Jadi tergelitik juga untuk kasih komentar, (gimana caranya biar berhenti kasih 
koment, habis koment melulu.....sekali-sekali pengen jadi pembaca yang baik 
saja nih...).

Resiko sih resiko, tetapi regulasi alias batasan-batasan harus jelas. Coba 
lihat, gara-gara istilah "sistemik" yang simpang siur akhirnya pada berantem 
dan main kerbau-kerbauan :-). Saya tadinya juga nunggu berita dari para 
politisi/dpr dan para ahli tentang kasus "sistemik" itu. Tapi samapai sekarang 
nggak jelas juga "sistemik atu tidak sistemik", dan korban dari kasus 
"sistemik" ini sudah cukup banyak (korban perasaan, jabatan dan harga 
diri..hmm...). Jika begitu, berarti memang betul bahwa kebenaran hakiki dan 
keadlian absolut itu hanya milik Tuhan?

Selain "sistemik" istilah "korupsi", "suap", "penyimpangan", "merugikan 
keuangan negara" "bohong", juga menjadi polemik. Di dataran definisi sih 
biasanya hampir sama. Namun di tataran "pembuktian" mulai simpang siur, apa 
lagi jika bukti-bukti juga tidak jelas. Belum lagi masalah istilah "bukti" juga 
dibolak-balik dan terjadi manipulasi. Yang pada akhirnya membuat masyarakat 
bingung dan terkadang mentertawai si A dan terkadang mendukung Si A. Dan itulah 
dinamika demokrasi itu.

Belajar dari pemilu yang lalu di tempat saya, kemenangan dan kebenaran itu 
dalam praktiknya cenderung terletak pada kemampuan melobi dan merangkul KPU, 
karena mereka inilah yang menjadi pemegang otoritas. Dan faktanya, KPU dan 
panwas juga ada yang tidak jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran 
(TIDAK SEMUA). Mengapa? KPU dan panwaslu juga berantem sesama mereka tentang 
istilah-istila, definisi-definisi dan penilaian aplikasi undang-undang/regulasi 
dilapangan. Dan karena mereka juga manusia, maka godaan kena suap dan kena rayu 
juga memiliki peluang mempengaruhi penilaian dan keputusan mereka. Hm....Jadi, 
kebenaran absolut dan keadilan absolut itu memang milik Tuhan. Dan manusia 
hanya berusaha untuk mengarah kearah itu dan terus berusaha menjadi lebih baik 
dan sempurna, walau proses itu telah menimbulkan korban dan kerugian pihak 
lain, baik secara moriil maupun materiil.

Begitu juga dengan masalah "sistemik" tersebut. dan juga fakta yang diterima 
oleh Bung Karno tersebut. Pada hakikat/esensinya, dalam hidup bermasyarakat, 
ternyata hakim rakyat (pendapat, keyakinan dan dukungan publik) ternyata lebih 
ampuh dan kuat dibanding palu-palu pengadilan dan palu dpr. Contoh: walau si A 
dihukum oleh pengadilan bersalah, tetapi ada 1000 orang yang meyakini si A 
tidak bersalah maka si A salah dihadapan pengadilan tetapi tetap benar dalam 
pandangan 1000 orang masyarakat tersebut. Syukur-syukur jika masyarakatnya 
memiliki dasar penilaian yang benar dan akurat, dan juga pengadilan alias 
pemilik otoritas juga memiliki dasar penilaian yang benar dan akurat. jika 
tidak, maka apa sebenarnya kebenaran dan keadilan, kesalahan dan ketidak adilan 
itu?

Nah, pada kasus ini siapakah yang benar? Tanyakan pada rumput yang bergoyang :-)


Salam
Nazar
On:Tebo-Jambi


--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "dyahanggitasari" 
<dyahanggitas...@...> wrote:
>
> 
> 
> --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "Oka Widana" <oka@> wrote:
> >
> > Eh saya mau koreksi pernyataan saya kepada mbak Dyah...ternyata ada 
> > Presiden RI yg masuk penjara, ketika masih menajabat dan ketika sdh 
> > mantan......yah kalo Presiden tentu bukan Lapas atau LP lah, melanikan 
> > pembuangan, pengucilan dan atau tahanan rumah....ya Bung Karno lah....
> > 
> > 
> 
> Jadi setiap pekerjaan ada resikonya kan. Barangkali ini PR bersama untuk 
> semua pihak agar hal hal seperti ini bisa dihindari di masa depan.
> Terus terang saya tetap sangat optimis dengan gaji sebesar itu masih banyak 
> yang bersedia dan lebih percaya diri bisa menjalankan tugas dengan lebih 
> baik. Optimis Pak Oka.
>


Kirim email ke