Piagam Madinah Bukan Dalil Pluralisme
Oleh Yahya Abdurrahman

Pluralisme merupakan paham yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus 
diserahkan kepada berbagai golongan dan tidak dibenarkan dimonopoli oleh satu 
golongan. Pluralisme juga sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi 
adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Pluralisme 
membolehkan berdirinya partai apapun sekaligus membolehkan partai-partai itu 
menyebarkan pemikirannya, Maka pluralisme membolehkan berdirinya partai kufur 
dan yang menyebarkan ide-ide kufurnya. Kaum Pluralis mengklaim bahwa Piagam 
Madinah mengakui pluralisme. Penelaahan terhadap piagam Madinah secara seksama 
akan memberikan kejelasan dalam masalah ini. Piagam Madinah dapat kita rujuk 
dalam buku-buku sirah dan tarikh karya para ulama terdahulu.[1] 

Ketika Rasul saw mendirikan negara Madinah, masyarakat madinah terdiri dari 
beberapa kelompok. 
== Pertama, kelompok kaum muslim dari kalangan kaum muhajirin dan anshar, dan 
ini adalah kelompok mayoritas. 
== Kedua, kelompok musyrik yang berasal dari kabilah-kabilahn yang ada di 
Madinah. Mereka sudah terwarnai oleh opini Islam. Mereka sudah tidak nampak 
sebagai masyarakat tersendiri. 
== Ketiga, kelompok Yahudi dari berbagai kabilah yang tinggal di wilayah Kota 
Madinah, termasuk Yahuni Bani Qainuqa, dan kelompok yahudi yang tinggal di luar 
kota madinah yaitu Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraidzah.Kelompok Yahudi ini 
merupakan komunitas yang terpisah dengan komunitas kaum muslim, pemikiran dan 
perasaan mereka berbeda dengan kaum muslim. Begitu pula metode pemecahan 
masalah diantara mereka. Sehingga mereka merupakan kelompok masyarakat 
tersendiri yang terpisah dari masyarakat Madinah. 

Yahudi sejak lama telah mengintimidasi masyarakat Madinah. Oleh karenanya 
mereka merupakan masalah yang mungkin muncul paling awal ketika negara Madinah 
baru berdiri. Masalah ini memerlukan solusi. Rasulullah saw menyusun teks 
perjanjian yang mengatur interaksi antar kaum muslim dan sesama warga negara, 
hak dan kewajiban warga negara dan hubungan luar negeri. Piagam ini diawali 
dengan :[2]
Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm, ini adalah kitab (ketentuan) dari Muhammad, Nabi 
saw, untuk mengatur hubungan antara kaum mukmin dan muslim yang terdiri dari 
orang-orang Quraisy dan penduduk Yatsrib serta siapa saja yang mengikuti, 
bekerja sama dan berjuah (berjihad) bersama mereka. ..

Secara garis besar Piagam Madinah ini mengatur : 
== Pertama, interaksi antar kaum mukmin (klausul no. 1-15 dan 17-24)
== Kedua, Interaksi kaum mukmin (muslim) dengan warga negara non muslim 
(Yahudi) yang tunduk kepada hukum Islam sebagai seorang kafir dzimmi.
Antara lain : 
"dan bahwa orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami, maka mereka 
memperoleh perlindungan dan hak yang sama, mereka tidak akan dimusuhi dan tidak 
pula dianiaya"(klausul 16); 
"dan bahwa orang Yahudi akan mendapat pembagian harta bersama kaum mukmin 
selama mereka ikut berperang (bersama kaum mukmin)" (klausul 25)
== Ketiga, hukum yang diterapkan adalah hukum Islam, Jika terjadi perselisihan 
maka solusi dan hukumnya dikembalikan kepada hukum Islam. "dan bahwa kalian, 
apapun yang kalian berselisih tentang sesuatu maka tempat kembalinya adalah 
kepada Muhammad saw".(klausul 24)
== Keempat, interaksi kaum muslim dengan komunitas yahudi yang ikut 
menandatangani Piagam Madinah (Yahudi Bani 'Awf, Bani an-Najjâr, al-Hârits, 
Sâ'adah, al-Aws, Tsa'labah, Jusyam, Jufnah Buthn min Tsa'labah, Bani 
asy-Syatîbah, Sekutu Tsa'labah dan teman-teman dekat mereka). Diantaranya :
Kedekatan dan Kekerabatan Yahudi berlaku antar mereka (klausul 35, 36)
"Tidak seorangpun dari mereka boleh keluar (dari Madinah) kecuali dengan izin 
Muhammad saw" (Klausul 37)
Mereka tidak boleh bekerja sama dengan dan atau memberi bantuan kepada kafir 
Quraisy (klausul 45-47)
Kota Madinah harus menjadi kota suci (harus dijaga) oleh semua orang yang 
menandatangai Piagam Madinah, (kalusul 41-43).
"Bahwa peristiwa atau perselisihan yang terjadi diantara orang-orang yang 
menandatangai piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka tempat 
kembalinya kepada Allah 'Ajja wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw, dan 
bahwa Allah menjaga dan berbuat baik kepada orang-orang yang menandatangani 
piagam ini." (Klausul no. 44)
Dalam piagam ini belum disebutkan Yahudi Bani Qainuqa', Bani Nadhir dan Bani 
Quraidzah. Hal itu karena pada awalnya mereka menolak menandatangani perjanjian 
Piagam Madinah itu. Namun tidak lama kemudian mereka ikut menyetujui dan 
menandatanganinya, dan dibuat perjanjian khusus dengan mereka semisal 
perjanjian Piagam Madinah ini.
 
Bukan Dalil Pluralisme 
Dari paparan singkat ini, jelas bahwa dari sisi komposisi masyarakat Madinah 
yang diakui dalam Piagam Madinah itu memang terdiri dari beberapa kelompok 
komunitas. Namun semua kelompok itu tunduk kepada sistem dan hukum Islam. 
Orang-orang musyrik dan komunitas Yahudi, semuanya tunduk kepada sistem dan 
hukum Islam, sekalipun mereka masih memegang keyakinan masing-masing dan tidak 
memeluk Islam. 

Mereka juga tidak bebas membentuk kelompok atau kerjasama dengan komunitas 
lain, tanpa perkenan dari Rasul saw sebagai kepala negara. Bahkan mereka tidak 
boleh keluar dari Madinah tanpa ijin Rasulullah saw. Menurut piagam Madinah 
itu, kekuasaan ada ditangan Rasul dan kaum muslim. Karena komunitas kaum 
musyrik dan komunitas kaum Yahudi justru tunduk kepada Rasulullah saw. 

Nampak jelas dari Pagam Madinah bahwa seluruh orang yang terlibat di dalamnya, 
bukan hanya kaum muslim tetapi juga kaum musyrik dan kaum yahudi dari berbagai 
kabilah yang disebutkan, tidaklah bebas semaunya, tetapi semuanya terikat 
dengan sistem dan hukum Islam. Semuanya memiliki tanggung jawab menjaga kota 
Madinah. 

Dari semua itu, sangat jelas bahwa Piagam Madinah tidaklah mengakui pluralisme. 
Bahkan Pluralisme bertentangan dengan klausul-klausul Piagam Madinah itu 
sendiri. Dengan demikian masyarakat Madinah yang dibangun oleh Rasulullah bukan 
masyarakat yang tegak diatas asas pluralisme dan kebebasan. Kenyataan ini 
sedemikian jelas bagi siapapun, kecuali bagi mereka yang hendak mengingkari 
fakta nyata yang ada di depan matanya.
-----------------------------------------
[1] Lihat, Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, cet.i, juz iii, hal. 31-35, Dar 
al-Jayl, Beirut, 1411; Ahmad bin 'Abd al-Halim bin Taymiyyah al-Harâni, Abu 
al-'Abbas, Ash-Shârim al-Maslûl 'alâ Syâtim ar-Rasûl, cet I, juz ii, hal. 
129-133, Dar Ibn Hazm, Beirut. 1417; Ibn Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, juz 
iii, hal. 224-226, Maktabah al-Ma'arif. tt; Abu 'Ubaid al-Qasim, al-Gharîb, no. 
517; Ibn Ishaq, Sîrah Ibn Ishaq, hal. 101; Ibn Zanzawayh, al-Amwâl, dari 
az-Zuhdi, lembaran no 70A-71B, 'Umar al-Mushili, Wasîlât al-Muta'âbidîn, juz 
viii, hal. 32B; Sîrah Ibn Sayyid an-Nâs (dari Ishhaq dan Ibn Khutsaymah), juz 
I, hal. 198. Penggalan-penggalan Piagam Madinah itu banyak terdapat dalam 
kitab-kitab hadits shahih. Dalam analisis ini didasarkan pada teks Piagam 
madinah yang tercantum dalam Sirah an-Nabawiyyah Ibn Hisyam.
 
[2] Ibn Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, cet.i, juz iii, hal. 31-35, Dar al-Jil, 
Beirut, 1411






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke