Dan Anggota Gerwani Itu Ternyata....
Rabu, 19-03-2008 14:00:19 oleh: Ida Puji 
Kanal: Opini 

Masih ingatkah anda tentang pelajaran sejarah mengenai G30/S PKI? 

Dulu ketika masih bersekolah tiap tanggal 30 September murid-murid diajak pergi 
ke gedung bioskop menonton film pemberontakan G30/S PKI. Dan tiap keluar dari 
sana saya selalu merinding. Kejam sekali para pemberontak itu ya? 

"PKI itu tak bermoral, mereka atheis," begitu seringkali guru sejarah (masa 
itu) memberikan penjelasan. Iya percaya lah, orang dari filmnya juga begitu.

Anggapan seperti itu telah berada di kepala saya sampai saya duduk di bangku 
kuliah. Baru ketika Orde Baru tumbang muncul wacana-wacana baru berkaitan 
dengan peristiwa tersebut. Tapi jujur saat itu saya masih sering dibuat bingung 
karenanya. 

Bulan november tahun lalu saya dan rekan berkunjung ke sebuah desa, Lanjaran 
namanya. Desa tersebut terletak di kecamatan Musuk kabupaten Boyolali, letaknya 
di lereng gunung Merapi. 

Ketika peristiwa 65 terjadi, kawasan tersebut merupakan basis PKI. Setiap lapan 
(35 hari) di desa itu diadakan sebuah pertemuan ibu-ibu yang bernama Wiji Asih. 
Di sana selain ada kegiatan untuk memajukan peran wanita, mereka saling 
membagikan pengalaman sehubungan dengan tragedi yang mereka alami. Sebagian 
kecil dari ibu-ibu yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah mereka yang 
terlibat langsung dan sebagian besarnya adalah anak cucu mereka yang ketika itu 
masih kecil -dan bahkan ada yang belum lahir- namun sampai sekarang masih 
menanggung beban. 

Anak cucu anggota PKI sampai sekarang masih belum sepenuhnya dapat dipulihkan 
hak-haknya. Belum lagi mereka harus menanggung stigma negatif dari masyarakat 
masyarakat akibat peristiwa yang mereka sendiripun tidak pernah mengerti apa 
itu. 

Satu yang membuat saya tercengang ketika berkenalan dengan salah satu pendiri 
Wiji Asih. Seorang wanita berumur 86 tahun, Sutiyem namanya sering dipanggil 
Mbah Suti. Ketika tragedi tersebut terjadi Mbah Suti sempat ditangkap akibat 
kegiatannya di Gerwani. 

Sempat terbayangkan, selama ini yang terpatri di benak saya bahwa Gerwani 
beranggotakan wanita-wanita tak bermoral yang ikut menganiaya para jenderal 
serta melakukan serangkaian tindakan asusila. Tapi kok yang saya hadapi....??? 

Belum 10 menit mendengarkan obrolannya saya langsung bisa mengatakan bahwa 
beliau adalah seorang wanita yang sangat cerdas. Dalam usia lanjut tersebut 
pemikiran beliau masih tetap tajam. Analisa-analisanya berkaitan dengan 
kegiatan demokrasi di masa sekarang masih sangat brilian. 

Mbah Suti mengaku mengenal Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar, organisasi 
yang melatarbelakangi terbentuknya Gerwani) ketika menjalankan profesinya 
sebagai penjual sirih di pasar. Latar belakang keikutsertaannya dalam gerakan 
wanita tersebut adalah untuk menggugat keberadaan poligami. Saat itu mbah Suti 
adalah istri ketiga. Seperti halnya keadan wanita-wanita lain pada masa itu 
yang hanya dianggap sebagai second class, poligami sangat merugikan wanita. 
Banyak wanita yang setelah dijadikan istri kesekian ditinggalkan begitu saja 
oleh suaminya padahal telah ada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. 

Gerwis berdiri pada tahun 1950 dan dua tahun kemudian didirikan cabang Musuk 
dengan Mbah Suti sebagai ketua. Pada tahun 1954 Gerwis berganti nama menjadi 
Gerwani. 

Keberadaan Gerwis Lanjaran yang merupakan anak cabang meluas. Banyak wanita 
yang ikut karena mulai sadar untuk diajak lebih maju. Salah satu kegiatan 
Gerwis yang mencolok adalah edukasi terhadap para wanita. Saat itu akses wanita 
untuk mengenyam bangku sekolah sangatlah minim. Prioritas utama pendidikan 
adalah untuk laki-laki.Selain pendidikan Gerwis juga memiliki peran besar dalam 
aksi sosialnya berkaitan dengan meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1954. 

Kegiatan Gerwani di Lanjaran sampai tahun awal tahun 1965 berjalan lancar. 
Namun ketika meletus peristiwa 65 keadaannya menjadi kacau balau. Desa Lanjaran 
yang dikenal merupakan basis kegiatan anggota PKI seperti BTI, Gerwani dan 
Lekra mulai terusik. Beberapa orang yang dikenal sebagai tokoh utama ditangkap 
aparat. Dari 19 orang yang tertangkap mbah Suti adalah satu-satunya perempuan. 
Setelah mendapat berbagai perlakuan buruk -salah satunya pelecehan seksual 
dengan diarak setelah ditelanjangi- mbah Suti akhirnya dibebaskan. 

Meskipun kejadian buruk tersebut telah berlangsung lebih 40 tahun tapi mbah 
Suti dan keluarganya masih mendapat banyak kesulitan karenanya. Meskipun 
demikian ketajaman pikiran mbah Suti masih belum berkurang. Bahkan ketika usia 
lanjut menderanya. Saya masih sering terkejut dengan kritik-kritik yang cerdas 
dan tepat sasaran yang sering beliau lontarkan. Saya juga terheran-heran ketika 
beliau masih bisa mengingat secara rinci waktu, orang-orang serta 
kejadian-kejadian di masa lalu berkaitan dengan keaktifannya di Gerwis. 

Mbah Suti, aktivis Gerwani itu ternyata adalah organisator ulung. Yang sejak 
awal sudah memiliki visi mengangkat keberadaan perempuan. Layakkah jika disebut 
sebagai salah satu perintis gerakan perempuan di Indonesia? 

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7256&post=1



 

Reply via email to