"Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu 
beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi 
tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding 
manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. "


Mas Pras,

Mematikan TV sih gampang dilakukan. Yang sulit adalah banyak pihak yang 
meyakini kebenaran produk politik paripurna DPR (Angket) secara membabi buta. 
Kebenaran ini mereka samakan dengan kebenaran saat anggota DPR mengesahkan 
sebuah Undang-Undang atau APBN yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum. 
Dengan pola pikir ini, maka merekapun merasa punya alasan agar perangkat hukum 
mengeksekusi kebenaran mutlak yang telah diputuskan lewat sidang paripurna..... 
ini masalahnya.


Salam

RM


--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, prastowo prastowo <sesaw...@...> 
wrote:
>
> Salam,
> Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau 
> persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita 
> masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau 
> lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi 
> Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating 
> untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan 
> mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum "kebenaran adalah apa yang 
> disampaikan berulang-ulang". Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) 
> diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS 
> bukan KUALITAS.
> 
> Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi 
> kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara 
> hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. 
> Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada 
> penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, proses 
> politik dan proses hukum pun sah untuk dijalankan, bukan pada kebijakannya 
> tetapi pada ada tidaknya potensi kerugian negara. Jika tidak terbukti secara 
> hukum, bukankah akan lebih baik bagi semua pihak karena sudah menempuh apa 
> yang seharusnya dilakukan.
> 
> Maka tegangan yang kemarin terjadi bisa kita tempatkan dalam konteks tegangan 
> "teknokratisme vs kontrol demokratis". Apa yang disampaikan mbak Dyah saya 
> kira berada pada ranah ini. Di satu sisi kaum profesional cenderung apolitis, 
> dan sebaliknya politisi lebih mengedepankan intrik/trik/lobby dan mengabaikan 
> kapabilitas personal.
> 
> Hemat saya persoalannya meletak pada format politik kita yang memang masih 
> berada pada demokrasi prosedural. Kita surplus demokrasi tapi defisit 
> politik. Praktik yang terjadi hari-hari ini bukanlah kebajikan politik 
> melainkan buah surplus demokrasi prosedural. Setidaknya politik sebagai 
> sebuah seni bernegosiasi, mencari alternatif, dan mengambil keputusan atas 
> dasar persetujuan bersama ( deliberasi ), masih jauh panggang dari api. 
> Politisi kita masih berada di level selebriti, menikmati layar kaca sebagai 
> pentas, bukan panggung diskursus. Bahaya tontonan layar kaca adalah adanya 
> eksploitasi sepihak tanpa adanya umpan balik. Demokrasi kini dikuasai kaum 
> medioker, yang sama sekali tak cakap dan tak layak menjadi pemimpin. Politisi 
> (dan pemimpin kita ) menyukai repetisi, karena ini dangkal, mudah dilakukan, 
> dan mengecoh. Ia bak gincu demokrasi, sekedar lipstik yang menipu, karena 
> bahayanya sedemikian jelas: koruptor dan ulama bisa bicara satu panggung,
>  maling dan penegak hukum, serta bandit dan aktivis sosial seolah dilebur 
> dalam satu wadah tanpa batas. Ini jelas berbahaya.
> 
> Cara mengikisnya dengan memori. Artinya ya mengembalikan rasionalitas pada 
> politik ( baca: pendidikan politik ). Merehabilitasi politik yang kini 
> diguncang ulah dan sikap para elite politik. Kita harus awasi proses politik 
> sejak awal, rekrutmen politik harus terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, 
> jangan sampai partai politik menjadi perusahaan, apalagi dinasti. Saya setuju 
> dikotomi profesional - politisi diakhiri, karena ini lebih sering mengecoh. 
> Yang dibutuhkan adalah bagaimana semua bisa bekerja secara profesional, dan 
> hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara politik. SMI saya kira tidak 
> apolitis - sejauh saya baca dalam wawancara yang cukup panjang dan substantif 
> dengan majalah PRISMA. Saya mengkritik kapitalisme dan neoliberalisme, tapi 
> sekedar menyangkokkan label 'neolib' dijidat SMI atau Boediono adalah bukan 
> cara intelek yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa bedanya kita dengan Suharto 
> dan Orba terhadap "PKI" jika demikian?
> 
> Saya sendiri tidak tahu dari mana harus memulai. Tapi ibarat sebuah tontonan, 
> layar tertutup tanda paripurnanya pertunjukan. Semua akan kembali menjadi 
> aslinya. Apa yang tampak indah di panggung adalah benar2 sandiwara. Cara 
> termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani 
> dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi tetap 
> menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding manfaatnya, 
> mudharatnya lebih banyak. Tentu mohon jangan disalahpahami, ini sekedar 
> terkait dengan hal2 berbau sinetron - entah betulan, entah politik - karena 
> sungguh ini berbahaya bagi masa depan bangsa.
> 
> salam
> 
> 
> pras
> 
> 
> 
> 
> 
> ________________________________
> Dari: dyahanggitasari <dyahanggitas...@...>
> Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
> Terkirim: Kam, 6 Mei, 2010 20:40:57
> Judul: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani
> 
>   
> Kaum yang menyatakan dirinya profesional (anggapannya yang di partai tidak 
> ada yang profesional) , dengan kejadian seperti ini harus mengambil 
> hikmahnya. Para profesional harus mengubah paradigma yang selama ini merasa 
> paling pintar dalam mengatasi masalah, maka kedepannya supaya melengkapi diri 
> dengan interpersonal skill. Pintar saja tidak cukup. Kemampuan membawakan 
> idenya  dalam memberikan solusi supaya diimbangi dengan kemampuan membawakan 
> diri dalam dunia politik. Jaman sudah berubah. Menafikan peran partai 
> merupakan negasi dari proses demokrasi seburuk buruknya hasil dari demokrasi 
> itu sendiri.Tanpa ada saling intropeksi dan kerjasama kedua belah pihak maka 
> yang ada adalah kebanggaan semu dan perselisihan  tanpa  memberikan 
> kontribusi yang bermanfaat buat masyarakat. 
> 
> --- In AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com, Ical Moci <ical.moci@ ..> 
> wrote:
> >
> > Hmmm....I can't agree more.
> > Proses Pansus memang tidak akan mengurangi minat orang untuk menjadi pejabat
> > negara. Tapi dampak sampingan kriminalisasi kebijakan di pansus adalah akan
> > sangat sedikit (bahkan tidak ada) pejabat negara yang berani mengambil
> > keputusan di saat genting...
> > 
> > 
> > ============ =
> > 
> > *INI BUKAN SOAL SRI MULYANI*
> > 
> > 
> > Ini persoalan momentum yang terlewatkan. Indonesia tidak akan kiamat.
> > Ekonomi Indonesia tidak akan kolaps dengan dengan perginya Sri Mulyani.
> > Hanya sekali lagi kita menyiakan momen untuk melakukan perbaikan ekonomi dan
> > kelembagaan, atas nama `proses politik.' Betul, kita ingin DPR yang kritis,
> > yang bukan hanya tukang stempel seperti di era Orde Baru. Tapi bukan DPR
> > seperti ini yang kita inginkan. Yang berlomba-lomba ingin tampil dan
> > menunjukkan eksistensinya.
> > 
> > Proses Pansus dan sesudahnya telah menjadi ajang perburuan tukang sihir.
> > Bukan pencarian kebenaran. Bahkan, ada tendensi untuk menjadi ajang
> > penutupan kebenaran. Lihat saja ulah para anggota Pansus yang sekarang
> > justru membela kawan mereka Misbakhun. Padahal terkuaknya ulah kontribusi
> > Misbakhun dalam kejatuhan Bank Century adalah buah dari proses Pansus.
> > Artinya, pengusutan hukum untuk Misbakhun adalah konsekuensi logis dari
> > Pansus. Tapi Pansus justru menjilat ludah mereka sendiri.
> > 
> > Ini persoalan sinyal yang salah. Sri Mulyani memang eksepsional. Baik
> > sebagai akademisi, birokrat maupun politisi. Namun bukan berarti ia tak
> > tergantikan. Indonesia tidak kekurangan stok sumber daya manusia untuk
> > menjadi Menkeu. Masalahnya, setelah berbagai perlakuan yang diterima Sri
> > Mulyani, apakah yang mampu akan mau? Apakah yang mau adalah yang mampu?
> > 
> > Proses Pansus menunjukkan satu hal. Kalau anda pejabat yang harus mengambil
> > keputusan penting dalam waktu singkat dan informasi terbatas, jangan lakukan
> > apapun! Ekonomi mungkin anjlok. Tapi konsekuensi terjelek buat anda adalah
> > reputasi. Dan itu bisa anda perbaiki dengan menyalahkan kapitalisme global,
> > neoliberalisme, badan-badan internasional, hingga meteor. Tapi kalau anda
> > mengambil keputusan yang perlu, risiko yang anda hadapi adalah proses
> > politik, bahkan hukum.
> > 
> > Itu mungkin tak jadi masalah besar kalau anda punya atasan atau kekuatan
> > politik di DPR yang mau seratus persen mendukung anda. Tapi kalau itupun
> > tidak anda dapatkan, maka tidak ada artinya anda jadi orang yang pandai,
> > bersih dan punya komitmen.
> > 
> > Di sisi lain, saya kuatir ini jadi sinyal buat para petualang politik bahwa
> > bullying itu efektif. Kalau anda kalah dalam pemilu, kalau anda kurang
