" KETIKA BUYA
DITANGKAP " - ANTARA DUA BUYA HAMKA DAN BA’SYIR
ISMAIL – 100811 -
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
FORUM WANITA
MUSLIMAH YANG BUDIMAN,
Bismillahir
Rahmaanir Rahiim,
Allahumma Shalli wa
salim ‘alaa Sayyidina Muhammad.
MARHABAN YAA
RAMADHAN ….
ADA KEMIRIPAN ISU
POLITIS DAN REKAYASA DALAM PENANGKAPAN HAMKA DIZAMAN SOEKARNO DAN PENANGKAPAN
BA’SYIR DIZAMAN SOESILO
Berikut ini tulisan seorang sarjana teknik
- *Akmal Sjafril, ST, MPdI* yang dapat kita baca sbb ini …
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ?
KALAU BA'SYIR PERNAH DISUNDUT ROKOK OLEH POLISI - HAMKA " HAMPIR SAJA "
DISETRUM " POLISI KALAU ALLAH SWT. TIDAK MELINDUNGINYA ..
KESAMAANNYA ADALAH HAMKA DAN BA'SYIR TIDAK PERNAH MENARUH DENDAM PADA PERLAKUAN
POLISI ... ITULAH SIFAT2 IMAN ISLAM YANG SEJATI ...
Kejadian ini lebih dari empat puluh tahun
yang lalu. Ketika itu, pertentangan antara kubu Islam dan komunis telah
hampir mencapai klimaksnya. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membawa
ideologi komunis (sekaligus atheis) bergandengan rapat dengan Presiden
Soekarno. Golongan Islam telah benar-benar dipinggirkan. Mohammad
Natsir, yang pernah menjadi kartu truf bagi Soekarno dalam menghadapi
persoalan-persoalan dalam negeri, telah
diasingkan dari panggung politik. Partai Masyumi telah dibubarkan
beberapa tahun sebelumnya, bahkan PKI menggunakan nama "Masyumi"
untuk konotasi buruk, sebagaimana media Barat kini mengasosiasikan jihad dengan
terorisme. Tuduhan
'ingin menghidupkan kembali Masyumi' pada masa itu dipersepsikan sama buruknya
dengan tuduhan 'ingin menghidupkan kembali PKI' di masa kini.
Antara Buya Hamka dan Soekarno telah
terjadi benturan yang sangat keras dan nampaknya sudah tak bisa diperbaiki
lagi. Buya, yang tadinya memandang Soekarno sebagai anak muda penuh
kharisma dan semangat, kini memandangnya telah kebablasan. Pernah suatu
ketika Soekarno menyatakan pandangannya dalam sebuah sidang, kemudian ia
mengatakan, "Inilah ash-shiraath al-mustaqiim! (jalan yang benar)". Buya
menimpali, "Bukan, itu
adalah ash-shiraat ila al-jahiim! (jalan menuju Neraka Jahim)." Sudah barang
tentu,
Buya tidak pernah bisa menerima pemikiran Soekarno pada masa itu yang sudah
terlalu terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran sekuler dan komunis.
Itulah sebabnya Buya marah besar ketika Muhammadiyah
enganugerahinya suatu gelar kehormatan yang belum pernah diberikan
sebelumnya kepada orang lain.
Pada tahun 1964 itu, sudah beredar kabar bahwa para ulama dan pemuka umat
Islam, terutama tokoh-tokoh Masyumi, akan segera ditangkap. Buya Hamka
sendiri merasa dirinya bukan tokoh politik, karena memang ia kurang tertarik
pada politik. Dalam urusan politik, beliau mempercayakan pandangannya
pada sahabatnya, Natsir. Meskipun tidak punya jabatan tinggi di Masyumi,
namun beliau dikenal luas sebagai juru kampanye dan orator andalan partai itu.
Ketika beredar kabar bahwa tokoh-tokoh eks Masyumi dan para 'penentang
pemerintah' akan ditangkap, sikap Buya relatif tenang, karena tidak merasa
sebagai tokoh penting di Masyumi, dan juga tidak merasa sebagai penentang
pemerintah.
