Dear All... 

Berikut ini tulisan Sobat mantan satu kost-ku... dia satu kantor denganku dan 
sering berbalas tulisan denganku..  

Tulisan ini sangat layak untuk jadi renungan perilaku, kebiasaan, tradisi, 
budaya dan peradaban bangsa kita..

Thanks. 

Latief.





Minggir lu bego!

by heriwe

24 ramadhan 1429 H

 

 

Sebenarnya peristiwa ini bukanlah yang pertama kalo aku alami di Jakarta ini. 
Semenjak petama kali menginjakkan kaki di ibukota ini memang sudah seringkali 
banyak hal-hal yang di luar pikiran kita, senyatanya menjadi realitas 
keseharian. Tetapi untungnya aku selalu punya cara untuk bertahan dalam 
idealisme.

 

Kemaren sore, sepulang dari kantor seperti biasa aku pulang mengendarai hondawe 
yang sudah 2 tahun menemaniku di jakarta ini. Sore itu pukul 17.00, tapi 
matahari masih terik. Suasana jalanan lebih lengang dari biasanya. Mungkin 
karena hari itu adalah tanggal 23 ramadhan, jadi sebagian orang di jakarta 
sudah mulai mudik ke kampung halamannya masing-masing untuk merayakan lebaran. 

 

Sesampainya di pertigaan Podomoro (arah ke yos sudarso), di sana ada traffic 
light, maka aku pun berhenti. Kali ini karena tidak terlalu rame, maka aku pun 
senang bisa nyaman untuk tertib berada di belakang garis putih. Sebab di 
jakarta ini sudah bukan rahasia lagi kalau orang-orang terpelajar yang naik 
motor maupun mobil itu tidak ngerti kalo lampu merah itu harus berhenti dan 
berada di belakang garis putih. Rata-rata selalu melebih garis putih. Bahkan 
untuk perempatan besar, seperti di perempatan ITC Cempaka Mas pasti motor-motor 
sudah berjajar di tengah-tengah perempatan, meskipun lampu masih merah. Namun 
sore ini beda. Aku pun lebih nyaman di belakang garis putih. Di samping kananku 
ada Avanza yang juga melakukan hal yang sama. Aku lihat  traffic light sebelah 
kanan bertanda merah, artinya harus berhenti. Sedangkan traffic light sebelah 
kiri, menyala lampu hijau, artinya mobil yang mau lurus, boleh jalan terus. 

 

Maka aku pun berada di sisi kanan jalan. Tiba-tiba di sebelah kanan belakangku 
terdengar suara klakson.."tiiin..tiiiin,   tiiiin..tiiiin" Aku pun spontan 
menoleh ke belakang. Kulihat Lexus berwarna silver, berada di belakangku. Aku 
diam saja, karena merasa posisiku adalah benar. Ternyata dia masih saja 
mengklakson."tiiiiiiiiin..tiiiiiiiiiiiiiiiiiin..." Aku pun menengok lagi ke 
belakang, kali ini kulihat kaca copirnya terbuka dan ada sosok kelihatan di 
sana. Aku sedikit berubah pikiran, ah barangkali dia mau lurus, tapi susah 
jalan terus karena terhalang motorku, begitu pikirku. Meskipun aku lirik di 
sebelah kiri, sebenarnya masih cukup untuk jalan sebuah sedan. Tapi ya sudah 
lah, aku terpaksa mengalah, dan dengan terpaksa maju sedikit melewati garis 
putih.

 

Tapi ternyata dugaanku salah, Lexus itu tiba-tiba menyalipku dari kiri dan 
berbelok ke kanan tepat di depanku, padahal lampu masih merah, dan kulihat 
bapak-bapak paruh baya, berkulit bersih, berkumis, mengeluarkan kepalanya dan 
berkata.."minggir lu bego!

 

Ada perasaan lain yang menelusup pada saat itu di benakku. Ada sebersit 
kekagetan, kejengkelan, dan mungkin bibit kemarahan. Siapa yang bego sebenarnya 
dalam situasi yang seperti ini?!!??!.. Di tengah-tengah lingkungan yang korup, 
maka orang yang tidak korupsi adalah orang yang bego. Di antara orang-orang 
yang tidak disiplin, maka orang yang disiplin adalah bego. Diantara orang-orang 
yang tidak normal, maka orang yang normal adalah tidak normal.  Saya jadi 
berpikir, jangan-jangan saya memang sedang jadi orang bego dan tidak normal 
dalam situasi seperti itu. Saya jadi teringat cerita Jaya Suprana dalam salah 
satu seminarnya. Dia bercerita bahwa ketika hidup di Jerman, dia jauh lebih 
tertib daripada hidup di Indonesia. "Bayangkan saja, jam 12 malam naik mobil 
sendirian, ada traffic light menyala lampu merah. Kira-kira apa yang akan anda 
lakukan? Apa yang saya lakukan saat itu? Tanyanya lagi. Saya berhenti." Tapi 
saya akan jadi orang bego kalo itu saya lakukan di Jakarta. Begitu kata Jaya 
Suprana.

