http://ferizalramli.wordpress.com/2009/01/02/dr-kaya-pribadi-sahabat-saya/

---Tulisan ini saya didekasikan pada siapapun yang pantang menyerah
berjuangan untuk mewujudkan impian yang paling mustahil sekalipun
menjadi nyata. Dr. Pribadi adalah inspirasi nyata, dari keminskinan
absolut yang nyata, menjadi penulis paling produktif di Indonesia
dengan 300 buku dalam 5 tahun, dan saat ini sedang membimbing para
Doktor untuk membuat ensiklopedia Islam Indonesia. Beliau adalah
Rektor Institut Budaya Jawa di Yogyakarta. Selamat membaca...

München,
11.01.09

XXX

Dr. Kaya Pribadi sahabat saya
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan pada Fri Oct 13, 2006 10:29 am).

Pribadi (bukan nama aseli), tapi kisahnya 100% tidak palsu, adalah
sahabat yang sangat saya hormati. Santun, tepo selero, tulus, lugu,
ikhlas, tabah, cuek, khas pribadi wong Yogya yang sangat njawani.
Lahir dari keluarga sangat miskin, dalam arti miskin secara absolut,
tapi kaya dalam citra dan harga diri.

Ciri khasnya pasti: aktivitasnya hanya sekitar kampus, kemana-mana
pake sepeda ontel butut, sendal Lily, tas kresek penuh buku, baju
batik lusuh, kaca mata besar tidak modis sama sekali dengan tangkai
bengkok karatan. Plus kebisaannya yang selalu nembang lagu-lagu jawa
merdu dan mendalang.

Rasanya saya kenal dekat dengannya. Tapi kelak baru saya sadari bahwa
saya tidak cukup dekat untuk memahami maknanya. Di agak akhir dekade
1990-an wajahnya terpampang dalam headline Tabloid Adil (dulu tabloid
tersebut punya reputasi nasional, tapi entah sekarang). Tidak kalah
gaya dengan Adji Massaid dengan Moge-nya, Dr. Pribadi pun berpose di
atas sepeda ontel-nya.

Judul besarnya: „Dengan Sepeda Ontel meraih gelar Doktor".
Keterkejutan saya justru menyadarkan saya bahwa saya selama ini tidak
cukup mengenalnya secara dekat. Tidak disangka diantara rekan sesama
aktivis kampus ternyata dia yang paling cepat menyelesaikan S-3
sementara yang lain baru sibuk persiapan pendadaran skripsi. Biasalah,
aktivis selalu telat lulus harap maklum. Tapi Pribadi memang berbeda;
minim fasilitas justru minim juga waktu studinya. Sahabat saya lainnya
yang baru saja kemarin lulus doktor spesialis SDM bilang; Pribadi
adalah salah satu dari sedikit orang yang dengan modal sangat minim
tapi berhasil „memelentingkan" prestasinya.

Pernah suatu ketika saya bertemu di kampus dengannya. Dari sepeda
motor, tegur saya: „Di, sampeyan mau kemana?" sambil menyamakan
kecepatan sepeda motor dengan kecepatan kayuhan sepeda ontelnya.
„Toko buku Gramedia, katanya kalem dengan senyum khas njowonya".
„Yo wes, tak bonjengin. Kita ke Gramedia bareng", sambil saya rem itu
sepeda motor.
Okay katanya, lalu digeletakin begitu saja sepeda ontelnya di pinggir
jalan kampus, cuek langsung mboceng ke motor saya.
"Lho sepeda ontelmu ndak dikunci?" tanya saya dalam kaget.
"Ora opo-opo. Ndak mungkin dicuri. Lagian seluruh Satpam kampus juga
tahu kok bahwa kereta kencana itu hanya milikku seorang", katanya enteng.

Persahabatan saya dengan pribadi menjadi semakin dekat ketika
tiba-tiba musibah menimpa keluarga saya sehingga nasib ini
mengharuskan terjerumus menjadi mahasiswa miskin secara absolut.
Karena sesama miskin absolut maka lahirlah perasaan senasib dan
sepenanggungan. Seolah dia tahu akan kerisauan hati saya, Pribadi
menghibur: „Fer, sampeyan ndak perlu khawatir ndak bisa makan.
Percayalah Gusti Allah bersama kita. Para MalaikatNya dengan cara
kegemarannya sendiri pasti deh akan kirim rejeki ke kita. Bahkan kita
bisa makan enak, gratis dan bergizi tiap hari", begitu katanya meyakinkan.

„Lho caranya piye?" kata saya ndak percaya, tidak mampu menyembunyikan
rasa cemas. Iyalah cemas. Yang namanya mulut ini butuh 3 x sehari
disumpal je. Kalau uang Rp 100 untuk naik bis kota aja ndak punya piye
arep makan enak tiap hari? (catatan: waktu itu untuk makan nasi sayur
telur Rp 400 di Warung Sederhana namanya). „Jaket Alma Mater-mu itu
tiket untuk dapat makan gratis, enak dan begizi", katanya terkekeh-kekeh…

Kelak saya baru tahu. Sebuah kampus dengan 61 jurusan plus program
Pasca Sarjana, ditambah Pusat Studi, puluhan unit kegiatan ternyata
jika di rata-rata setiap hari selalu ada seminar gratis. Jadi, yang
dibutuhkan cuma datang ke bagian Humas kampus lalu minta jadwal
seminar gratis selama 1 bulan. Lalu cepat samber itu jaket alma mater,
trus hadir ke ruang seminar. Santai serius menikmati berbagai sudut
pandang pemikiran dan ide-2 segar baru dari para pembicara untuk
amunisi berdebat kalo pas demonstrasi.  Tentu saja berusaha akrab saja
dengan nara sumber atau pembicara yang biasanya Professor, Direktur
Perusahaan, Gubernur atau Menteri sekalian menjalin hubungan personal
 sambil tetap tersenyum dan tidak lupa terus menuju ke meja makan,
ha…, ha…

Sudah 5 tahun lebih saya tidak bertemu dengannya. Tapi saya ingat
betul keinginannya untuk membimbing kandidat doktor baru agar meneliti
sejarah Islam di seluruh Indonesia. Dia ingin setiap seorang kandidat
doktor bertanggung jawab meriset 1 propinsi tentang sejarah dan
perkembangan Islam. Harapannya, akan muncul ensiklopedia Islam
nusantara yang terdokumentasi secara ilmiah dari Sabang sampai Merauke.

Sayang saya tidak tahu perkembangan selanjutnya. Tapi terlepas
berhasil atau tidak, tampaknya membuat "ensiklopedi Islam Indonesia"
merupakan sesuatu yang sangat layak untuk diperjuangkan oleh siapapun
juga yang mampu melakukannya.

Salam,
Dari Tepian Lembah Sungai Elbe

Ferizal Ramli


Kirim email ke