Yang diisukan itu akhirnya terjadi juga. Pagi itu, Buya Hamka baru saja
pulang sehabis mengisi pengajian ibu-ibu. Sesampainya di rumah, beliau
beristirahat sejenak, sementara Ummi Siti Raham, istrinya, tidur di kamar
karena sedang tidak sehat. Sekonyong-konyong datanglah beberapa orang
polisi berpakaian preman yang menunjukkan surat
perintah penangkapan terhadap dirinya. "Jadi saya ditangkap?", ujar Buya yang
masih
diliputi keheranan, berkata pelan-pelan agar tidak mengejutkan istrinya.
Rusydi, anak beliau, membereskan pakaian secukupnya untuk beliau bawa.
Suara gaduh akhirnya membangunkan sang istri yang juga tidak tahu mesti
berkomentar apa menanggapi penangkapan itu. Buya hanya merangkul bahunya,
menghiburnya agar tetap tegar. Kepada istri dan anak-anaknya, Buya Hamka
berpesan bahwa insya Allah penangkapannya takkan lama, karena ia sendiri merasa
tak pernah berbuat salah. Tidak ada informasi ke mana beliau dibawa,
hanya ada pesan bahwa keluarganya boleh menghubungi Mabes Polri untuk informasi
lebih lanjut. Maka dibawalah Buya ke dalam sebuah mobil yang segera
melesat, entah ke mana. Setelah mobil menghilang dari pandangan, pingsanlah
Ummi Siti Raham.
Selama beberapa waktu lamanya, tidak ada kabar sama sekali tentang Buya.
Tidak ada yang tahu di mana beliau ditahan, apa tuduhannya, bahkan masih hidup
atau tidaknya pun entah. Sampai akhirnya ada berita bahwa keluarga boleh
mengunjunginya di Sukabumi, barulah
istri dan kesepuluh anaknya dapat bertemu. Di bawah pengawasan para
penjaga yang berwajah sangar, Buya sempat menyelundupkan pesan ke salah satu
anak laki-lakinya, "Para penjaga ini sama
dengan Gestapo Nazi!" Secarik surat
juga sempat disisipkan untuk dibaca oleh keluarganya di rumah.
Terkejutlah keluarganya membaca pesan Buya, sebagaimana Buya juga terkejut
ketika pertama kali interogatornya memberi tahu tuduhan-tuduhan yang ditimpakan
kepada dirinya. Terlibat dalam rapat rahasia menggulingkan Presiden,
menerima uang empat juta (tidak jelas mata uangnya) dari Perdana Menteri
Malaysia, memberikan kuliah
yang bersifat subversif, dan berbagai kejahatan lainnya.
Dalam penahanan, sudah tak ada lagi gelar ulama, bahkan para interogator tidak
ada yang memanggilnya Buya, meskipun seluruh warga Indonesia sudah biasa dengan
sebutan itu. Dari hari ke hari, beliau diinterogasi dengan kata-kata
kasar dan penuh hinaan, hingga suatu hari pernah beliau tergoda untuk melakukan
perlawanan, namun dibatalkannya setelah menyadari bahwa hal itu hanya akan
membuat keadaan menjadi lebih buruk. Tuduhan-tuduhan yang ditimpakan
padanya murni dibuat-buat, karena pada tanggal terjadinya rapat gelap tersebut
(jika memang rapat itu ada) beliau tengah menghadiri sebuah acara besar yang
dihadiri banyak orang, dan beliau pun berbicara pada acara itu, disaksikan
semua orang. Dalam kuliah yang diberikannya itu, sama sekali tak ada
unsur subversif. Bahkan dalam kuliah itu Hamka mengatakan bahwa cara-cara
yang telah ditempuh Daud Beureueh telah gagal, karena itu jangan gunakan lagi
cara yang sama. Tempuhlah cara-cara damai untuk menyebarkan ajaran Islam
di negeri ini. Satu dari mahasiswa yang menghadiri kuliah tersebut
ternyata menjadi mata-mata dan melaporkan ucapan Buya dengan tidak utuh.
Para interogator tak mau tahu apa pun alasan
yang diberikan, karena tujuan mereka memang untuk membuat Buya mengaku, bukan
untuk mengorek kebenaran.
