Pak HMNA, 

Apa yang saya bisa tangkap dari uraian dan konklusi Anda ialah  NKRI 
berfalsafah "penonton" orang dirajam. 

Wassalam,

  ----- Original Message ----- 
  From: H. M. Nur Abdurahman 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, August 05, 2010 12:09 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Iran rejects Brazil asylum for woman facing 
stoning


    
  ----- Original Message ----- 
  From: "sunny" <am...@tele2.se>
  To: <Undisclosed-Recipient:;>
  Sent: Wednesday, August 04, 2010 16:09
  Subject: [wanita-muslimah] Iran rejects Brazil asylum for woman facing stoning

  Refleksi : Kalau Iran menolak Brazil mungkin bisa dimenegerti, karena agama 
di Brasil umumnya adalah kristen Katholik. Tetapi, kalau pemerintah NKRI 
mengajukan permohonan atas dasar kemanusiaan negeri Muslim terbesar di dunia 
untuk memberikan perlindungan suaka kepada wanita yang dihukum mati dengan 
dilempari batu (hukum rajam) mungkin bisa dikabulkan. Apakah pemerintah NKRI 
bersedia mengajukan permohonan ini? 
  
#####################################################################################################
  HMNA:
  Konstitusi Republik Indonesia, UUD -1945, lahir dari Proklamasi Kemerdekaan 
Indonesia 17 Agusutus 1945 dan berakhir setelah Negara Republik Indonesia 
Serikat, di mana diberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dengan 
pengecualian UUD-1945 hanya berlaku dalam Negara Bagian RI Yogyakarta dan Aceh. 
Setelah RIS bubar, semua Negara Bagian melebur diri dalam Negara Repuslik 
Indonesia dengan UUD-Sementara 1950. Konsekwensi peleburan itu berakhirlah pula 
Negara Bagian Yogyakarta dan Aceh, sehingga UUD-1945 habis riwayatnya secara 
mutlak. Untuk menghilangkan status Sementara menjadi UUD definitif, maka UUDS 
mengamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950 pembentukan Lembaga Konstituante 
melalui Pemilu. Berdasarkan hasil Pemilu 1955, terbentuklah Konstituante 
beranggotakan 550 orang. 

  Sampai tahun 1959, Konstituante belum berhasil membentuk UUD baru. Pada saat 
bersamaann, Presiden Soekarno menyampaikan konsepsinya tentang Demokrasi 
Terpimpin. Sejak itu diadakanlah pemungutan suara untuk menentukan Indonesia 
kembali ke UUD 1945. Dari 3 pemungutan suara yang dilakukan, sebenarnya 
mayoritas anggota menginginkan kembali ke UUD 1945, namun terbentur dengan 
jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan. Setelah voting ketiga, 
serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi mengikuti sidang Konstituante 
setelah reses 3 Juli 1959. Keadaan gawat inilah yang menyebabkan Presiden 
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat 
lembaga ini.

  Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, yang telah dikukuhkan oleh Tap MPR No.V/MPR/1973, 
telah menetapkan Dekrit 5 Juli 1960 sebagai sumber hukum, di samping sumber 
hukum Proklamasi 17 Agustus 1945. Dekrit 5 Juli 1960 tersebut menyatakan Piagam 
Jakarta menjiwai UUD-1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan 
UUD-1945. 

  Piagam Jakarta sesungguhnya dibuat untuk dijadikan Muqaddimah UUD kelak, yang 
juga sekaligus dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat (proklamasi) 
kemerdekaan Indonesia. Itulah sebabnya maka Piagam Jakarta hampir identik 
dengan Pembukaan UUD-1945, yang perbedaannya hanya terletak dalam dua hal: 
Muqaddimah vs Pembukaan dan Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at 
Islam bagi Pemeluk-pemeluknya vs Ketuhanan Yang Maha Esa. Disebut dengan Piagam 
Jakarta, karena Muqaddimah UUD yang akan dibacakan dalam maklumat kemerdekaan 
Indonesia, adalah sebuah piagam yang dibuat di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh 
Panitia Sembilan yang terdiri dari sembilan orang, yaitu: Ir Soekarno sebagai 
ketua merangkap anggota, Drs.Moh Hatta, Mr AA Maramis, KH Wahid Hasyim, 
Abd.Kahar Moedzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H.Agoes Salim, Mr Ahmad 
Soebardjo, Mr Moh.Yamin. 

  Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat kemerdekaan 
Indonesia urung dilaksanakan, karena sejarah berkata lain. Bung Karno dan Bung 
Hatta pada 15 Agustus 1945 larut malam diciduk oleh pemuda ke Rengas Dengklok 
dan di sana didesak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Atas jaminan 
Mr Ahmad Soebardjo kedua pemimpin itu dikembalikan ke Jakarta pada malam 16 
Agustus 1945 dengan janji akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 
pagi-pagi keesokan harinya 17 Agustus 1945. Karena naskah Piagam Jakarta tidak 
ditemukan malam itu, berhubung keberangkatan yang tergesa-gesa karena diciduk 
pada larut malam 15 Agustus itu, maka dibuatlah teks proklamasi berdasarkan 
ingatan alinea ketiga Piagam Jakarta. Sehingga diambillah bagian kalimat 
terakhir dari alinea ketiga Piagam Jakarta: rakyat Indonesia dengan ini 
menyatakan kemerdekaannya. Kata "rakyat Indonesia" diganti dengan "kami bangsa 
Indonesia". Inilah yang dijadikan bagian pertama dari teks proklamasi. Bung 
Hatta kemudian mengusulkan tambahan untuk menegaskan status hukum peralihan 
kekuasaan dan itulah yang menjadi bagian kedua dari teks proklamasi: Hal-hal 
yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara 
saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Teks itulah yang dibacakan 
pada 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi. Karena bukan Piagam Jakarta yang dibaca 
secara keseluruhan pada waktu proklamasi kemerdekaan, akibatnya ialah Republik 
Indonesia diproklamasikan tanpa Muaddimah Undang-Undang Dasar, sehingga terjadi 
kevakuman UUD selama satu hari, karena UUD-1945 barulah disahkan pada 18 
Agustus 1945.

  Maka pertanyaan "sunny" dalam refleksinya: "Apakah pemerintah NKRI bersedia 
mengajukan permohonan ini?," dapatlah dijawab: 
  "Pemerintah NKRI tidak boleh mengajukan permohonan ini, karena melanggar 
sumber hukum Dekrit 5 Juli 1960 yang menetapkan Piagam Jakarta menjiwai 
UUD-1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD-1945." Kalau 
dalam negeri NKRI di mana menurut sumber hukum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang 
menetapkan Piagam Jakarta merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD-1945, 
maka suatu perbuatan yang berlawanan dengan menjalankan Syari'at Islam itu 
bertentangan dengan sumber hukum Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka tentu saja 
bagaimana mungkin pemerintah NKRI bersedia mengajukan permohonan supaya 
Pemerintah Iran tidak melaksanakan Syari'at Islam membatalkan hukuman mati 
Sakineh Mohammadi Ashtiani ?" 

  
#######################################################################################

  http://www.kuwaittimes.net/read_news.php?newsid=MTIwNTU2NDQ5

  Iran rejects Brazil asylum for woman facing stoning
  Published Date: August 04, 2010 

  TEHRAN: Iran yesterday rejected an offer by Brazilian President Luiz Inacio 
Lula da Silva to give asylum to an Iranian woman sentenced to death by stoning, 
the Foreign Ministry spokesman said. The sentence imposed on Sakineh Mohammadi 
Ashtiani for an extra-marital relationship, which she denies, has angered human 
rights groups and caused an international outcry. Tehran has suspended the 
sentence, pending a review by the country's judiciary but it could still be 
carried out.

  Lula called on Iranian President Mahmoud Ahmadinejad last month to allow 
Brazil to give refuge to Mohammadi Ashtiani. "From what we know about Mr da 
Silva, he has a humane and sensitive character and probably he has not been 
provided with enough information," Foreign Ministry spokesman Ramin 
Mehmanparast told a news conference. "We can give details of this person's 
crimes, who has been convicted, and then I think the issue will be clarified 
for him," Mehmanparast said.

  Iran and Brazil have drawn closer this year after Brazil and Turkey brokered 
a proposed compromise deal on Iran's uranium enrichment work, which the West 
fears is a cover for developing a nuclear bomb. Tehran rejects the accusation, 
saying it only wants to generate electricity. Murder, adultery, rape, armed 
robbery, apostasy and drug trafficking are all punishable by death under Iran's 
sharia law, enforced since the 1979 Islamic revolution.

  Human rights group Amnesty International has said Mohammadi Ashtiani was 
convicted in 2006 of having an "illicit relationship" with two men and received 
99 lashes as her sentence. The rights group said that, despite this, she was 
subsequently convicted of "adultery while being married", which it said she 
denied, and was sentenced to death by stoning. Amnesty has listed Iran as the 
world's second most prolific executioner in 2008 after China, and says it put 
to death at least 346 people in 2008. The Iranian authorities routinely dismiss 
charges of rights abuses, saying they are following Islamic sharia.-Reuters 

  [Non-text portions of this message have been removed]



  

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to