http://www.gatra.com/artikel.php?id=138332

Terorisme, Masjid, dan Budaya Jawa


Mata Densus 88 rupanya sangat tajam dalam memantau gerak-gerik terorisme dan 
para pelakunya di Indonesia. Dalam satu bulan terakhir saja, Densus 88 
menangkap puluhan teroris dan menembak mati beberapa di antara mereka. Dari 
berbagai peristiwa penangkapan teroris dan tembak-menembak pasukan Densus 88 
dengan para teroris, kita tersadar bahwa terorisme di Indonesia ternyata terus 
tumbuh dan berkembang.

Kematian tiga gembong teroris --Azahari, Noor Din Mohd. Top, dan Dulmatin-- 
ternyata belum melumpuhkan gerak dan aktivitas mereka. Mereka tampaknya terus 
melakukan konsolidasi sambil merekrut anggota baru dan memikirkan pola-pola 
serangan alternatif agar tidak mudah diendus aparat keamanan. Tapi aparat 
keamanan pun tidak kalah sigap, sehingga Densus 88 mampu mengendus para teroris 
di mana pun mereka berada.

Dalam penangkapan para teroris di Jakarta dan Krawang, Mei ini --sebelumnya di 
Temanggung, Malang, dan Solo-- ternyata masjid dan langgar masih menjadi 
''tempat aktivitas dan persembunyian'' mereka. Mereka mengadakan pengajian di 
masjid dan berusaha menarik minat masyarakat agar bergabung dengan para 
teroris. Tapi, untunglah, masyarakat jarang yang tertarik pada pengajian 
''keras'' yang disampaikan guru-guru teroris itu.

Salah seorang yang sering diidentifikasi polisi sebagai guru para teroris 
adalah Abu Bakar Ba'asyir, seorang mubalig dari Sukoharjo, Jawa Tengah. 
Fenomena Ba'asyir ini secara sosiologis menarik, karena dia hidup di lingkungan 
pusat kebudayaan Jawa yang halus, penuh unggah-ungguh dan tepo seliro.

Lingkungan budaya Jawa yang selalu mengalah, menghindari konflik, justru 
dipilih Ba'asyir untuk mengembangkan kegiatan-kegiatannya. Meski Ba'asyir dalam 
berbagai kesempatan menolak tuduhan bahwa dirinya ideolog para teroris, sang 
ustad sering mengatakan bahwa pihaknya sangat hormat kepada para mujahid yang 
memilih ''senjata'' untuk menegakkan Islam. Dengan berlindung pada penafsiran 
ayat-ayat Quran secara sepihak, Ba'asyir juga sering mengemukakan pendapat yang 
senada dengan wacana terorisme, misalnya dalam hal demokrasi.

Menurut Ba'asyir, tidak ada demokrasi dalam Islam. Karenanya, jika ingin 
menegakkan syariat Islam, jangan memakai demokrasi. Pendapat ini jelas 
debatable karena dalam Quran ada istilah ''syura'' (musyawarah), yang oleh 
sebagian besar ulama Islam dianggap sebagai dasar-dasar demokrasi.

Meski kemudian ada ulama yang menolak pendapat itu, melihat kecenderungan dunia 
modern yang pro-demokrasi, penolakan Islam terhadapnya hanya menimbulkan 
marjinalisasi Islam di tengah arus utama dunia. Ini jelas tidak menguntungkan 
untuk citra Islam, yang ujungnya kurang baik terhadap dakwah Islam.

Masjid di Jawa

Dalam sistem pemerintahan Jawa, masjid, pasar, dan keraton merupakan satu 
kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Hal ini tercermin pada bangunan Keraton 
Yogyakarta yang berdampingan dengan Masjid Kauman dan Pasar Beringharjo. Di 
Keraton Solo, hal seperti itu juga terjadi.

Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum) mengemukaan bahwa kesatuan keraton, masjid, 
dan pasar merupakan simbol menyatunya kerajaan (kekuasaan), agama 
(spiritualitas), dan pasar (ekonomi). Karena itu, dalam tradisi Jawa, baik di 
pusat kerajaan maupun di tingkat desa, bangunan masjid mesti menyatu dengan 
balai desa dan pasar.

Fenomena ini menarik karena ''masjid'' disimbolkan sebagai bagian dari sebuah 
sistem dalam pemerintahan Jawa. Sayangnya, harmoni keraton, masjid, dan pasar 
itu ''rusak'' setelah ada pemberontakan PKI pada 1965 (Johns, 198).

Robert R. Jay dalam bukunya, Religion and Politics in Rural Central Java, 
menunjukkan bukti-bukti menguatnya ortodoksi Islam setelah munculnya 
pemberontakan PKI. Asumsi Jay ini muncul setelah ia melihat dua masjid di 
Kelurahan Kebonsari, Jawa Timur. Keberadaan dua masjid ini, tulis Jay, 
merupakan indikasi cukup jelas mengenai kekuatan ortodoksi dan komunitas.

Di Desa Tegalroso, Magelang, sebelum tahun 1965, hanya ada satu masjid dan tiga 
langgar. Masjid itu berada di Dusun Playon, sedangkan tiga langgar ada di Dusun 
Calonan, Petung, dan Gambas. Menurut Mbah Parto, sesepuh Desa Tegalroso, 
sekitar satu setengah bulan setelah PKI dituduh terlibat dalam pemberontakan 
September 1965, sebanyak 13 aktivis PKI di Tegalroso digelandang tentara. 
Karena takut dituduh sebagai simpatisan PKI, mereka yang tak pernah menunaikan 
salat kemudian rajin melaksanakan salat di masjid dan langgar.