Kata mereka, sudah banyak saksi yang mengatakan bahwa Buya memang hadir dalam
rapat gelap, diantaranya si fulan dan si fulan. Dalam suatu kesempatan,
akhirnya permohonan Buya untuk dipertemukan dengan salah seorang yang bersaksi
demikian dikabulkan. Orang itu baru ditemuinya dua kali.
Akan tetapi, di hadapan penyidik, ia bilang Hamka memang melakukan ini dan
itu. Ketika ditinggal berdua dengannya, tahulah Buya bahwa orang ini
hanya mengaku-ngaku saja lantaran tak berani menerima siksaan. Selain
dia, sudah ada orang lain yang disiksa karena tak mau mengakui skenario bikinan
pemerintah. Siksaan yang diterima Buya rupanya masih jauh dari maksimal,
karena yang lain sudah dipukul dan disetrum.
Pada suatu hari, kelelahan Buya telah memuncak. Ketika itu, tim
interogator datang seperti biasa, dengan wajah yang sangarnya tidak
dibuat-buat. Salah seorang diantaranya membawa sebuah bungkusan yang
isinya tak terlihat.
Buya, yang sudah terlalu capek, meminta agar para penyidik itu menuliskan saja
apa-apa yang telah dituduhkan kepadanya, dan ia akan menandatanganinya, jika
memang itu yang mereka inginkan. Para
penyidik pun senang, kemudian Buya dapat istirahat beberapa lama sementara
mereka menyusun konsep yang akan ditandatanganinya.
Kejadian terjadi susul-menyusul. Terungkaplah nama orang yang telah
memfitnah Buya Hamka, dan orang itu pun telah berada di tahanan polisi (dan
disiksa
juga). Tidak banyak informasi yang bisa didapatkan perihal sebab-musabab
dihembuskannya fitnah itu. Yang jelas, sejak itu, sikap para penyidik
menjadi lunak. Beberapa yang tadinya kejam dan sangar bahkan mulai
memanggilnya Buya, membawakan makanan. Seorang diantaranya, yang pernah
membawa bungkusan, meminta diajari doa-doa yang biasa dibaca Buya. Buya
pun mengajarinya beberapa doa, sambil berpesan bahwa doa-doa tersebut hanyalah
tambahan saja, sedangkan yang paling utama dan tak boleh ditinggalkan adalah
shalat lima
waktu. Setelah ia pergi, seorang polisi muda datang dan menitikkan air
mata di hadapan Buya. Katanya, ia menangis dan berdoa di luar ruangan
tempat Buya diinterogasi dahulu, karena penyidik yang tadi baru saja minta
diajarkan doa-doa itu sebenarnya membawa alat untuk menyetrum Buya, yang
disembunyikannya dalam sebuah bungkusan. Syukur alhamdulillaah, tubuh
Buya tak perlu mengalami siksaan itu.
Pada tahun 1966, bersamaan dengan hancurnya kekuasaan PKI dan pemerintahan
Soekarno, Buya Hamka dibebaskan. Semua tuduhan pada dirinya dihapuskan.
Setelah peristiwa itu, tak pernah
terdengar Buya menuntut balas atas kezaliman yang telah dialaminya. Dalam
pendahuluannya untuk Tafsir Al-Azhar, Buya mengatakan bahwa kejadian itu sangat
besar hikmahnya, karena tafsir yang hanya selesai sedikit setelah dikerjakan
bertahun-tahun ternyata bisa tuntas dalam masa dua tahun di penjara. Di
penjara itu pula Buya mendapat banyak waktu untuk melahap buku-buku yang ingin
dibacanya, dan larut dalam ibadah shalat malam dan tilawah.
Buya hidup
seperti biasa, tanpa memendam dendam, bahkan sampai membuat anaknya, Rusydi,
merasa gemas bukan kepalang ketika beliau menitikkan air mata ketika mendengar
Soekarno telah wafat. Banyak orang memintanya agar tidak menshalatkan
Soekarno, akan tetapi beliau pergi juga, bahkan menjadi imam shalat
jenazahnya. Begitulah Buya Hamka.
Dari masa ke masa, gerakan Islam memang seringkali dipandang sebagai ancaman
oleh penguasa. Alasannya adalah tauhid itu sendiri, karena ajaran tauhid
menghendaki setiap manusia diberi kemerdekaan dan tidak tunduk pada siapa dan
apa pun, kecuali kepada Allah. Sebaliknya, rejim penguasa yang lupa
daratan biasanya ingin terus berkuasa secara absolut. Ironisnya, ketika negara
dalam keadaan bahaya, misalnya
ketika mengusir penjajah, sentimen keislaman itulah yang paling efektif untuk
dimanfaatkan. Sebab orang Islam tak perlu diberi alasan panjang lebar
untuk membela negeri tumpah darahnya sendiri. Tak perlu diceramahi, tak
perlu dipaksa-paksa, bahkan tak diberi senjata pun ia akan melawan, sebab
jiwanya telah dimerdekakan oleh tauhid.
Apa yang pernah terjadi pada Buya Hamka perlu menjadi renungan kita
bersama. Banyak orang, baik yang sejalan atau berbeda pandangan dengan
beliau, yang sangat terkejut mendengar kisah pengalaman beliau di penjara.
Betapa ganjilnya tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dan betapa tidak
pantas siksaan-siksaan yang telah (dan nyaris) dialaminya. Hamka bukan
tipe provokator, bahkan beliau tak pernah punya reputasi bertemperamen tinggi
sebagaimana ayahnya dulu. Semua orang mengenalnya sebagai pribadi
lembut yang tidak suka membesar-besarkan masalah, lebih suka bekerja sama
daripada berdebat, dan lebih suka mengalah daripada memperpanjang masalah.
Sudah barang tentu semua orang pun paham bahwa tuduhan subversif kepada Hamka
adalah dagelan belaka.
Bagaimanapun lembutnya Buya, hal itu terjadi juga padanya. Betapa pun
lembutnya ajaran beliau, tetap saja dituduh subversif. Tentu saja ini
bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan cara-cara kelembutan dengan
mengatakan bahwa cara-cara tersebut telah terbukti gagal dalam kasus Buya
Hamka.
Memang jalan kelembutan itulah yang dikehendaki Islam, dan gerakan Islam harus
terus waspada atas fitnah yang dihembuskan orang kepadanya. Jika kepada
orang tua seperti Buya Hamka pun mereka tega menyiksa dengan setruman (walaupun
tidak jadi dilakukan), bisa dibayangkan hal kejam semacam apa yang bisa mereka
lakukan kepada para pemuda.
Sejarah telah membuktikan bahwa seringkali penegak keadilan itulah yang
membengkokkan keadilan. Kalau sudah demikian, rumit sekali masalahnya.
Kini, reputasi kepolisian sudah semakin memprihatinkan. Ketika orang
disuruh menghentikan kendaraannya, misalnya, banyak yang tidak lagi merasa
bersalah dan pantas ditilang, melainkan hanya memaklumi bahwa polisi yang
menghentikannya sedang mencari tambahan penghasilan. Benar-tidaknya
pandangan ini memang kasuistik sifatnya, namun stigma negatif semacam itu
memang telah melekat pada kepolisian.
Tidak
heran jika banyak yang curiga bahwa yang dialami oleh Buya Hamka dulu itulah
yang kini sedang dialami oleh sebagian aktifis Muslim yang dituduh
teroris. Aksi-aksi terorisme di Indonesia,
menurut sebagian rakyat Indonesia,
tidak lebih dari rekayasa intelijen. Tidak jauh beda dengan fitnah yang
dialami Buya dahulu.
Di sisi lain, sebagian media massa pun telah bertindak
tidak adil.
Sementara peradilan belum dijalankan, label teroris telah diberikan. Sungguh
menarik, betapa cepatnya media percaya pada keterangan polisi (padahal
keterangan penyidik bukanlah vonis hukum) dalam kasus-kasus terorisme,
sedangkan dalam kasus-kasus lain seperti skandal Bank Century, mereka cenderung
berkeyakinan bahwa kepolisian telah bertindak tidak jujur.
Kita, sebagai umat Islam, harus pandai
memetik hikmah dari sejarah panjang ini.
*wassalaamu�alaikum wr. wb.*
http://akmal. multiply. com
[Non-text portions of this message have been removed]