Saya copas berita dari Kompas Online, hari ini, entah diversi cetak ada atau
tidak, berhubung sudah lama tak lagi langganan surat  kabar, thanks to
mobile internet =D.

 

Saya jadi teringat beberapa hari lalu berkesempatan ngobrol2 dan dinner
dengan kenalan baru saya, seorang Indonesian Chinese perantauan. Ada
kata2nya yang membuat saya terbahak,"Kita itu ibarat orang nekat yang sudah
tahu dan dikasih tahu, kalo ngak pernah belajar renang, ya jangan nyemplung
kelaut, tetapi tetap nekat nyemplung juga... ya mati dong. Sama dengan
demokrasi, kita tak pernah belajar tak pernah berlatih, tetapi langsung
ngebut menerapkan demokrasi, ya akibatnya.......".

 

IMHO demokrasi jelas bukan renang dilaut. Di Amerika pun, menerapkan
demokrasi ngak sekali jadi, tetapi dengan belajar dari pengalaman. Kita,
belajar dari pengalaman orang lain dan pengalaman kita sendiri. Yang penting
adalah leadership dari leader yang punya  visi kemajuan bangsa ini, bukan
kemajuan keluarga atau partainya. Nah soal leadership ini yang kita ngak
punya. Atau, kalo ini dianggap sebagai pembelajaran, besok-besok jangan
pilih leader semata-mata karena iklan di TV.

 

Oka Widana

 

 

Catatan kecil:

Indonesian Chinese perantauan =  keturunan Tionghoa kelahiran Indonesia,
yang tahun 50-an akhir , dengan sukarela atau terpaksa,  merantau (atau
dipaksa pergi) ke RRC dan akhirnya menjadi warga negara China. Kenalan saya
ini walau sudah bukan WNI, tetapi terlalu cinta dengan tanah kelahirannya.
Sehingga setelah pensiun dari dinas militer di China, mendirikan bisnis di
Indonesia dan bolak-balik Beijing-Jakarta-Semarang. Anak2nya ada yang warga
negara Australia, USA dan China sendiri, tak ada yang WNI. Tetapi semua anak
dan cucunya fasih berbahasa Indonesia dan Jawa (ngoko sih, mung apik
tenan)....luar biasa.

 

 

Investor Heran Indonesia Masih Fokus Politik Saja

KOMPAS.com/Caroline Damanik

 

Selasa, 22 Desember 2009 | 08:27 WIB

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia perlu mewaspadai perkembangan ekonomi pada
triwulan I tahun 2010 berkenaan dengan kondisi politik yang terus memanas,
terutama terkait kasus Bank Century. Kondisi ini bisa mendorong investor
asing setiap saat bisa menarik dananya ke negara yang lebih menjanjikan.

 

Investor asing saat ini sudah meraup keuntungan yang lumayan tinggi. Apabila
pergolakan politik terus berlanjut, mereka bisa memindahkan dananya ke
negara yang jauh lebih menjanjikan, negara yang lebih serius memperbaiki
perekonomiannya.

 

"Investor heran mengapa Indonesia masih saja fokus pada masalah politik.
Padahal, pemilihan umum sudah berlalu. Indonesia seharusnya mulai serius
pada penanganan ekonomi karena negara lain sudah pulih jauh lebih cepat,"
ungkap Direktur PT Mandiri Sekuritas sekaligus Kepala Ekonom Bank Mandiri
Mirza Adityaswara, di Jakarta, Senin (21/12), pada seminar "Indonesia
Economic Outlook 2010" yang digelar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).

 

Menurut Mirza, berlarut-larutnya masalah politik Bank Century mulai
mengganggu perencanaan anggaran belanja modal korporasi di Indonesia.
Padahal, dari sisi kebijakan, penyelamatan Bank Century tidak bisa
dipersalahkan sebab kondisi yang mendorong kebijakan itu sangat berbeda
dengan saat ini.

 

Pada triwulan IV-2008, nilai tukar rupiah ada di level Rp 12.000-Rp 13.000
per dollar AS hingga triwulan I-2009. Biaya penerbitan obligasi rupiah yang
ditunjukkan dengan tingkat imbal hasilnya melonjak dari 9,7 persen ke 20
persen. Begitu juga imbal hasil obligasi valuta asing mencapai 16 persen,
jauh di atas normal, yakni 7-7,5 persen.

 

"Sepanjang untuk mencari 'penumpang gelap' dalam penyelamatan Century
silakan dicari. Namun, kebijakannya (penyelamatan Century) sudah benar. Ini
berlaku untuk siapa pun menteri keuangannya karena saya bukan ekonom
politisi," ujar Mirza.

 

Mirza mengatakan, aksi investor asing perlu diwaspadai karena dana asing
dalam Surat Utang Negara sudah Rp 150 triliun atau setara 15 miliar dollar
AS. Tersimpan di Sertifikat Bank Indonesia sudah Rp 48 triliun atau 4,8
miliar dollar AS. Penarikan oleh investor bisa berdampak luar biasa.

 

Pada seminar yang sama, Ketua Fokus Group Koordinasi Fiskal dan Moneter
Pengurus Pusat ISEI Sri Adiningsih mengatakan, pergulatan politik di dalam
negeri menyebabkan Indonesia tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
secara luar biasa. Padahal, Indonesia bersama China dan India adalah tiga
negara yang masih mencatatkan pertumbuhan positif.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke