BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
930 Yang Bernyanyi, Bukan Lagunya

Kalau dalam Seri 392 judulnya The Singer not the Song, maka dalam Seri 930 ini 
judulnya seperti di atas. 
 
Siapakah yang bernyanyi itu? Dia itu bernama Ribka Tjiptaning Proletariati, 
yang penulis buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" (ABJAP). Asal tahu saja, setelah 
buku ABJAP diluncurkan, segera tim yang dipimpin Jaksa Agung Muda Bidang 
Intelijen (JAM Intel), yang waktu itu dijabat oleh Basrief Arief, setelah 
mengadakan investigasi segera memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung, yang 
waktu itu dijabat oleh M.A. Rachman, agar itu buku ABJAP dinyatakan dilarang, 
disita dan ditarik dari peredaran. Tim berargumen, buku tersebut berpotensi 
menyebarkan kembali faham dan ajaran komunisme di Tanah Air.

Dan kita menyegarkan ingatan pembaca, bahwa UU No.27 thn 1999 dengan tegas 
menyatakan melarang penyebaran, pengembangan marxisme-komunisme atau bentuk 
perwujudan lainnya (Psl.107a). 

Dan apakah itu lagunya? Yaitu Sosialisasi Kesehatan Gratis Komisi IX DPR. 
Supaya jelas, kita menyegarkan ingatan pembaca apa yang telah ditayangkan oleh 
media elektronik, yaitu Front Pembela Islam (FPI) bersama Forum Banyuwangi 
Cinta Damai (FBCD) dan LSM Gerak membubarkan acara Sosialisasi Kesehatan Gratis 
yang digelar Komisi IX DPR di salah satu rumah makan di Banyuwangi, Jawa Timur, 
Kamis 24 Juni 2010. Jelas kita dengar ucapan-ucapan: "Ini ada komunitas anggota 
PKI (Partai Komunis Indonesia). Kenapa ada di sini? Ini acara temu kangen bekas 
anggota PKI dan keturunannya." Melihat suasana yang semakin memanas, panitia 
segera mengevakuasi/mengamankan Ribka Tjiptaning Proletariati dan Rieke Dyah 
Ayu Pitaloka(*). Menurut sumber (ANTARA News): "Memang benar, ada beberapa 
peserta yang keturunan keluarga bekas anggota PKI," kata Muhammad Abas Wakil 
Ketua DPC PDIP Kabupaten Banyuwang yang juga menjadi panitia dalam kegiatan 
tersebut. "Kami mengantisipasi tumbuhnya bibit PKI baru karena gerakan PKI pada 
tahun 1965 berawal dari Banyuwangi," demikian Ketua FPI Banyuwangi, Aman 
Faturahman.

Ketua DPR Marzuki Alie menulis ke VIVAnews, Jumat 25 Juni 2010: "FPI sebaiknya 
mengklarifikasi dulu pertemuan tersebut, tidak dengan cara-cara premanisme." 
Penulis Kolom ini sangat menyesalkan mengapa Marzuki Alie yang Ketua DPR tidak 
menyebut FBCD dan LSM Gerak? Ada apa gerangan Marzuki Alie tidak menyebutkan 
kedua organisasi itu? Mengapa Marzuki berlaku tidak adil? Marzuki mengabaikan 
Khutbah Jum'at yang setiap Khatib menutup Khutbahnya dengan ayat:
-- AN ALLH YaMR BAL'ADL (S. ALNhL, 16:90), dibaca: innaLla-ha ya'muru bil 
'adli, artinya:
-- Sesungguhnya Allah memerintahkan (berlaku) adil.

***

Sekarang tentang FPI. 
Baiklah kita nukilkan di sini cuplikan dari tulisan seorang ulama, yaitu Ahmad 
Sarwat, Lc.

Apa yang orang lihat tentang aksi-aksi FPI di media, kalau kesannya aksi-aksi 
itu anarkis, liputannya memang dibuat sedemikian rupa, setidaknya kesan anarkis 
itu memang diekspos, apakah tujuannya untuk memojokkan posisi FPI, atau untuk 
menggambarkan betapa umat Islam itu anarkis atau memang sekedar kerjaan insan 
media yang haus sensasi.