Orang-orang desa pun mulai belajar membaca Quran. Orang-orang yang dianggap 
paham agama dan fasih bacaan Qurannya diminta menjadi guru mengaji. Warga desa 
tidak hanya diajari salat, melainkan juga diminta ikut pengajian Kiai Chudlori, 
pimpinan Pesantren Tegalrejo. Dampaknya, bangunan masjid dan langgar pun 
bertambah, karena orang yang menunaikan salat dan mengaji juga bertambah.

Di Dusun Calonan, yang sebagian warganya adalah orang NU, setelah peristiwa 
pemberontakan PKI, warga ramai-ramai membangun madrasah ibtidaiyah. Seorang 
warga desa, Pak Parjan, menginfakkan tanahnya untuk membangun madrasah itu. 
Menurut Pak Parjan, mengutip pendapat seorang kiai, ''Sebuah masjid bisa 
diumpamakan gudang beras, sedangkan madrasah digambarkan sebagai sawah. Gudang 
beras tidak akan berfungsi jika tidak ada beras yang akan disimpan di sana.

Di madrasah, para murid dididik menjadi muslim yang baik. Jika banyak muslim 
yang baik, banyak pula orang yang mendatangi masjid. Jika satu masjid tidak 
mencukupi, mereka berusaha membangun masjid atau langgar yang lain.

Apa yang dikatakan Pak Parjan itu ternyata benar. Madrasah dan masjid makin 
lama makin berkembang. Ketakutan warga desa dicap sebagai pengikut PKI 
menjadikan mereka mengirimkan anaknya ke madrasah, dan mereka pun rajin 
menunaikan salat di masjid. Semua ini meningkatkan pengaruh budaya santri.

Salah satu keberhasilan pemberantasan PKI di desa-desa di Jawa adalah berkat 
kampanye rezim Orde Baru, yang menyatakan bahwa orang-orang PKI tidak bertuhan 
dan karenanya tidak boleh hidup di negara Pancasila. Atmosfer seperti inilah 
yang terjadi pasca-pemberontakan PKI, sehingga agama menjadi hal penting bagi 
setiap penduduk.

Gelombang anti-komunis itu, tulis Clifford Geertz, akhirnya menimbulkan 
pengertian bahwa barang siapa yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui 
secara resmi oleh negara akan dicap sebagai ateis (Creating Islamic Tradition, 
1991). Inilah yang menimbulkan dilema. Soalnya agama yang diakui resmi oleh 
rezim Orde Baru hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama 
Konghucu dan Yahudi, misalnya, tidak diakui. Dampaknya: orang-orang yang tidak 
memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh rezim itu setiap saat hidupnya 
terancam karena bisa dicap sebagai PKI.

Dalam perkembangannya, karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, 
jumlah masjid pun bertambah sangat cepat. Organisasi Islam juga makin banyak. 
Apalagi, setelah rezim Orde Baru jatuh, perkembangan organisasi Islam seperti 
cendawan di musim hujan.

Jika sebelumnya di desa-desa di Jawa orang hanya mengenal NU dan Muhammadiyah 
yang ''adem-ayem'' dan ''harmoni'' dengan lingkungan masyarakat kampung, kini 
muncul berbagai organisasi Islam yang ''panas'' dan demonstratif. Antara lain 
Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Jamaah Islamiyah, dan terakhir Ansharut 
Tauhid. Kondisi ini ternyata menimbulkan berbagai friksi di desa dan disharmoni 
di kalangan masyarakat Jawa.

Gus Yusuf Chudlori, putra Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo, pernah 
mengeluh. Pada saat ini, menurut Gus Yus, muncul benih-benih perpecahan di 
kalangan umat Islam di desa-desa di Jawa akibat masuknya ideologi-ideologi 
Islam dari Timur Tengah (Kompas 17/09/09). Mereka mendanai pembangunan masjid. 
Tapi, setelah jadi, masjid itu tidak boleh difungsikan sesuai dengan tradisi 
Jawa, seperti untuk marhabanan, mauludan, haul, dan peringatan-peringatan 
tradisonal Islam lainnya.

Mereka mengajarkan Islam yang ''lain'' --bukan Islam yang biasa dipelajari 
masyarakat tradisional Jawa. Bahkan, lebih jauh lagi, ungkap Gus Yus, 
organisasi itu tak hanya mempersoalkan akidah Islam tradisional, melainkan juga 
mempersoalkan kekuasaan dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Keberadaan ''masjid lain'' dan ceramah-ceramah ''keras'' itulah yang, boleh 
jadi, akan menimbulkan persoalan baru di kalangan Islam Jawa. Jika dulu orang 
Tegalroso membangun masjid secara gotong royong dan menyumbang rupiah demi 
rupiah, dan setelah berdiri menjadi milik warga desa, pada masa kini masjid 
tertentu yang "didanai orang-orang lain benar-benar menjadi milik orang lain 
dan menjalankan agama dengan cara lain''.

Itulah sebabnya, banyak orang kampung kaget tapi tidak heran ketika polisi 
kemudian menggerebek jamaah masjid seperti itu. Fungsi masjid yang adem dan 
harmoni, setelah dimasuki ''anasir'' lain, menjadi panas dan disharmoni. Inikah 
masjid yang menumbuhkan terorisme? Wallahu a'lam bishawab.

M. Bambang Pranowo
Guru besar sosiologi agama UIN, Jakarta
[Kolom, Gatra Nomor 29 Beredar Kamis, 27 Mei 2010] 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke