Pak Tjiong (Wastu Pragantha Zhong) tidak terlibat dalam pekerjaan pelestarian 
kelenteng Talang. Dia sendiri memang asal Cirebon dan punya kepedulian tinggi 
mengenai kelenteng Talang. Dalam hal ini, yang dilakukannya lebih kepada 
mendorong murid-murid arsitektur Untar untuk mendatangi dan mempresentasikan 
studi lapangan itu.

Meski demikian, jasa pak Tjiong yang cukup besar adalah membuka kontak dengan 
pengurus lama kelenteng Talang (OKH; namanya saya simpan dulu) dan mengajak 
yang bersangkutan untuk memperkenankan kelenteng Talang digunakan bagi 
kebaktian MAKIN Cirebon di tahun 1990-an.

Mengenai yang anda tanyakan mengenai kelenteng Talang, ini beberapa data 
lapangannya (saya belum detailkan terlalu dalam karena saya sedang diburu waktu 
karena sedang ada pekerjaan penulisan desain riset lapangan, sehingga tidak 
bisa menulis panjang dulu):

1. Kelenteng Talang semula adalah rumah dari seorang Tionghoa yang menjadi 
Tumenggung dari Kesultanan Cirebon (Tan Sam Tjaij ...-1739; Tumenggung Aria 
Wiratjoela; tanggal lahirnya tidak ketemu karena sincinya hilang). Lokasinya 
tentu di dekat Keraton (dekat dengan kelenteng Tiao Kak Sie yang didedikasikan 
kepada Ngma Kuan Im, dekat pelabuhan), yang sekarang dikenal sebagai jalan 
Talang. Salah satu keturunannya adalah Tan Tjin Kie yang dikuburkan secara 
mewah-mewahan.
2. TST ini semula masuk Islam (sesuai syarat Tumenggung saat itu; kemudian 
mengambil nama Muhammad Syafi'i), namun kemudian ia di masa tuanya kembali ke 
keyakinan Tionghoanya, meskipun tidak melepaskan jabatannya sebagai Tumenggung 
karena diperlukan Sultan. 
3. Rumahnya kemudian dijadikan semacam kelenteng leluhur, di mana kemudian 
dipasangnya sinci-sinci dari keluarga besarnya. Pada titik itu, fungsi rumah 
diubah total, meskipun kabarnya TST kemudian menghuni rumah sayap dari 
kelenteng tersebut.
4. Semula arsitektur kelentengnya adalah bangunan utama dengan dua sayap. 
Begitulah seterusnya hingga jaman abad ke-20 di mana oleh keturunannya 
diserahkan pengurusannya kepada Kong Djoe Kwan. Gara-gara orba, KJK ini 
"ditutup" dan sebagai gantinya, "kepemilikan" seakan diserahkan kepada Yayasan 
Buddha Metta sehingga menimbulkan sejumlah konflik kepengurusan.
5. Sekitar tahun 1970-1990, kelenteng ini ditelantarkan (dicuekin), suatu hal 
yang menunjukkan ketakutan luar biasa kalangan Tionghoa di Cirebon (salah 
satunya adalah pemasangan motif Bali pada gapura besar di depan Tiao Kak Sie 
untuk "menutup" Ketionghoaan kelenteng itu). Terjadi juga sejumlah keributan 
mengenai pemakaman Tionghoa (Ku Tiong dan Sin Tiong yang pernah saya ceritakan 
dalam thread yang lain), yang berakibat telantarnya tanah pemakaman tersebut 
dan penyerobotan besar-besaran dengan modus penggal, tidak usah gali, langsung 
jadi bangunan; sim salabim, taaadddaaaaa. Kondisi-kondisi ini menyebabkan 
pemikiran sejumlah orang yang saya belum sebutkan nama-namanya untuk menjual 
sayap kiri kelenteng itu (kiri-kanannya sesuai dengan budaya Tionghoa, dilihat 
dari tuan rumah) dan kemudian dijadikan rumah duka tiga tingkat.
6. Mendahului pembongkaran sayap kiri tersebut, mungkin untuk kamuflase, 
sengaja dibikin pagar terusan yang mengesankan seolah-olah sayap kiri dan sayap 
kanannya memang terpisah dari bangunan utama. Bagaimanapun, sayap itu 
dihancurkan total sekitar tahun 1995 dan selesai dibangun rumah duka modern 
sekitar tahun 1997.
7. Saya sendiri terlibat semenjak tahun 2002, dimulai dengan kasus tanah makam, 
yaitu di saat konflik antar Tionghoa Cirebon juga memanas, khususnya karena 
keterlibatan konglomerat yang hendak membangun ruko. Maklum, karena saya 
dianggap bukan orang Cirebon, suara saya tidak dianggap, padahal saya sengaja 
membagi-bagikan tulisan saya mengenai hak atas perlindungan budaya dalam sebuah 
seminar besar yang diadakan tahun itu. Untungnya, karena tulisan itu, saya 
diterima baik oleh OKH tadi dengan perantaraan pak Tjiong.
8. Saya sempat mengurusi soal kelenteng Talang ke depbudpar, dinas purbakala, 
dan dapat lampu hijau bahwa kelenteng Talang termasuk ke dalam ordonansi cagar 
budaya. Masalahnya ternyata tidak berhenti di situ. Konflik pun terjadi antara 
MATAKIN dengan MAKIN Cirebon, dimana saya tidak bisa berbuat banyak karena 
bukan lingkup perhatian saya. Ternyata diketahui bahwa ada sejumlah dana liar 
dalam proses pembongkaran tanah makam dan sayap kiri kelenteng lewat yayasan 
yang didirikan OKH.
9. Posisi saya pribadi adalah saya selalu mencoba memahami sikap seseorang. OKH 
saya paham kesal melihat bahwa "jasanya" menjaga kelenteng Talang selama 