Yang terakhir itu dimungkinkan karena karekteristik media, terutama televisi 
memang butuh liputan dan gambar yang sensasional. Gambar-gambar yang 
menampilkan proses awal di mana para anggota FPI sedang melakukan negosiasi 
kepada para pemilik tempat hiburan yang secara hukum memang melanggar peraturan 
resmi, tidaklah menarik untuk ditampilkan.

Tetapi ketika dari pihak pengelola tempat yang berpenampilan hiburan -- yang 
sesungguhnya tempat maksiyat -- yang memanfaatkan preman sebagai "body guard" 
tempat maksiyat tsb melakukan pelemparan dan provokasi, lalu FPI mempertahankan 
diri sehingga terjadi bentrokan fisik, secara gambar memang merupakan momen 
yang cukup menarik. Karena secara visual, gambar bentrokan itu lebih menarik 
ketimbang gambar orang sedang melakukan negosiasi.

Namun tidak tertutup kemungkinan ada unsur kesengajaan dalam penayangan gambar 
anarkisme yang terjadi. Sangat dimungkinkan bahwa pihak media dimanfaatkan oleh 
para cukong pemilik tempat maksiyat yang bergelimang dengan harta itu untuk 
menampilkan kesan seolah-olah FPI itu tidak lebih dari segerombolan orang yang 
bertindak anarkis.

Mengapa analisa itu muncul?

Karena tindakan yang ditampilkan berulang-ulang di media itu nyaris tidak 
pernah menyentuh akar masalah. Tidak pernah diulas kenapa sampai terjadi 
tindakan itu. Media seolah-olah bagai macan ompong ketika harus bicara tentang 
para pengusaha tempat maksiyat yang melanggar Perda dan perundangan. Yang 
dimunculkan selalu kesan bahwa FPI adalah pelaku tindak anarki. Namun pengusaha 
tempat maksiat yang jelas-jelas melanggar hukum negara dan sekaligus hukum 
agama, sama sekali tidak pernah diungkap.

Mengapa tidak pernah diungkap?

Karena para cukong itu punya uang tak terhingga jumlahnya untuk bisa membuat 
orang-orang pada duduk manis dan tenang, tidak mengorek kesalahan para 
pengusaha maksiyat. Sebaliknya, uang juga bisa membuat orang-orang lebih fasih 
untuk mengatakan bahwa biang keroknya adalah FPI.

Di negeri kita, kebanyakan media dan institusi kepolisian memang masih belum 
bisa gagah seperti yang sering kita lihat di film-film idealis. Mungkin semua 
itu masih ada di 'Republik Mimpi'.

Dan kekuatan rakyat yang diwakili oleh organisasi semacam FPI masih harus terus 
menerima nasib buruk, yaitu dipelintir posisinya di media. Sayangnya, FPI 
sendiri juga tidak punya kekuatan media yang kuat untuk menangkis fitnah yang 
selalu memojokkan posisi mereka. Ini kritik positif buat teman-teman di FPI 
untuk punya perhatian lebih dari sisi media center. Wallahu a'lam bishshawab, 
demikian Ahmad Sarwat, Lc

Apa yang dilakukan FPI, FBCD dan LSM Gerak seperti juga yang telah dilakukan 
Forum Umat Islam (FUI) yang pada Jumat 26/3 - 2010 menyerbu lokasi tempat acara 
Kongres lesbian dan gay di Hotel Oval di Jalan Diponegoro, Surabaya. Memang 
masih dibutuhkan itu organisasi semacam FPI, FUI, FBCD, LSM Gerak dll pressure 
groups. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 4 Juli 2010
-----------------------------
(*)
Dapil Ribka Tjiptaning Proletariati dan Rieke Dyah Ayu Pitaloka itu di Jawa 
Barat.
Kalau tak ada berada,
tidaklah tempua bersarang rendah.
Kalau bukan temu kangen pki
buat apa bertempat di Banyuangi

Catatan:
tempua = weaverbird
http://waii-hmna.blogspot.com/2010/07/930-yang-bernyanyi-bukan-lagunya.html


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke