catatanburuhmigren; lawangbagja.com
Mulailah mengoleksi hal-hal yang kecil namun membuat kita bersyukur pada nikmat 
Sang Pencipta. Segeralah mengisi ruang hati dengan sesuatu yang sederhana, 
simpel namun sebagai individu yang merdeka kita merasa senang berada di 
dalamnya. Sesenang seorang anak kecil dengan mainan plastiknya. Sedamai bayi 
yang tertidur dalam pangkuan bundanya. Saat oksigen masih bebas dihirup, saat 
kaki masih tegap melangkah, saat kedua tangan masih kuat merengkuh, saat mata 
masih bisa melihat indahnya pelangi kala senja, kulit masih bisa merasakan 
sepoinya angin mengusap lembut, telinga masih jelas mendengar kicauan burung, 
lidah masih bisa membedakan mana pedas, asin dan manis dan masih segudang lagi 
hal-hal kecil yang memberikan nikmat luar biasa namun karena malas dikoleksi 
dalam ruang hati menjadi terlewatkan begitu saja. "Ah..! sudah biasa!" atau 
"Basi ah..!" 

Jika diberikan kesanggupan mengelilingi dunia kita akan banyak menemukan betapa 
manusia menemukan kesulitan untuk meraih atau merasakan kebahagiaan. Semua 
menggantungkan nilai kebahagiaan tinggi-tinggi hingga sulit terjangkau. Seting 
parameternya 'over speck', sampai mati pun belum tentu bisa teraih. lantas 
untuk apa hidup? 60 years begitu singkat kawan! Sudah bisa dihitung pakai jari 
untuk menembus umur ke angka 80 tahun! apalagi 100 tahun?. Diabetes, jantung 
koroner, kanker plus kantong kering, dari 'swine' sampai 'bird flu' mungkin 
telah membuat umur kita terkorupsi hingga 20 tahun!. Anak-anak muda perkotaan 
sudah banyak menderita jantung koroner, diabetes akut, asam urat yang kronis, 
dan segudang penyakit lainnya dan itu datang pada usia di bawah 40 tahun!. Di 
Gulf penyakit yang mengancam para penghuninya adalah diabetes dan jantung 
koroner karena 'obesitas' kelebihan 'gizi'.

Paradoksnya Kehidupan 
Manusia cenderung akan mengukur sebuah kebahagiaan dengan status sosialnya. 
Darimana ukuran status sosial didapat? apakah betul harus berbanding lurus? 
Semakin kaya, semakin tinggi jabatan, apakah tidak boleh hidup sederhana? 
Pertanyaan selanjutnya yang membingungkan adalah apa ukuran sederhana? 
Kesederhanaan menjadi melar seperti karet tergantung status sosial begitu yang 
bisa saya simpulkan. Lagi-lagi alibi ini yang menjadikan alasan seseorang bisa 
hidup 'mewah' walaupun menurut dia 'sederhana' padahal lingkungan sekitarnya 
miskin dan papa. 

Di Gulf mempunyai fenomena menarik tentang 'kesederhanaan' di tengah 200 jenis 
warga dunia yang multikultur dan kesenjangan sosial yang lebar seperti langit 
dan bumi. Ada sebuah pergeseran budaya yang terjadi dalam kurun waktu kurang 
dari 2 generasi. Dulu wilayah ini hanya dihuni oleh sekumpulan tribal bedouin 
yang hanya mengenal onta 'pungguk satu' sebagai makhluk yang paling indah dalam 
sejarah nenek moyang para tribal. Dalam kurun kurang dari 50 tahun sejak 
berdirinya negara 'Syaikhdom' ini terjadi 'shock culture' dari 'rags' menjadi 
OKB, orang kaya bangeet!. Sebuah kendaraan BMW X5 hanya menjadi barang mainan 
anak-anak muda yang baru kemarin lulus kuliah. bagi mereka semua itu biasa dan 
ada perubahan besar dalam memandang kebahagiaan tentunya.

Dahulu orang tua mereka adalah generasi pertama yang masih merasakan sebuah 
perjalanan yang berjarak 120 km harus ditempuh beberapa hari itu pun terlebih 
dahulu harus dilepas dengan tarian tradisional dengan memainkan senapan angin 
ke udara karena konon tidak ada jaminan akan bertemu kembali. Layaknya seperti 
sebuah perpisahan untuk menyambut kematian. Wilayah ini kosong dan liar. Hanya 
serigala gurun dan para 'harami' alias begal padang pasir yang berkeliaran yang 
siap menghabisi para mangsanya tak peduli siang atau malam. Saat saya sempat 
ngobrol dengan seorang rekan dari Belgia, kendaraan sekelas BMW X5 di negara 
mereka akan sangat-sangat sulit ditemui karena pajak yang mencekik. Rekan saya 
ini seorang yang mewakili dari 'kasta' expatriat, 'western', bisa dibilang 
warga negara kelas '1A'.
Walking on the Grass
Bagaimana dengan para buruh dari Asia? Suatu sore saya sempat berbincang dengan 
seorang pekerja hotel dari Bangladesh di kota Abu Dhabi dan ngalor ngidul 
'nongkrong' menemani ia bekerja. Saya bisa memahami bagaimana keseharian yang 
dilalui olehnya begitu keras dengan gaji 500-600 dirham, tanpa libur=7 hari non 
stop, tinggal di mess seperti 'kobong santri' = satu kamar untuk 10-15 orang, 
dan bisa pulang setelah 2 tahun. Ia lelaki dengan satu orang putra! Bertemu 
isterinya terakhir kali ketika hamil 7 bulan dan baru bisa bertemu kembali saat 
putranya hampir berusia 2 tahun!. Sementara saat ia memakirkan kendaraan yang 
singgah di hotel semuanya kendaraan yang super mewah..dan wah!. Namun 
kawan..saat ditanya apa baginya arti sebuah kebahagiaan, ia menjawab simpel: 
"Saat saya bertemu anak saya nanti, ia tumbuh sehat dari uang yang saya kirim 
setiap bulannya untuk membeli makanannya". 

Paradoksnya kehidupan mereka yang bekerja keras, bermandikan keringat, 
membanting tulang umumnya mempunyai ukuran kebahagiaan yang simpel. Mungkin 
mereka lebih berbahagia? Saya tidak tahu jawabannya..satu hal yang sedang saya 
lakukan adalah mengoleksi hal-hal yang sederhana, simpel, mudah, menjadi sebuah 
kekayaan hati dengan tidak bosannya menghitung hal-hal yang kecil tersebut 
sebagai sebuah parameter kebahagiaan untuk saya dan keluarga. Dari sekian 
koleksi 'the simple thing but make you happy' buat saya adalah..'Walking on the 
grass'..! Ya, berjalan diatas rumput yang hijau, terpangkas rapih, menghampar 
bak permadani sering membuat saya 'excited' ketika berjalan di 
atasnya..entahlah apa karena di sini terlalu sering lihat padang pasir atau 
terlanjur ter''anchor' dalam memory, pokoknya aku sukaaaa...! 




      

Kirim email ke