 

Mungkin itulah yang sedang dan sering terjadi padaku di Jakarta ini. Naif dan 
bego lebih tepatnya. Tapi mungkin ini bagian dari keyakinanku bahwa manusia itu 
bisa berubah, dan manusia berpotensi menciptakan budaya. Betapa kecil hal yang 
dilakukan, jika konsisten dilakukan maka akan mejadi kebiasaan. Jika 
kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan secara masif dan kolektif, maka terjadilah 
tradisi. Jika tradisi dipertahankan, maka itulah budaya. Jika budaya 
dikembangkan itulah peradaban. Jepang punya budaya malu yang terus bertahan 
hingga saat ini, ekspresinya bermacam-macam. Mulai dari mengundurkan diri, 
hingga bunuh diri. Singapura punya budaya taat aturan. Terlepas bahwa 
keteraturannya  merupakan product dari diktatorisme gaya baru, tapi 
kenyataannya rakyat singapura fine-fine saja dengan budaya itu. Lalu kita punya 
budaya apa? Antre, tertib, disiplin, jujur, setia, tidak korup..???? Rasanya 
bukan, atau minimal not yet.

 

Maju tidaknya sebuah bangsa ditentukan dari peradabannya, baik melalui 
simbol-simbol fisik maupun tata nilai yang berlaku. Pantas jika Indonesia belum 
menjadi bangsa besar, meskipun potensi itu sesungguhnya ada. Karena bangsa yang 
besar butuh orang-orang besar. Bukan orang-orang yang kerdil yang mengecilkan 
arti dirinya dengan melakukan tindakan-tindakan kerdil. Kita butuh orang-orang 
yang melakukan tindakan-tindakan yang (meskipun) kecil tapi dilakukan dengan 
cara-cara yang besar dan elegan. Melekatnya gelar Doktor tidaklah bernilai 
apa-apa jika tesisnya diperoleh dari hasil contek sana contek sini. Begitu pula 
gelar haji juga tak berarti apa-apa jika Sholat shubuh saja masih sering 
terlambat. Menjadi pejabat negara atau anggota dewan juga bukanlah sesuatu yang 
membanggakan, jika masih menerima uang suap dari rekanan. Mungkin masih lebih 
terhormat menjadi tukang sapu jalanan yang rajin dan jujur.

 

Saya tidak ingin pesimis dalam memandang dunia di sekitar kita. Tapi momen itu 
menyadarkan bahwa inilah realitas yang sedang terjadi, dan mau tidak mau harus 
dijalani. Bagaimana cara kita mendidik anak kita dengan value yang baik, 
sementara kita sendiri belum baik? Dan jika pun kita sudah baik, bagaimana pula 
jika lingkungan sekitar tidak baik? Itu kekhawatiran yang selalu menggelayut 
dalam pikiranku. Kita bisa bilang,"nak,kalo lampu merah menyala itu artinya 
kita harus berhenti di belakang garis putih". Tapi tiba-tiba di samping kita 
ada kendaraan melaju, sambil bilang.."minggir lu bego!". Apa yang akan kita 
sampaikan pada anak kita pada saat itu? 

 

Mungkin kita mesti banyak bercermin, dan membenahi dari hal-hal yang kecil, 
jika ingin membangun peradaban besar. Saya yakin kita sebagai entitas, baik 
pribadi, kelompok, maupun bangsa ini, masih bisa! Innallaha la yughoyiru ma bi 
qoumin, hatta tattabi' millatahum...Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, 
kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya..

 

Wallahua'lam bishawab



The information transmitted is intended only for the person or the entity to 
which it is addressed and may contain confidential and/or privileged material. 
If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail 
and delete this message including any of its attachments from your system. Any 
use, review, reliance or dissemination of this message in whole or in part is 
strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. The 
views expressed herein do not necessarily represent those of PT Astra 
International Tbk and should not be construed as the views, offers or 
acceptances of PT Astra International Tbk.

Reply via email to