Wa'alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokatuh ... 

"jika suami tidak memenuhi kriteria tersebut (suami yang lebih tinggi ilmu 
agamanya, lebih banyak hafalannya, dan lebih tsiqoh dalam manhaj) akhwat ini 
takut tidak bisa berbuat kebaikan dan bersikap dholim kepada suaminya."
 

Afwan, sekedar saran ... sebaiknya suami istri harus saling dapat memaklumi 
kekurangan pasangan masing2 ... jika si akhwat ini lebih tinggi ilmu agamanya 
daripada si suami, sebaiknya ajarkanlah suaminya tersebut, dan ini merupakan 
kemuliaan bagi sang istri dan keberkahan bagi pasangan tersebut. 

Jika sama2 tingkat ilmunya apalagi semanhaj, baiknya sama2 belajar memperdalam 
ilmu Al-Qur'an dan Assunnah dengan pemahaman salafus sholeh .... jadi tidak 
perlu khulu dan jangan benci suami / istri yg belum mengerti sunnah.. 

jika si suami dengan sedikit ilmu agamanya tapi mau belajar dan mengamalkan 
sunnah, itu lebih baik, ketimbang yg sudah paham tapi tidak diamalkan  ... nah, 
terkecuali jika ia enggan untuk belajar apalagi sampai meninggalkan 
kewajibannya ...Wallahu'alam




________________________________
 Dari: Abu Harits <abu_har...@hotmail.com>
Kepada: assunnah assunnah <assunnah@yahoogroups.com>
Dikirim: Minggu, 29 April 2012 22:48
Judul: RE: [assunnah]>>Istri yang Khulu<<


 
From: iyad_sm...@yahoo.com
Date: Fri, 27 Apr 2012 00:05:05 -0700 

BismiLLAH
Assalamulaykum warohmatullohi wabarakatuhu.
Ikhwan dan Akhwat sekalian, ana mempunyai teman telah menikah, kemudian di 
tengah perjalanan rumah tangga, akhwat merasa apa yang diharapkan dari sang 
suami ternyata tidak didapati. Akhwat tersebut menginginkan suami yang lebih 
tinggi ilmu agamanya, lebih banyak hafalanya, dan lebih tsiqoh dalam manhaj 
dari akhwat tersebut. dan jika suami tidak memenuhi kriteria tersebut akhwat 
ini takut tidak bisa berbuat kebaikan dan bersikap dholim kepada suaminya. atas 
dasar inilah akhirnya akhwat tersebut meminta khulu' pada suaminya. apakah hal 
ini diperbolehkan dalam syariat? kemudian berapa lama masa iddahnya?
jazakumullohu khoiron atas jawaban antum sekalian.
wassalamualakum warohmatullohi wabarakatuhu.
>>>>>>>>>>>>>
 
KETENTUAN HUKUM AL-KHULU[9]
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum 
taklifi sebagai berikut.

1. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian 
dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat 
menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, 
dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا 
فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan 
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang 
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan 
pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya 
dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika 
keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang 
diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam 
pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. 
Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan 
penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah 
Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, 
apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena 
tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka 
disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. [11]

2.Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, 
atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri 
membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, 
dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap 
seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ 
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian 
kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka 
melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [12]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan 
tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri 
tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat 
di atas” [13]

b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan 
tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri 
tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka 
ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَاْسٍ فَحَرَامٌ 
عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka 
haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, 
dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]

3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri 
disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]

4. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya 
terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang 
dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya 
murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk 
dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak 
menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan 
seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu 
walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi 
isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]
Selengkpanya baca di http://almanhaj.or.id/content/2382/slash/0
 
HASIL DAN KONSEKWENSI AL-KHULU
Masalah Al-Khulu adalah faskh dan bukan thalak, sehingga akan memberikan 
beberapa hukum sebagai konsekwensinya. Di antaranya.

1. Tidak dianggap dalam hitungan thalak yang tiga. Sehingga , seandainya 
seorang meng-khulu’ setelah melakukan dua kali thalak, maka ia masih 
diperbolehkan menikahi isterinya tersebut, walaupun Al-Khulu terjadi lebih dari 
satu kali. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas.

2. Iddah, atau masa menunggunya hanya sekali haidh, dengan dasar hadits 
Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz sebagaimana telah disampaikan di atas. Dikuatkan 
dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi.

أَنَ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيِّ صَلَّى 
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّ تَهَا حَيْضَةً

“Sesungguhnya isteri Tsabit dan Qais meminta pisah (Al-Khulu) darinya, lalu 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haidh” [HR Abu 
Dawud, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam shahih Abu Dawud, no. 2229]

Inilah pendapat Utsman bin Affan, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ishaq, Ibnul Mundzir 
dan riwayat dari Ahmad bin Hanbal. Inilah yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah. [17]

3. Al-Khulu diperbolehkan setiap waktu, walaupun dalam keadaan haidh atau suci 
yang telah digauli, karena Al-Khulu disyariatkan untuk menghilangkan 
kemudharatan yang menimpa wanita, karena faktor tidak baiknya pergaulan sang 
suami, atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh 
karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita 
yang melakukan Al-Khulu
Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/2381/slash/0
 
Wallahu a'lam

 

Kirim email ke