Beberapa hari yang lalu, Transparency International Indonesia mengeluarkan publikasi tentang Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2006. Laporan ini merupakan hasil survey diantara pelaku bisnis di 32 kota di Indonesia. Survei ini diselenggarakan Desember 2006.
Dari 32 kota tersebut, Banten diwakili Kota Cilegon (59 responden) dan Kota Tangerang (61 responden). Sayang memang, dua daerah ini belum tentu bisa mewakili keseluruhan citra atau persepsi pelaku bisnis tentang terjadinya korupsi di wilayah Banten. Empat daerah lainnya di Banten, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang, "beruntung" tidak disurvei, sehingga tidak terlihat bopengnya, meski kita semua tahu, kabupaten yang tidak termasuk tersebut juga tidak bebas dari korupsi. Saya menduga, pemilihan dua daerah ini sebagai wilayah penelitian, didasarkan atas banyaknya investasi dan penanaman modal asing dibandingkan dengan empat daerah lainnya. Dari survey ini TII kemudian menghasilkan data yang disusun menjadi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang mengurutkan wilayah-wilayah di dalam derajat korupsi tertentu yang terjadi pada pejabat publik. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis di daerah tersebut. Nilai Indeks yang tinggi mencerminkan bahwa responden memberikan penilaian yang baik, sementara nilai yang rendah mencerminkan responden menilai bahwa di daerahnya praktek korupsi masih tinggi. Sementara dua variable yang menjadi komponen utama pembentukan indeks ini adalah terjadinya suap di dalam kontrak bisnis antara pengusaha dan insititusi publik dan yang kedua adalah komitmen kepala daerah dalam memberantas korupsi. Dari hasil survey yang dilakukan tersebut, persepsi pelaku bisnis yang tinggal ataupun melakukan usaha di Cilegon menghasilkan indeks 3,85 dalam skala 0-10. Artinya pengusaha menilai masih terjadi korupsi yang relatif tinggi di daerah ini. Kalau kita elaborasikan lagi dengan komponen pembentukannya, di daerah pengusaha menilai, sangat diperlukan suap untuk memudahkan mereka, sementara mereka juga tidak puas dengan komitmen kepala daerahnya untuk memberantas korupsi. Dari 32 daerah yang disurvei Cilegon menempati posisi kelima teratas tingkat korupsi tertinggi di Indonesia. Hal ini menunjukan penurunan prestasi dibandingkan survey serupa tahun 2004 silam. Waktu itu Cilegon justru menempati empat besar korupsi paling rendah dari 21 daerah yang disurvei. Sementara Kota Tangerang tahun 2006 ini menempati posisi 14 tingkat korupsi tertinggi dengan skala 4,51, atau menurun dibandingkan tahun 2004 yang menempatkan Tangerang di posisi ke sembilan. Tapi tentu saja, buruknya persepsi pelaku bisnis tentang tingkah laku birokrat ini tidak mencerminkan persepsi mereka ke pejabat di Cilegon ataupun Tengerang saja, kebetulan saja yang dijadikan responden berdiam ataupun berusaha di daerah ini, tapi bisa saja mereka diperas ataupun dijadikan objek korupsi oleh pejabat di tingkat wilayah ataupun instansi di tingkat provinsi. Kelemahan survey ini memang tidak menyebutkan untuk kontrak bisnis di tingkat mana saja mereka harus menyuap. Apalagi TII juga tidak mampu, dan tidak memiliki variable turunan yang menyebutkan, selain harus menyuap penguasa, para pengusaha di kedua daerah ini harus menyuap berbagai pihak seperti penguasa-penguasa bayangan yang begitu banyak bergentayangan di Banten, dan meminta bagian dari proyek dengan persentase nu teu kira-kira he he Salam Machsus Thamrin