Korupsi Tetap Saja Berjaya
oleh Ishak Ngeljaratan

Si vis pacem, para bellum! Ya, jika ingin damai bersiaplah untuk berperang. 
Ungkapan ini dapat dikenakan pada pernyataan, jika ingin hancurkan kejahatan 
korupsi siaplah memerangi korupsi, terutama siaplah memerangi para pelaku 
korupsi dengan menyeret mereka ke sidang peradilan hukum yang benar-benar 
berkeadilan dan yang benar-benar berkepastian hukum. Berkeadilan hukum dan 
berkepastian hukum dalam proses peradilan tecermin pada pemenuhan rasa
adil masyarakat yang terkena dampak buruk luar biasa dari kejahatan korupsi.

Tingginya frekuensi pembahasan, diskusi, dan perdebatan tentang korupsi sebagai 
topik rutin mungkin sudah lama mencapai puncaknya sehingga saat ini kita berada 
dalam suasana anti-klimaks. Suasana demikian melelahkan dan bahkan menjenuhkan 
atau membosankan ketika kita ingin melakukan kajian-kajian
tentang korupsi sebagai sebuah isu topikal. Namun, topik bahasan tentang 
korupsi tetaplah penting karena jenis kejahatan ini dapat melumpuhkan 
eksistensi negara sebagai jenis kejahatan yang diberi stigma sebagai 
extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.

Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi harus diberantas pula secara luar biasa. 
Cara luar biasa yang selama ini ditempuh ialah adanya KPK, Pengadilan Tipikor, 
dan terutama peran SBY, Presiden RI, sebagai panglima tertinggi yang memegang 
komando langsung di dalam perang (bellum) melawan korupsi dan para
koruptor. Namun, selama dua masa pemerintahan SBY, yaitu masa pemerintahan 
SBY-JK plus masa awal pemerintahan SBYBoediono 2009-2014, terkesan kuat bahwa 
hidup para pelaku kejahatan korupsi masih merasa aman atau habitatnya belum
terusik. Padahal, seharusnya penjara sudah dipenuhi para koruptor dan 
habitatnya sudah terobrak-abrik.

Kegagalan pemerintahan di bawah kepemimpinan SBY sebagai Presiden RI dalam hal 
pemberantasan korupsi tidak semata-mata kegagalan pemerintahan eksekutif, 
melainkan juga pemerintahan dalam institusi legislatif dan yudikatif. Tidaklah 
berlebihan jika dinyatakan bahwa sejauh ini korupsi masih tetap
berjaya bersama para pelakuknya. Pertanyaan mencurigakan ialah, apakah para 
koruptor masih berada dalam hubungan yang aman dengan para elite yang menempati 
berbagai posisi di dalam ketiga institusi pemerintahan, eksekutif, legislatif, 
dan yudikatif.

Bagaimana mungkin habitat para penjahat ini aman-aman saja andaikata para elite 
dalam segenap jajaran pemerintahan sudah berfungsi secara maksimal dan optimal 
sesuai perbedaan perannya masing-masing.

Belum tuntasnya pemberantasan korupsi dalam bingkai suap-menyuap atau dalam 
berbagai kasus markus (makelar kasus), termasuk pelelangan keadilan (justice 
for sale), yang melibatkan kejaksaan, kepolisian, kehakiman/peradilan, dan 
kepengacaraan sebagaimana ramai diberitakan selama ini adalah bukti nyata
tentang masih berjayanya kaum koruptor di negeri ini. Sudah seharusnya kasus 
korupsi perpajakan, perbankan, khususnya skandal Bank Century, dan kejahatan 
lain sebagai top-hits issues yang melibatkan tokoh-tokoh pemerintahan dalam 
kasus korupsi ditelanjangkan di depan rakyat sebagai publik yang dambakan 
pemenuhan rasa adil melalui proses peradilan yang adil dan terbuka.

Selama timbul kesan adanya persekongkongkolan kepentingan antara para koruptor 
dan pejabat, maka selama itu perang melawan korupsi hanyalah suatu idealisasi 
citra dalam idiom politik pejabat yang sama dengan political nonsense (dusta 
politik) yang akhirnya hanya menyakitkan hati masyarakat dan
melindungi keberjayaan korupsi. Ada baiknya, kita memperbarui niat dan tekad 
kita untuk kembali berusaha memerangi korupsi secara sungguh-sungguh tanpa 
berkedok harimau atau serigala yang berbulu domba yang akan selalu memakan 
domba sebagai mangsanya.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke