islam garis keras asalnya dari golongan komunis? hehehe tunggu komennya om Sunny, herilatief, dan para mukimin Eropa lainnya aaahhhhh :)
kalo kasus Amrik, golongan neokonservatif sekarang (pendukung Bush, lobi Israel) cikal bakalnya emang penganu Trotsky (istilahnya pinko commies). Jangan2 termasuk abdullatif juga :) On 6/6/10, abdul <latifabdul...@yahoo.com> wrote: > sunny--------Bismilahirrahmanirrahiim. > Sebuah analisa yg bagus. > Golongan2 islam garis Keras ini yang suka berkata kata kasar > dan buruk serta Fitnah, saya kira mereka datang dari gol.Komunis > yang dibubarkan dulu...atau anak2 mereka. > > Sebab begini Sunny----kalau orang2 yg benar2 bershalat dan mengaku > Islam , mereka TAKUT kpd ALLAH utk berkata kata buruk dan kotor > di MILIst2....Sunny bisa melihat kata kata kasar--kotor--dan--Fitnah > kpd lawan2nya terutama kpd golongan ISLAM AHMADIYAH--LIBERAL-- > DAN SYIAH.... > > Jadi Ciri2 Kader2 Terorist ini dapatdi terka yaitu pemuda2 yang anti; > ---demokrasi---liberla---ahmadiyah---dan leberal...sudah tentu mereka juga > anti Kristen, yahuidi dan Amerika... > > Ini adalah TUGAS kita semua utk menyadari pemuda2 yg sudah termakan oleh > ajaran2 Agama islam yg SESAT--KERAS--dan Teror... > > salam > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "" <am...@...> wrote: >> >> http://www.gatra.com/artikel.php?id=138332 >> >> Terorisme, Masjid, dan Budaya Jawa >> >> >> Mata Densus 88 rupanya sangat tajam dalam memantau gerak-gerik terorisme >> dan para pelakunya di Indonesia. Dalam satu bulan terakhir saja, Densus 88 >> menangkap puluhan teroris dan menembak mati beberapa di antara mereka. >> Dari berbagai peristiwa penangkapan teroris dan tembak-menembak pasukan >> Densus 88 dengan para teroris, kita tersadar bahwa terorisme di Indonesia >> ternyata terus tumbuh dan berkembang. >> >> Kematian tiga gembong teroris --Azahari, Noor Din Mohd. Top, dan >> Dulmatin-- ternyata belum melumpuhkan gerak dan aktivitas mereka. Mereka >> tampaknya terus melakukan konsolidasi sambil merekrut anggota baru dan >> memikirkan pola-pola serangan alternatif agar tidak mudah diendus aparat >> keamanan. Tapi aparat keamanan pun tidak kalah sigap, sehingga Densus 88 >> mampu mengendus para teroris di mana pun mereka berada. >> >> Dalam penangkapan para teroris di Jakarta dan Krawang, Mei ini >> --sebelumnya di Temanggung, Malang, dan Solo-- ternyata masjid dan langgar >> masih menjadi ''tempat aktivitas dan persembunyian'' mereka. Mereka >> mengadakan pengajian di masjid dan berusaha menarik minat masyarakat agar >> bergabung dengan para teroris. Tapi, untunglah, masyarakat jarang yang >> tertarik pada pengajian ''keras'' yang disampaikan guru-guru teroris itu. >> >> Salah seorang yang sering diidentifikasi polisi sebagai guru para teroris >> adalah Abu Bakar Ba'asyir, seorang mubalig dari Sukoharjo, Jawa Tengah. >> Fenomena Ba'asyir ini secara sosiologis menarik, karena dia hidup di >> lingkungan pusat kebudayaan Jawa yang halus, penuh unggah-ungguh dan tepo >> seliro. >> >> Lingkungan budaya Jawa yang selalu mengalah, menghindari konflik, justru >> dipilih Ba'asyir untuk mengembangkan kegiatan-kegiatannya. Meski Ba'asyir >> dalam berbagai kesempatan menolak tuduhan bahwa dirinya ideolog para >> teroris, sang ustad sering mengatakan bahwa pihaknya sangat hormat kepada >> para mujahid yang memilih ''senjata'' untuk menegakkan Islam. Dengan >> berlindung pada penafsiran ayat-ayat Quran secara sepihak, Ba'asyir juga >> sering mengemukakan pendapat yang senada dengan wacana terorisme, misalnya >> dalam hal demokrasi. >> >> Menurut Ba'asyir, tidak ada demokrasi dalam Islam. Karenanya, jika ingin >> menegakkan syariat Islam, jangan memakai demokrasi. Pendapat ini jelas >> debatable karena dalam Quran ada istilah ''syura'' (musyawarah), yang oleh >> sebagian besar ulama Islam dianggap sebagai dasar-dasar demokrasi. >> >> Meski kemudian ada ulama yang menolak pendapat itu, melihat kecenderungan >> dunia modern yang pro-demokrasi, penolakan Islam terhadapnya hanya >> menimbulkan marjinalisasi Islam di tengah arus utama dunia. Ini jelas >> tidak menguntungkan untuk citra Islam, yang ujungnya kurang baik terhadap >> dakwah Islam. >> >> Masjid di Jawa >> >> Dalam sistem pemerintahan Jawa, masjid, pasar, dan keraton merupakan satu >> kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Hal ini tercermin pada bangunan Keraton >> Yogyakarta yang berdampingan dengan Masjid Kauman dan Pasar Beringharjo. >> Di Keraton Solo, hal seperti itu juga terjadi. >> >> Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum) mengemukaan bahwa kesatuan keraton, >> masjid, dan pasar merupakan simbol menyatunya kerajaan (kekuasaan), agama >> (spiritualitas), dan pasar (ekonomi). Karena itu, dalam tradisi Jawa, baik >> di pusat kerajaan maupun di tingkat desa, bangunan masjid mesti menyatu >> dengan balai desa dan pasar. >> >> Fenomena ini menarik karena ''masjid'' disimbolkan sebagai bagian dari >> sebuah sistem dalam pemerintahan Jawa. Sayangnya, harmoni keraton, masjid, >> dan pasar itu ''rusak'' setelah ada pemberontakan PKI pada 1965 (Johns, >> 198). >> >> Robert R. Jay dalam bukunya, Religion and Politics in Rural Central Java, >> menunjukkan bukti-bukti menguatnya ortodoksi Islam setelah munculnya >> pemberontakan PKI. Asumsi Jay ini muncul setelah ia melihat dua masjid di >> Kelurahan Kebonsari, Jawa Timur. Keberadaan dua masjid ini, tulis Jay, >> merupakan indikasi cukup jelas mengenai kekuatan ortodoksi dan komunitas. >> >> Di Desa Tegalroso, Magelang, sebelum tahun 1965, hanya ada satu masjid dan >> tiga langgar. Masjid itu berada di Dusun Playon, sedangkan tiga langgar >> ada di Dusun Calonan, Petung, dan Gambas. Menurut Mbah Parto, sesepuh Desa >> Tegalroso, sekitar satu setengah bulan setelah PKI dituduh terlibat dalam >> pemberontakan September 1965, sebanyak 13 aktivis PKI di Tegalroso >> digelandang tentara. Karena takut dituduh sebagai simpatisan PKI, mereka >> yang tak pernah menunaikan salat kemudian rajin melaksanakan salat di >> masjid dan langgar. >> >> Orang-orang desa pun mulai belajar membaca Quran. Orang-orang yang >> dianggap paham agama dan fasih bacaan Qurannya diminta menjadi guru >> mengaji. Warga desa tidak hanya diajari salat, melainkan juga diminta ikut >> pengajian Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo. Dampaknya, bangunan >> masjid dan langgar pun bertambah, karena orang yang menunaikan salat dan >> mengaji juga bertambah. >> >> Di Dusun Calonan, yang sebagian warganya adalah orang NU, setelah >> peristiwa pemberontakan PKI, warga ramai-ramai membangun madrasah >> ibtidaiyah. Seorang warga desa, Pak Parjan, menginfakkan tanahnya untuk >> membangun madrasah itu. Menurut Pak Parjan, mengutip pendapat seorang >> kiai, ''Sebuah masjid bisa diumpamakan gudang beras, sedangkan madrasah >> digambarkan sebagai sawah. Gudang beras tidak akan berfungsi jika tidak >> ada beras yang akan disimpan di sana. >> >> Di madrasah, para murid dididik menjadi muslim yang baik. Jika banyak >> muslim yang baik, banyak pula orang yang mendatangi masjid. Jika satu >> masjid tidak mencukupi, mereka berusaha membangun masjid atau langgar yang >> lain. >> >> Apa yang dikatakan Pak Parjan itu ternyata benar. Madrasah dan masjid >> makin lama makin berkembang. Ketakutan warga desa dicap sebagai pengikut >> PKI menjadikan mereka mengirimkan anaknya ke madrasah, dan mereka pun >> rajin menunaikan salat di masjid. Semua ini meningkatkan pengaruh budaya >> santri. >> >> Salah satu keberhasilan pemberantasan PKI di desa-desa di Jawa adalah >> berkat kampanye rezim Orde Baru, yang menyatakan bahwa orang-orang PKI >> tidak bertuhan dan karenanya tidak boleh hidup di negara Pancasila. >> Atmosfer seperti inilah yang terjadi pasca-pemberontakan PKI, sehingga >> agama menjadi hal penting bagi setiap penduduk. >> >> Gelombang anti-komunis itu, tulis Clifford Geertz, akhirnya menimbulkan >> pengertian bahwa barang siapa yang tidak memeluk salah satu agama yang >> diakui secara resmi oleh negara akan dicap sebagai ateis (Creating Islamic >> Tradition, 1991). Inilah yang menimbulkan dilema. Soalnya agama yang >> diakui resmi oleh rezim Orde Baru hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, >> dan Buddha. Agama Konghucu dan Yahudi, misalnya, tidak diakui. Dampaknya: >> orang-orang yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh >> rezim itu setiap saat hidupnya terancam karena bisa dicap sebagai PKI. >> >> Dalam perkembangannya, karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, >> jumlah masjid pun bertambah sangat cepat. Organisasi Islam juga makin >> banyak. Apalagi, setelah rezim Orde Baru jatuh, perkembangan organisasi >> Islam seperti cendawan di musim hujan. >> >> Jika sebelumnya di desa-desa di Jawa orang hanya mengenal NU dan >> Muhammadiyah yang ''adem-ayem'' dan ''harmoni'' dengan lingkungan >> masyarakat kampung, kini muncul berbagai organisasi Islam yang ''panas'' >> dan demonstratif. Antara lain Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Jamaah >> Islamiyah, dan terakhir Ansharut Tauhid. Kondisi ini ternyata menimbulkan >> berbagai friksi di desa dan disharmoni di kalangan masyarakat Jawa. >> >> Gus Yusuf Chudlori, putra Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo, >> pernah mengeluh. Pada saat ini, menurut Gus Yus, muncul benih-benih >> perpecahan di kalangan umat Islam di desa-desa di Jawa akibat masuknya >> ideologi-ideologi Islam dari Timur Tengah (Kompas 17/09/09). Mereka >> mendanai pembangunan masjid. Tapi, setelah jadi, masjid itu tidak boleh >> difungsikan sesuai dengan tradisi Jawa, seperti untuk marhabanan, >> mauludan, haul, dan peringatan-peringatan tradisonal Islam lainnya. >> >> Mereka mengajarkan Islam yang ''lain'' --bukan Islam yang biasa dipelajari >> masyarakat tradisional Jawa. Bahkan, lebih jauh lagi, ungkap Gus Yus, >> organisasi itu tak hanya mempersoalkan akidah Islam tradisional, melainkan >> juga mempersoalkan kekuasaan dan negara kesatuan Republik Indonesia. >> >> Keberadaan ''masjid lain'' dan ceramah-ceramah ''keras'' itulah yang, >> boleh jadi, akan menimbulkan persoalan baru di kalangan Islam Jawa. Jika >> dulu orang Tegalroso membangun masjid secara gotong royong dan menyumbang >> rupiah demi rupiah, dan setelah berdiri menjadi milik warga desa, pada >> masa kini masjid tertentu yang "didanai orang-orang lain benar-benar >> menjadi milik orang lain dan menjalankan agama dengan cara lain''. >> >> Itulah sebabnya, banyak orang kampung kaget tapi tidak heran ketika polisi >> kemudian menggerebek jamaah masjid seperti itu. Fungsi masjid yang adem >> dan harmoni, setelah dimasuki ''anasir'' lain, menjadi panas dan >> disharmoni. Inikah masjid yang menumbuhkan terorisme? Wallahu a'lam >> bishawab. >> >> M. Bambang Pranowo >> Guru besar sosiologi agama UIN, Jakarta >> [Kolom, Gatra Nomor 29 Beredar Kamis, 27 Mei 2010] >> >> [Non-text portions of this message have been removed] >> > > > -- Sent from my mobile device