http://media-klaten.blogspot.com/
http://seizetheday-cloth.blogspot.com/
Industri Televisi Kita





*Amir Effendi Siregar*



Saat kampanye lalu, para calon presiden dan calon wakil presiden hampir

tidak ada yang membicarakan perkembangan media, terutama televisi.



Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri

televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan

perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas. Perkembangan ini

perlu dikoreksi karena bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan

perundang-undangan lainnya.



Sistem politik yang demokratis seharusnya mengubah sistem media yang

otoriter represif dan sentralistis ke arah demokratis dan

desentralistis. Namun, yang terjadi adalah perpindahan ke dalam dominasi

segelintir pemodal dan pemilik stasiun televisi. Perpindahan ke sistem

otoriter dan dominasi baru kelompok swasta sama bahayanya dengan

dominasi negara. Inilah yang kita sebut jalan neoliberal.



Dalam kondisi ini, pemilik stasiun televisi yang menggunakan ranah

publik dapat menggunakan stasiun televisinya untuk kepentingan pribadi.

Demikian juga keseragaman isi yang banyak dikritik masyarakat adalah

akibat sentralisme siaran televisi.



*Kepemilikan*



Arah pemusatan kepemilikan stasiun televisi dapat dilihat secara

terbuka. Pada Juni 2007, diketahui melalui pasar modal, PT Media

Nusantara Citra Tbk (MNC) menguasai 99 persen stasiun RCTI, 99 persen

Global TV, dan 75 persen TPI. Melalui media juga dapat dibaca rencana

penggabungan antara Indosiar dan Surya Citra Media Tbk (SCTV) sehingga

sebuah badan hukum menguasai dua stasiun televisi di satu daerah.



Seperti yang dinyatakan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI)

dalam somasinya terhadap pemerintah pada 29 Oktober 2007, hal itu adalah

peristiwa yang melanggar undang-undang yang membatasi satu orang atau

badan hukum menguasai beberapa lembaga penyiaran, paling banyak memiliki

dua izin penyelenggaraan penyiaran televisi yang berlokasi di dua

provinsi yang berbeda.



Di Amerika Serikat saja, kepemilikan televisi dibatasi berdasar

jangkauannya. Seseorang boleh memiliki banyak stasiun televisi selama

jumlah nation’s TV homes yang dijangkau (jangkauan terhadap penduduk

yang mempunyai akses) tidak lebih dari 39 persen.



Untuk Indonesia, berdasar data Media Scene 2006-2007, jangkauan setiap

televisi swasta dengan puluhan stasiun relai membuat 60-90 persen

penduduk dapat mengaksesnya. Jumlah ini jauh lebih besar daripada yang

diizinkan di Amerika Serikat. Apalagi bila menguasai lebih dari satu

lembaga penyiaran yang memiliki puluhan bahkan ratusan stasiun relai.



Melalui pemberitaan, kita juga mengetahui adanya jual beli lembaga

penyiaran. Seharusnya pengalihan penguasaan frekuensi yang merupakan

public domain diatur oleh negara dan didistribusikan secara tepat, adil,

dan merata berdasar prinsip keanekaragaman. Industri televisi berbeda

dengan industri sepatu, tidak dapat dilepas begitu saja ke pasar yang

dikuasai pemodal besar tertentu saja.



DPR melalui Komisi I, dalam rapat kerja 15 September 2008, pernah tegas

meminta agar pemerintah membatalkan izin yang diberikan kepada sebuah

perusahaan yang dinilai melanggar undang-undang. Selain itu, dalam rapat

kerja Komisi I dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (17/3/2008),

pemerintah didesak menyelesaikan pengaturan penggunaan frekuensi dan

penyelenggaraan penyiaran swasta, termasuk masalah monopoli, kepemilikan

TV, dan radio, agar sesuai dengan undang- undang penyiaran, yang mengacu

pada prinsip diversity of ownership dan diversity of content.



Selanjutnya, anggota MPPI sendiri, sejak Juli hingga Oktober 2008,

mendaftarkan ke pengadilan tiga gugatan terhadap pemerintah yang

dianggap membiarkan pelanggaran hukum. Salah satu gugatan menyangkut

kepemilikan sebuah perusahaan terhadap tiga lembaga penyiaran sekaligus.



Untuk gugatan ini, perdamaian melalui pengadilan telah dicapai, yaitu

setiap pihak secara bergandeng tangan akan menegakkan peraturan

perundang- undangan. Namun, hingga kini, belum ada perkembangan berarti.

Tampaknya pemerintah tidak keberatan terhadap merger yang berdasarkan

pendapat banyak pihak melanggar peraturan perundang-undangan di bidang

penyiaran.



*Ada arti sosial*



Bila dulu negara mengooptasi pelaku usaha untuk kepentingan rezim, kini

dikhawatirkan kooptasi dilakukan pelaku usaha terhadap birokrat hanya

untuk kepentingan bisnis dan melupakan kepentingan masyarakat. Kita

menerima ekonomi pasar, tetapi yang selalu diperbaiki dan dikontrol oleh

negara terutama hal-hal yang terkait ranah publik, pencerdasan bangsa,

dan usaha kecil. Ekonomi pasar harus mempunyai arti sosial, inilah yang

disebut ekonomi pasar.



Diharapkan, pemerintahan mendatang menghindari jalan neoliberal,

melakukan langkah tegas dalam membangun sistem penyiaran yang

demokratis. Sebuah sistem yang melahirkan keragaman isi dan kepemilikan.



/Amir Effendi Siregar Ketua Dewan Pimpinan Serikat Penerbit Suratkabar

(SPS) Pusat; Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta

/



/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/11/04542853/industri.televisi.kita

/



      

Kirim email ke