dari tetangga, tulisan menarik, inspiratif-reflektif.
maaf kalau ganda.



  
Kecerdasan Ekologis

Senin, 7 Desember 2009 | 05:06 WIB

William Chang

Sekitar 200 juta tanaman baru akan muncul di seantero Tanah Air jika ajakan 
Presiden Yudhoyono terlaksana dalam pekan ketiga November 2009. Bagaimanakah 
melestarikan dan menyuburkan kecerdasan ekologis ini?

Gerakan penanaman pohon analog program �hlamtorogungisasi� h Pak Harto. 
Khazanah tanaman multikultur diperkaya dalam waktu singkat. Cepat atau lambat, 
zona tanaman sejenis akan bergeser. Hanya, pendekatan imperatif dalam proyek 
penghijauan belum pasti menyentuh kesadaran ekologis rakyat kecil.

Pandangan tentang alam sebagai sumber kekayaan telah merusak alam sebagai 
lingkungan hidup. Keselamatan lingkungan diabaikan, alam diobyekkan. Pandangan 
ini berbeda dari kesadaran orang Indian di Amerika Utara yang memperkenalkan 
model- model penghargaan baru bagi lingkungan hidup. Penyingkapan diri Yang 
Ilahi ditemukan dalam alam (John E Smith).

Penghijauan sebenarnya termasuk bagian integral kebudayaan manusia sebab 
diskursus manusia tentang penghijauan tak terpisahkan dari ekosistem yang 
mencakup lingkungan, manusia, kebudayaan, dan masyarakat. Sejak 1960-an kian 
disadari, hidup dan kegiatan manusia menjadi bagian dari ekologi baru.

Kecerdasan ekologis

Kecerdasan ekologis dituangkan dalam bentuk kearifan lokal berwawasan ekologis. 
Alam semesta bukan hanya sumber eksploitasi, tetapi sebagai rumah hidup bersama 
yang terus dilindungi, dirawat, ditata, bukan dihancurkan. Kearifan ini 
melahirkan sikap setia kawan manusia dengan alam yang mendahului gerakan 
ekologi modern setelah Perang Dunia II [A Hultkrantz, Ecology The Encyclopedia 
of Religion (1995), 581-585].

Kualitas manusiawi (kebajikan moral) mencerdaskan manusia dalam menggalakkan 
pembangunan yang ramah lingkungan. Keselamatan lingkungan dan alam 
diprioritaskan. Hak dasar tiap makhluk untuk mempertahankan diri dan berkembang 
biak amat dijunjung. Sebagai mitra alam semesta, manusia ikut bertanggung jawab 
atas masa depan seluruh kosmos.

Kecerdasan ini mengingatkan, manusia tidak boleh membiarkan masa depan planet 
terancam pemanasan global. Tiap manusia dipanggil untuk memerhatikan mutu 
anasir alam yang langsung menyentuh hidup manusia, seperti udara, air, dan 
tanah. Derita dan sengsara bumi akan silih berganti jika manusia tidak arif 
melindungi jagat raya.

Manajemen ekologis

Salah satu wajah kecerdasan ekologis adalah manajemen etis dalam mengelola 
�hsumber-sumber alam�h dalam tiga kategori: (1) ekosistem alam dengan kekayaan 
yang (tidak) dapat dibarui; (2) sumber-sumber karya manusia, seperti 
pendidikan, listrik, obat- obatan, pengairan, sanitasi; (3) sumber daya manusia 
dengan perspektif bioetis yang terkait sumber kekayaan alam (Jayapaul Azariah, 
Ethical Management of Natural Resources, (2009).

Kecerdasan ekologis mengajak kita dengan teliti menakar persediaan air, 
makanan, dan kekayaan alam sambil menimbang pertambahan penduduk dunia yang 
akan menjadi 8 miliar tahun 2030. Kekurangan air dan makanan bisa menimbulkan 
kekerasan sebab tiap manusia ingin mempertahankan hidup. Bukan mustahil suatu 
hari akan terjadi �hperang karena air�h. Sejak 2007 UNFAO telah mengingatkan 
kasus penyusutan cadangan makanan. Manajemen etis yang cermat sedang dinantikan.

Betapapun, manajemen ekologis selalu menggandeng Interreligious Eco-theology 
yang merangkai jejaring kerja sama untuk membedah krisis manusia tentang 
nilai-nilai Ilahi dalam jagat raya. Manusia telah kehilangan kepekaan rohani di 
tengah jagat raya. Kerakusan manusia amat menonjol saat berjumpa dengan 
kekayaan alam. Egoisme merusak ekosistem.

Sebenarnya kecerdasan ekologis menempa manusia menjadi sebuah ekosistem (bdk M 
Gandhi), yang menata emosi, pikiran, dan tindakan dalam menyikapi jagat raya. 
Manusia tidak lagi memperlakukan alam tanpa tanggung jawab. Penghancuran 
ekosistem mendatangkan ketidakadilan sosial di masyarakat. Keadilan dalam 
pembagian kekayaan alam merupakan jaminan terbaik untuk melawan setiap bentuk 
eksploitasi alam.

Perubahan paradigma ekologis ini tidak cukup hanya menanam sebatang pohon, 
tetapi sungguh menuntut visi, nilai, dan perilaku baru sesuai kearifan lokal. 
Manusia menyatu dengan alam semesta. Yang lebih penting adalah penanaman pohon 
kesadaran akan penghijauan dalam benak dan hati anak-anak di keluarga, sekolah, 
tempat kerja dan masyarakat. Pemerintah (oknum departemen/instansi terkait) 
tidak lagi memanipulasi kuasanya demi kepentingan individual atau sektarian dan 
menyiksa harkat dan martabat isi alam.

Semoga pohon-pohon yang kita tanam bisa tumbuh, berkembang, dan berbunga.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus


 


      

Kirim email ke