> > pandai, atau kalau anda tidak suka pada seseorang â€" entah karena
> > kepentingannya tidak sejalan dengan anda, atau bahkan bisa membahayakan
> > posisi ekonomi dan politik anda â€" jangan kuatir. Anda bisa mem-bully orang
> > itu hingga ia pergi.
> > 
> > Ironisnya, ada institusi lain yang bisa memberi apresiasi pada prestasi
> > orang seperti Sri Mulyani. Salahkan kalau ia pindah ke tempat dimana ia bisa
> > dihargai?
> > 
> > Kekuatiran saya yang lebih besar adalah di masa depan kita akan sulit
> > mendapatkan orang-orang bersih, baik, berani, punya komitmen, dan bersedia
> > jadi pejabat publik. Padahal kita selama ini bicara pentingnya institusi
> > yang kokoh, kepemimpinan yang kuat dan sebagainya. Dan sekarang kita
> > dihadapkan pada situasi mirip Hukum Gresham di abad-18: bad money drives out
> > good money. Hanya dalam konteks sekarang, bad guys drive out good guys.
> > 
> > Ini persoalan akal sehat yang tercederai. Pansus Century yang didirikan
> > dengan semangat perburuan tukang sihir adalah pelecehan terhadap akal sehat
> > sejak awal. Orang-orang tanpa akal sehat lebih suka mendengar sesama orang
> > tanpa akal sehat. Inilah yang terjadi. Mereka tekun mendengarkan narasumber
> > yang sejalan dengan konstruksi logika yang mereka bangun. Mereka berikan
> > waktu lebih banyak ketimbang narasumber lain yang berbeda pendapat. Lucunya,
> > para `pakar' ini berbeda pendapatnya dengan apa yang pernah mereka katakan
> > soal krisis tahun 2008. Para anggota Pansus tidak peduli. Yang penting
> > justifikasi telah mereka dapatkan.
> > 
> > Parahnya, hilangnya akal sehat ini diamplifikasi oleh media. Mereka
> > berlomba-lomba memberikan waktu tayang buat komentator pro-Pansus. Sekacau
> > apapun pernyataan mereka. Media sudah memvonis Sri Mulyani dan Boediono
> > bersalah. Meski Pansus sendiri tidak pernah bisa membuktikan mereka
> > bersalah.
> > 
> > Kembali akal sehat kita dicederai ketika berita rencana kepindahan Sri
> > Mulyani ke posisi barunya di Washington, DC, beredar. Berterbaranlah
> > ungkapan-ungkapan seperti `intervensi asing', `akal-akalan SBY' dan
> > sebagainya. Bahkan teori-teori bermunculan, seperti `Bank Dunia suka dengan
> > Sri Mulyani yang gemar berhutang' dan sebagainya. Lupa bahwa rasio hutang
> > justru turun di era Sri Mulyani. Ada juga yang berteriak, `Sri Mulyani tidak
> > boleh pergi.' Padahal baru beberapa bulan lalu ia diminta mundur, bahkan
> > diboikot di Rapat Kerja DPR.
> > 
> > Lalu apa setelah ini? Sri Mulyani akan pergi. Selama ini ia menjadi ikon
> > `pemersatu' orang-orang berakal sehat, yang ingin melihat reformasi
> > birokrasi berjalan, yang ingin melihat ekonomi Indonesia bangkit di atas
> > fondasi kelembagaan yang kuat.
> > 
> > Kita tidak bisa berlama-lama meratapi keputusan ini. Pun kita tidak bisa
> > terlalu lama menyerapahi mereka yang mendorong dan membiarkannya pergi.
> > Jadikan ini sebagai anugerah: ternyata ada orang-orang yang berpikiran sama
> > soal pembenahan institusi, reformasi birokrasi, antikorupsi dan pentingnya
> > akal sehat. Sekarang kita harus membuktikan bahwa kita dipersatukan oleh
> > gagasan, bukan figur. Figur boleh pergi, tapi gagasan tidak.
> > 
> > Tantangannya sekarang, bagaimana kita yang selama ini di belakang Sri
> > Mulyani bisa tetap solid dan konsisten menyuarakan yang selama ini kita
> > suarakan. Jangan berikan ruang buat para oportunis politik kembali membajak
> > wacana dan agenda. Ada beberapa isu penting yang butuh kita perhatikan ke
> > depan:
> > 
> > 1. Penunjukkan Menkeu baru. Siapa saja calonnya, bagaimana rekam jejaknya,
> > dan siapa yang mencalonkan.
> > 2. Tetap menjaga optimisme bahwa Indonesia tak akan runtuh tanpa Sri
> > Mulyani. Tapi kita semua yang perlu menjaga agar reformasi birokrasi dan
> > penguatan institusi yang sudah dilakukan bisa berlanjut.
> > 3. Menyuarakan supaya proses political bullying tidak ada lagi. Dan menjaga
> > agar Wapres Boediono, pengganti Sri Mulyani, dan pimpinan KPK tidak jadi
> > sasaran political bullying.
> > 4. Mengkampanyekan delegitimasi untuk partai-partai dan anggota DPR yang
> > selama ini membuat keruh suhu politik, agar suara mereka di 2014 tergerus,
> > kalau bisa hilang.
> > 
> > Sekali lagi, ini bukan persoalan Sri Mulyani. Ini persoalan apakah akal
> > sehat masih ada.
> > 
> > Source:
> > http://ariperdana. blogspot. com/2010/ 05/ini-bukan- soal-sri- mulyani.html
> > 
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
> 
> 
>  
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke