Bung Enda,

Dinegara kita ada disamping struktur formal ada juga struktur informal
yang bisa kuat sekali.
Dalam masalah tata negara biasanya yang resmi dan yang informal satu.
Yang resmi harusnya bekerja menurut agenda yang ditetapkan DPRD dan
peraturan2 tata kota..
Kalau PEMDA bekerja tertib tentu banyak hal bisa dicegah dan masalah
kebersihan kota dan tata air bisa ditangani dengan baik.
PEMDA tidak boleh dibiarkan bekerja maunya sendiri. Kita perlu
memperjuangkan tranparansi untuk mencegak jaringan2 informal menjadi
dominant.

Penduduk setempat mungkin sudah lelah dan tidak tahu lagi bagaimana
memperbaiki keadaan mereka.
Sudah waktunya calon2 gubernur berikutnya muncul dengan program2 yang
konkret untuk mengatasi masalah rutin ini.
Prestasi gubernur yang berikut bisa diukur langsung dengan intensitas
banjir.

Salam
Hok An



irmec schrieb:

> Bung Hok An,
>
> Bahkan banditpun, aku pikir ngak suka dengan terjadinya banjir. Banjir
>
> hanya buang opportunities. Jd kesalahan ngak bisa melulu dilemparkan
> ke salah satu pihak.
>
> Aku pikir konsep pemda resmi vs pemda bayangan itu konsep yg absurd.
> Siapa sih pemda resmi? Ok ada gubernur, ada camat, wakil camat, dlsb.
> Tapi jangan lupa mereka juga individu, yg sering langsung atau tidak
> langsung terkoneksi dgn salah satu member dari "pemda bayangan". Siapa
>
> sih "pemda bayangan"? Preman? Balik lagi preman kan individu, ygn yg
> sering langsung atau tidak langsung terkoneksi dgn salah satu member
> dari pemda resmi. Ini termasuk saya, dan siapapun yg tinggal dan
> berinteraksi dalam masyarakat. Jikapun memang ada "organisasi tanpa
> bentuk" yg nama pemda bayangan, apa yg membuat mereka lebih powerful
> ketimbang yg resmi?.
>
> Pointku, ngak ada yg nama pemda resmi dan bayangan. Yg ada adalah
> individu yg punya plan dan design masing2 ttg. masa depannya. Jd ada
> jutaan plan dan design. Tiap kita adalah designer. Apa purpose?
>
> Banyak biologis bilang purpose tiap orang pada hakekatnya ialah
> berkembang biak, dan caranya lewat sex. Gimana dgn invidu (dlm konteks
>
> sosial)? Purposenya yah kita tahu untuk "berkembang biak"
> kesejahteraannya, dan caranya lewat "kerjanya" -apa pun bentuk. Dan
> itu pasti dimaksimalisasi.
>
> APa yg kucoba rekonstruksi ialah pemda bayangan termasuk kita sendiri,
>
> bukan hanya penjahat. Seseorang yg ngurus paspor misalnya. Pengen
> buru2, tapi birokrasi lambat? Apa yg dibuat, mungkin dia kasih uang
> pelicin. dst,dst ..kita tahu cerita itu semua.
>
> Apa yg membuat kita memilih untuk masuk member dalam pemda bayangan?
> yah karena nilai yg dibawanya relatif lebih menguntungkan kita. [aku
> ngak bilang lebih baik lho, tapi lebih menguntungkan].
>
> Akhirnya, aku mau pake analogi main kartu antar 2 orang. Pemerintah
> ibarat punya kartu bagus semua. Si bajingan kartu jeblok semua.
> Pemerintah tahu bhw posisinya lebih diatas angin dibanding si bajingan
>
> (wong di jumlah kartu cuma 52) Sekarang apa yg akan si bajingan
> lakukan? Kalau saya bajingan, maka saya akan ajak org lain untuk
> ikutan main. Pemain nambah2, nambah, sehingga si pemerintah lebih
> sulit nebak kartu saya.
>
> Sekarang, kita tahu kondisinya beda. Si bad guy lebih banyak punya
> kartu bagus ketimbang si good guys. Apa yg dilakukan si good guy
> harus dilakukan ialah seperti juga diatas. Dgn kata lain, si good guy
> harus ngajak org lain. Sehingga permainan jadi lebih unpredictable
> bagi siapapu, smabil berharap bhw itu akan sampai pada yg dicita2kan.
> Dlm social konteks, kita bisa bilang, memberdayakan masyarakat
> (meskipun akau lebih suka istilah menyerahkan kontrol pada orang
> banyak).
>
> Cheer
> Enda
>
> --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An <[EMAIL PROTECTED]>
> wrote:
> >
> > Saya rasa designer dari Jakarta ada dua. Yang satu yang resmi
> dibawah
> > DKI konkretnya a.l. dinas tata kota.
> > Yang kedua tidak resmi, negara bayangan - kalau di Turki istilahnya
> deep
> > state, kita belum punya istilah yang pas - yang merupakan koalisi
> dari
> > kekuatan2 yang benar2 berkuasa di Jakarta. Sebab itu proyek2 besar
> > muncul melompati administrasi resmi.
> > Dipihak lain masyarakat memperkuat aspek ini, karena terpaksa cari
> jalan
> > pintas dan membayar administrasi resmi dibawah meja.
> > Pada saat diperlukan ternyata apa yang namanya administrasi negara
> bisa
> > menghilang begitu saja dan baru muncul dengan iming2 yang mahal.
> >
> > Kerusakan akibat banjir ditaksir saat ini Rp. 4 triliun. Apa tidak
> > terlalu rendah? Yang tinggal didaerah banjir setiap 5 tahun sekali
> punah
> > harta miliknya. Sistem ini melestarikan kemiskinan. Daerah yang kena
>
> > diduga sedikitnya 70% dari wilayah kota. Taksiran diatas apa tidak
> harus
> > dikali sepuluh? Berapa banyak barang2 budaya yang hancur?
> > Apa ada kota besar lain yang boros begitu? Politik banjir Jakarta,
> jelas
> > menggambarkan budaya tua yang siklis dan biasa membakar barang2
> budaya
> > sesudah ritual selesai. Dengan kata lain sistem ini menghambat
> akumulasi
> > modal. Contoh tata kota yang berair sudah dikenal lama. Yang kurang
> cuma
> > kemauan untuk melaksanakannya, sebab dana DKI termasuk besar. Ini
> akan
> > terus begitu, kalau negara resmi belum berhasil menggusur negara
> gelap.
> >
> > Salam
>




Kirim email ke