puluhan tahun seakan tidak dihargai oleh MATAKIN. Di sisi lain, saya pun 
menyadari bahwa OKH tidak ingin ada orang lain yang bisa menjadi regenerasi 
kepengurusan, padahal hal itu menyebabkan tidak ada ide segar dan bahkan 
orang-orang pun akhirnya segan datang ke kelenteng Talang karena tidak kerasan 
dengan sikap OKH yang meskipun sudah sepuh, watak premannya sering keluar.
10. Melihat konflik itu, saya mencoba mengajak OKH untuk berdamai dalam artian 
dia didudukkan dalam tugas kehormatan, sementara keseharian diurus oleh tenaga 
baru, namun dia tidak setuju. Anaknya kelihatannya juga menjadi bernafsu dan 
mulai bertindak preman di lingkuungan kelenteng. Sampai di sini saya potong 
lika-likunya, langsung ke peristiwa setahun kemudian. OKH ternyata bertindak 
sendiri, merobohkan sayap kanan dari kelenteng Talang (yang saya bilang sudah 
dibatasi pagar buatan belakangan itu). Saya segera berkoordinasi dengan dinas 
budpar Cirebon, namun ada kendala dana operasional mereka dan tidak adanya 
dukungan dari walikota sebagai pemilik kewenangan.
11. Melihat situasi tidak menentu, seorang dari Bandung (CKG, saya simpan dulu 
namanya) tergerak untuk menjadi pengurus di sana. Saya berkoordinasi dengan 
orang-orang Cirebon, termasuk OKH (namun dia sudah tidak mamu dihubungi) untuk 
mendapatkan surat-surat dan berbagai dokumen. Saya dibantu oleh sejumlah 
pengurus YBM dan eks KJK. Dari analisis tersebut, saya menegaskan bahwa 
kelenteng Talang harus diselamatkan, karena data penunjangnya cukup jelas. 
Sayangnya, pengurus MATAKIN menolak untuk bertemu dengan pemilik rumah duka 
(saya tidak paham alasannya). Padahal, strategi saya adalah bahwa sayap kiri 
dan kanan harus diselamatkan secara bersamaan. Kalau tidak, seperti beli 
kepiting dengan satu capit saja dan nunggu capit satunya dipegangi orang lain.
12. Di tahun 2005, kepengurusan CKG resmi dilantik. Saya masih sekitar empat 
kali lagi datang ke Cirebon dan selalu mendapat jaminan bahwa sayap kanan akan 
diperbaiki. Terus terang, saya sendiri agak pesimis dengan teknik perbaikannya, 
apalagi dari pembicaraan saya dengan pak Tjiong, ternyata dia lebih memilih 
untuk membangun dengan bahan yang ada (baru) ketimbang merestorasinya. Di sini 
saya berbeda pendapat dengan keras, belum lagi karena sebelumnya saya sudah 
kesal dengan pak Tjiong yang saya ketahui sebagai ketua tim Untar untuk 
pembongkaran gedung Chandra Naya dengan dalih fungsionalisasi komposit. 
Masalahnya, saya saat itu tidak punya dana yang cukup untuk pulang balik ke 
Cirebon, sehingga saya tidak bisa mengawasi pembangunannya lebih jauh. Yang 
pasti, sayap kanan itu kabarnya sudah dipugar dan diresmikan bulan November 
2009 yang lalu (jadi baru tiga bulan). Saya sebenarnya diundang oleh CKG untuk 
datang, namun karena pak Tjiong lupa (atau entah kenapa tidak jadi, padahal 
sudah janji) membelikan tiket kereta untuk saya, saya pun urung berangkat 
padahal sudah siap nunggu di Gambir. 
13. Secara teknis: bangunan sayap kanan itu mempergunakan bata lama yang tebal 
(temboknya saya ukur adalah tembok 30 cm) dengan lapisan semen kapur yang cukup 
tebal dan keras dan berornamen. Kayunya masih kayu balok besar, meskipun 
sebagian sudah diganti dengan kaso-kaso ringan karena kelapukan. Ada sejumlah 
kamar berukuran besar, satu digunakan sebagai dapur. Kelihatannya ada bekas 
sumur (kelenteng hadap utara) karena sesuai hong sui itu lokasi yang ideal, 
namun nampaknya sudah ditutup lama. Sebagai akibat penelantaran yang lama, ada 
bangunan WC di depan bangunan induk (menghadap ke dalam, ada di tembok luar), 
sehingga tentunya bisa diperkirakan dibuat belakangan untuk mengantisipasi 
pembuatan pagar yang belakangan itu.
14. Alhasil, dari sisi konservasi, saya meragukan telah dilakukan konservasi 
yang sesuai (karena saya juga tidak mendengar adanya rekan-rekan saya yang 
menceritakan soal itu), meskipun CKG berulang kali menegaskan kepada saya bahwa 
urusan itu percayakan saja kepadanya. Keraguan saya semakin kuat karena 
pembicaraan-pembicaraan saya dengan pak Tjiong setelah peresmian itu pun, 
seperti biasanya, selalu diwarnai ngeles dan hanya bilang "yang penting sudah 
dibangun". Kasihan saja pak Tjiong sudah tua (sekarang sudah 75) dan 
pembuluhnya sudah dibalon beberapa tahun yang lalu, kalau tidak mungkin sudah 
saya kejar dengan desakan untuk tidak lepas tangan.
15. bagaimanapun, saya juga tetap tidak puas karena belum ada kejelasan sikap 
mengenai sayap kiri yang sampai kini masih terus dijadikan rumah duka.

16. Secara keseluruhan, saya tidak berani merekomendasikan kelenteng talang 
bagi UNESCO Award, karena belum jelasnya status renovasi sayap kanan dan 
rencana renovasi sayap kiri (yang masih harus melalui upaya hukum dan 
pembongkaran lebih dahulu). Akan lebih baik kalau diadakan pembicaraan 
tripartit lebih dahulu dengan pihak pengurus MAKIN Cirebon di satu sisi, Dinas 
Buudpar (mewakili pemerintahan pada umumnya, syukur-syukur walikota yang baru, 
dan jangan yang lama karena kalau yang waktu saya tangani itu, orangnya kurang 
peduli cagar budaya dan mementingkan bisnis) dan budayawan (termasuk ahli 
bangunan kuno Tionghoa). Saya masih dipandang di sana (maklum, masih dianggap 
orang yang berhasil menyelesaikan status kepengurusan kelenteng Talang, 
meskipun tujuan besarnya belum berhasil, hehehehe), sehingga saya masih bisa 
menjadi jembatan dan bahkan pemberi masukan. Kalau kesepakatan sudah tercipta, 
bisa juga UNESCO diminta untuk memberi bantuan dana, atau bisa juga donatur 
lain, karena sebagaimana saya sudah ingatkan, dana renovasi Gedung Arsip 
Nasional (yang dapat penghargaan UNESCO saja) bisa makan 25 milyar. Jadi untuk 
ukuran Talang, setidaknya 15 milyar harus disiapkan (termasuk riset khusus 
mengenai bahan asal kedua sayap tadi).

Begitu dulu info mengenai kelenteng Talang. 


Kalau mengenai makam SBK, pak Tjiong lumayan terlibat, namun motornya 
kelihatannya pak Kamil Setiadi dan Teddy Jusuf (meskipun kabarnya yang banyak 
bergerak kemudian adalah yayasan keturunan Souw Beng Kong/marga Souw). Meskipun 
sudah dibersihkan dari rumah penduduk dengan biaya yang tidak sedikit, saya 
juga tidak berani merekomendasikannya untuk UNESCO Award karena beberapa 
pertimbangan:
1. kuburannya sudah direnovasi beberapa kali, terakhir oleh Khouw Kim An 
sekitar tahun 1929. Menilik bangunan aslinya, kelihatan ada beberapa perubahan 
besar, belum lagi karena sebelumnya ada sekitar lima buah rumah semi permanen 
yang didirikan persis di bagian atas makam tersebut.
2. Ketika saya berkunjung ke sana pada saat peresmian upaya pemugaran (dua 
rumah sudah dibongkar), terlihat bahwa tanah dasarnya sudah tertutup jalan, 
sehingga kuburannya "melesak". Setelah itu, sekitar dua tahun lalu saya ke 
sana, tutupan atas lokasi jenasah juga dibuka secara gunungan agak melandai dan 
kemudian ditanami rumput. Setahu saya, gunungan asalnya tinggi dan kemungkinan 
besar disemen, mirip dengan model kubah tanah.
3. Atas dasar itu, perlu riset yang lebih detail mengenai makna konservasi 
makam SBK tersebut dilihat dari ketaatasasannya, bukan sekedar kosmetik.


Btw, patokan mengenai cultural heritage yang dimintakan UNESCO kan juga cukup 
jelas dan detail. Dari pembacaan tersebut, saya sih bilang bahwa SBK dan 
kelenteng Talang belum memenuhi syarat. Masih perlu sejumlah langkah 
penyesuaian agar memenuhi kriteria minimal UNESCO. Dari perjalanan saya 
keliling-keliling, saya pribadi lebih merekomendasikan kelenteng Maco Lasem dan 
Maco Rembang serta Tek hai Kiong Tegal, ketimbang sejumlah kelenteng lainnya di 
pulau Jawa karena sejumlah pertimbangan "garis histroris". Dari sisi 
konservasi, mereka masih cocok dengan kriteria UNESCO. Ada beberapa kelenteng 
lain yang bisa dipertimbangkan, tapi menghadapi kondisi sosial yang rumit 
misalnya Boen Bio yang kepotong jalan, kelenteng pasar Ketandan Solo yang 
lukisan dindingnya kemakan air rembesan, Kong Tek Su Semarang, kelenteng Tan 
dan kelenteng Lim di Sebandaran Semarang, dsb. Masih ada beberapa kota yang 
belum saya kunjungi, kalau ada info lainnya, saya akan kabari.

Yaa, begitu dulu. kerjaan lain sedang menunggu saya.



Suka belajar itu mendekatkan kita kepada kebijaksanaan; dengan sekuat tenaga 
melaksanakan tugas mendekatkan kita kepada cinta kasih dan tahu malu 
mendekatkan kita kepada berani.

Suma Mihardja








--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ibcindon" <ibcin...@...> wrote:
>
> Yth :  Pak Freddy, Pak Sumamihardja,  rekan milis lainnya, 
> 
>  
> 
> Terima kasih  untuk keterangannya.
> 
>  
> 
> Saya sedang mencoba menghubungi Pak Ir Tjiong dari UNTAR , fakultas 
> arsitektur. 
> 
>  
> 
> Mengajak beliau  untuk mencoba memasukan, nominasikan pekerjaan pelestarian 
> yang pernah Pak  Tjiong terlibat ke program UNESCO BANGKOK ini..
> 
>  
> 
> Setahu saya  dia terlibat dalam pemugaran makam SOW BENG KONG   kapiten 
> Chineese  Batavia pertama, yang telah  dihuni menjadi  rumah-rumah liar 
> penduduk ( kayanya ada boss yang yang bukan akademisi  atau  pun budayawan,   
> sumbang dana juga tuh untuk pemugaran ini !!!!  ). Canggih mungkin  cara 
> pendekatan dan pemaparannya hingga didukung.
> 
>  
> 
> Pak Tjiong juga terlibat dalam mempertahankan , memperjuangkan, merenovasi 
> klenteng TALANG CIREBON  yang akan dikapling dan diperjual belikan oleh oknum 
> yang mengaku pengurus !!!!!! Sudah mulai diacak-acak   saat itu…….( masih 
> ketinggalan sebelah lagi yang sudah  dipakai ruang duka/ kematian )
> 
>  
> 
> Semoga saja Pak Tjiong mau berperan serta.
> 
>  
> 
> Kalau   ada rekan milis yang kebetulan kenal dekat pada beliau ( Pak Tjiong ) 
>  mohon bantuannya untuk  membicarakan, mendorong agar Pak Tjiong bersemangat  
> berpartisipasi.
> 
>  
> 
> Kalau saja sampai  dapat pengakuan UNESCO, masukan dalam mass media nasional, 
> situs ini akan lebih terjaga kelestariannya  di masa depan .  Siapa 
> tahu…………………………….. J)
> 
>  
> 
> Salam pelestarian budaya,
> 
>  
> 
> Sugiri.
> 
>  
> 
>  
> 
>  
> 
> From: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
> [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] On Behalf Of Freddy H. Istanto
> Sent: Thursday, February 04, 2010 6:50 AM
> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> Subject: Re: [budaya_tionghua] FW: 2010 UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards 
> for Culture Heritage Conservation. SILAHKAN BERPERAN SERTA . SOWN BENG KONG, 
> KLENTG TALANG ???
> 
>  
> 
>   
> 
> 
> P.Sugiri yth.,
> 
> HoS (House of Sampoerna) adalah museum yang dbangun oleh Keluarga
> Sampoerna. isinya berupa artefak, catatan2, buku, produk rokok, alat
> cetak, tembakau, korek api, dll serta perjalanan sejarah keluarga ini di
> bisnis rokoknya. merupakan bagian dari Pabrik lamanya. kemudian ada cafe
> di sbelahnya dan rumah pribadi dalam bentuk asli, di sisi yang lain.
> ada juga galery seni dan tempat diskusi seni (terbanyak topik ini)
> 
> dibuka pada tahun 2003, beberapa bulan sebelum Kya-kya Kembang jepun
> diresmikan. Saat itu kami ber-partner menghidupkan Wilayah utara surabaya
> yang penuh dengan heritage.
> 
> tata cara u ajukan Unesco award, bisa diunduh (download) di
> http://www.unescobkk.org/culture/our-projects/empowerment-of-the-culture-profession/asia-pacific-heritage-awards-for-culture-heritage-conservation/2010-heritage-awards/
> disitu komplit, plit.......... :D
> 
> tahun 2007, saya diundang pemerintah Hongkong lewat AMO (Antiquities and
> Monuments Org) u mempresentasikan Paper saya ttg ShopHouses di Surabaya.
> saat itu saya bertemu dg salah satu juri unesco award, tentang kegagalan
> HoS untuk mendapatkan Award tersebut.
> 
> Banyak tabik,
> Fred
> 
> Saya bergabung di Surabaya Heritage,
> Anggota juga dar BPPI (Badan Pelestarian Pusaka Ind).
> 
> > Yth Pak Freddy,
> > Barangkali bisa cerita sedikit tentang objeknya ??
> > di Bandung ada organisasi Bandung Heritage Society dan ICOMOS
> > (International Council on Monuments and Sites , Conseil International des
> > Monuments et des Sites) Indonesia. Organisasi dibawah naungan UNESCO 
> , Barangkali saja bisa dibantu penyusunan bahan-bahan nya.
> > Siapa yang tahu bangunan HERITAGE TIONG HOA yang telah berhasil dipugar
> > di tempat lain ?? Bolehkan berbagi cerita disini ?? klenteng tua
> > mungkin , kong kwan
> > building mungkin, adakah hwei kwan building di Indonesia . bekas rumah
> > letnan, kapten Tionghoa setempat ???
> > Makam SOW BENG KONG mungkin ?? yang berhasil setelah perjuangan panjang.
> > Ini sebenarnya prestasi hebat, ada yang minat kita coba menyusun
> > penjelasan untuk diajukan ??
> > Bpk Ir Tjiong dari UNTAR fakultas Arsitektur agaknya sangat berjasa
> > dalam hal ini. Adakah rekan di Jakarta yang kenal beliau dan bersedia
> > berbicara untuk mengumpulkan data dan cerita prosesnya.?? Mari kita
> coba bersama…..
> >
> >
> >
> > Jadi teringat klenteng Kong Hu Cu TALANG Cirebon , juga Ir Tjiong ini
> > agaknya cukup terlibat sangat intense ………….. bisa 
> > sekalian
> > sekali mendayung 2 obyek tercapai……..
> >
> >
> >
> > Buktinya perorangan pun dapat sukses berjuang tanpa rame-rame
> > ……………………………………..
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Salam,
> >
> >
> >
> > Sugiri.
> >
> >
>


Kirim email ke