun diperbolehkan.
> 
> Dan apabila dalam operasi tersebut terdapat manfaat bagi kaum Muslimin 
> sehingga dia berani meneroboskan dirinya demi meninggikan dienullah dan 
> menghancurkan mental kaum kafirin, maka hal ini menempati posisi yang mulia, 
> sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam Al-Qur'an : "Sesungguhnya Allah 
> telah membeli dari kaum mu'minin harta dan jiwa mereka dengan imbalan jannah 
> (syurga)."  Lihat Al-Jami' Ahkamul Qur'an dalam tafsir surat An-Nisa ayat 195.
> 
> Oleh karena itu, TIDAK BENAR menyatakan operasi tersebut sebagai BUNUH DIRI 
> atau menganggap sebagai pintu di antara pintu-pintu bunuh diri, atau juga 
> menganggap sebagai " Membunuh diri tanpa hak", atau menganggap " 
> Menjerumuskan diri dalam kebinasaan" sebagaimana anggapan orang-orang yang 
> terkena waham.
> 
> Sungguh sahabat Nabi SAW telah membenarkan operasi seperti ini sebagaiman 
> telah disebutkan terdahulu tentang operasi Bara bin Malik yang terjadi di 
> zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, dan kisah ini sangat terkenal dalam 
> kitab-kitab Assiiratu Wal Maghaazii (Siroh dan peperangan) ketika Bara bin 
> Malik melemparkan dirinya dalam barisan musuh dan meyerbu seorang diri.
> 
> Diceritakan pula operasi semacam itu ketika terjadi peperangan melawan 
> Romawi. Waktu itu sebagian manusia terkena waham (kekeliruan) dengan 
> beranggapan bahwa menyerbu seorang diri dalam  bilangan musuh yang besar 
> adalah termasuk menjerumuskan diri dalam kebinasaan. Maka sahabat r.a 
> membantah prasangka yang salah itu: " Waktu itu kami di Konstantinopel..dari 
> kota itu keluarlah pasukan Romawi  dengan bilangan yang begitu besar. Kami 
> menyusun barisan menghadapi mereka, tiba-tiba seseorang dari barisan kami 
> menerobos seorang diri sehingga berhasil menembus pasukan romawi, kemudian ia 
> kembali kepada kami. Saat itu manusia berteriak : Subhaanallah! Dia telah 
> menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan!. Melihat gelagat ini, Abu Ayub 
> Al-Anshari berkata : "Wahai Manusia, sungguh kalian telah menta'wilkan ayat 
> tidak pada tempatnya! Ayat ini sebenarnya turun kepada kami di saat Allah 
> telah meninggikan dien-Nya dan telah memberikan banyak pertolongan kepada 
> kami sehingga sesama kami berkata: "seandainya kita menengok harta kita dan 
> memperbaikinya., maka turunlah ayat ini" . Lihat tafsir Ibnu Katsir 1/229.
> 
> Cara yang demikian beragam itu adalah bertujuan demi menimbulkan kerusakan 
> dan  ketakutan terhadap kaum kafir .
> 
> Di zaman sekarang ini di antara cara-cara yang cukup kita fahami ialah 
> "menyerbu seorang diri ke posisi musuh, dimana tubuhnya telah dilengkapi 
> dengan seperangkat explosive yang kemudian diledakkan sehingga dirinya dan 
> musuh yang berada di sekitarnya terbunuh." Banyak pula hal sejenis yang dapat 
> digolongkan sebagai operasi Fidaiyah. Dan para ulama tidak menyebutnya 
> sebagai BUNUH DIRI.
> 
> Persoalan utama yang timbul sekarang ialah, di zaman dahulu operator istimata 
> jika terbunuh, maka ia terbunuh oleh senjata lawan, bukan oleh senjatanya 
> sendiri. Sedangkan sekarang, ia akan terbunuh oleh senjatanya sendiri. Apakah 
> yang demikian ini akan mengakibatkan perbedaan hukum?
> 
> Syaikh Abu Abdulla Muhammad Nasir Al-Mishri (penulis buku ini) , berkata: " 
> Yang benar ialah-Wallahu A'lam- bahwasanya hal tersebut tidak membawa dampak 
> pada perbedaan hukum selagi tujuannya jelas dan baik, sebagaimana telah 
> dituliskan oleh para Fuqaha dan Ahli agama yang beramal dengan ilmunya, yang 
> mereka memiliki otoritas dalam masalah jihad (karena amalan mereka tentunya).
> 
> Demikian itu, karena seseorang yang membunuh dirinya hukumnya adalah HARAM 
> jika timbul dari motivasi FRUSTRASI atau PUTUS ASA atau niat-niat buruk 
> lainnya sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih Bukhori: " Dari Jundab 
> bin Janadah radhiyallahu 'anhu. Berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Dulu,ada 
> seorang lelaki yang mengalami luka dan dia putus asa dengan luka yang 
> dideritanya, kemudian dia mengambil pisau dan mengeratkan pada tangannya 
> sehingga darahnya tak berhenti mengalir sampai ia menemui ajalnya. Allah 
> berfirman: "Hamba-Ku telah mengabaikan Aku dengan membunuh diri-Nya, 
> diharamkan syurga baginya".
> 
> Demikian juga apabila perang itu kosong dari maksud syari'at sebagaimana 
> diriwayatkan dalam Bukhari Muslim (Dari Abu Hurairah r.a : "Barang siapa 
> terjun dari gunung kemudian membunuh dirinya maka dia dalam neraka jahannam, 
> kekal selama-lamanya, dan barangsiapa meminum racun sedangkan racun itu di 
> tangannya kemudian membunuh diri, maka dia tempatnya di neraka, kekal 
> selama-lamanya. Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan besi, dan besi itu di 
> tangannya-yaitu menusukkannya-  ke perutnya sendiri, maka tempatnya adalah 
> neraka jahannam, ia kekal di dalamnya, selama-lamanya".
> 
> Dan membunuh nyawa itu, sekalipun seekor binatang melata, pelakunya akan 
> dikutuk  jika pembunuhan itu sama sekali tidak didasari oleh tujuan-tujuan 
> dan maksud syari'at, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: " Allah 
> melaknat seseorang yang membunuh binatang melata tanpa tujuan yang jelas".
> 
> Akan tetapi jika jelas tujuan dan maksud syar'atnya, dan dengan sebab-sebab 
> yang shahih, maka hal seperti itu memiliki tempat dalam syari'at bahkan 
> diperintahkan oleh Allah SWT. Allah telah memerintahkan sebagian kaum 
> Muslimin untuk membunuh diri mereka sebagai pernyataan taubat mereka kepada 
> Allah. Firman Allah : " Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya : 
> "Wahai kaumku sesungguhnya kalian telah menzhalimi diri sendiri dengan 
> menjadikan anak sapi sebagai sesembahan, maka BUNUHLAH DIRIMU sendiri, yang 
> demikian itu adalah lebih baik bagi kalian di sisi Rabb kalian, maka DIA 
> mengampuni kalian, sesungguhnya Dia Maha pemberi taubat dan Maha Penyayang " 
> ( Al-Baqarah: 54).
> 
> Sekalipun hal ini merupakan syari'at bagi ummat sebelum kita dan hukumnya 
> telah diangkat, akan tetapi pengangkatan hukum itu tidak berarti hukum 
> tersebut bathil, bahkan ini adalah sebagai keringanan dari Allah dan rahmat. 
> Ini menjelaskan kepada kita bahwa membunuh jiwa yang pada asalnya adalah 
> haram, tetapi jika (dalam suatu kondisi) terdapat kepentingan dan maslahat 
> dien, maka ini menjadi boleh. Firman Allah: " Sekiranya kami tetapkan atas 
> mereka untuk : "BUNUHLAH DIRI KALIAN SENDIRI" atau KELUARLAH KALIAN dari 
> negeri-negeri kalian, maka tidak ada yang mengerjakannya melainkan sedikit.." 
> ( An-Nisa 66-68).
> 
> ***


Kirim email ke