> From: nea_...@yahoo.com
> Date: Tue, 13 Aug 2013 00:26:17 +0000
> Assalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh..
> Izinkan saya bertanya kepada anggota disini yg lebih memahami perihal di 
> atas. Adapun pertanyaannya sbg berikut:
> 3. Apakah diperkenankan seorang suami menggampar, mendorong hingga terjatuh 
> lalu mendudukinya dan menggamparnya kembali berulang2, memukul hingga lebam 
> dengan alasan agar si istri menurut terhadap suaminya?
> Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih. 
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

 

SOLUSI BAGI WANITA YANG TERTINDAS SUAMI
http://almanhaj.or.id/content/2620/slash/0/solusi-bagi-wanita-yang-tertindas-suami/


Pada hakikatnya, Islam tidak melepaskan kehidupan rumah tangga berjalan begitu 
saja tanpa arah petunjuk. Sehingga hawa nafsu menjadi penentu yang berkuasa. 
Tidak demikian adanya. Islam telah menggariskan hak, kewajiban, tugas dan 
tanggung-jawab antara suami dan istri sesuai dengan kodrat, kemampuan, 
mempertimbangkan tabiat dan aspek psikis. Hal tersebut ditetapkan di atas 
landasan yang adil lagi bijaksana. Allah Ta'ala berfirman: 

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ 
دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara 
yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan 
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". 
[al-Baqarah/2:228]. 

Jika pasangan suami istri mengerti dan memahami kewajiban masing-masing, 
niscaya biduk suatu rumah tangga kaum muslimin akan berjalan normal, semarak 
oleh suasana mawaddah dan rahmat. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya. Begitu 
pula, istri juga menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dengan ini, rumah tangga 
akan menuai kebahagiaan dan ketentraman. Rumah tangga benar-benar berfungsi 
sebagaimana mestinya. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : 

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا 
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ 
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ 

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu 
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram 
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya 
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang 
berpikir." [ar-Rûm/30:21]. 

Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang terganggu oleh riak-riak yang pada 
akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan rahmat antara suami-istri. Suami 
berbalik membenci istrinya. Pada sebagian suami, tidak mampu bersabar sehingga 
tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri, dan menyebabkan istri mengerang 
kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun terlihat jelas. Istrinya merasa tidak 
aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu. Situasi kian memanas. Akibat emosi tak 
terkendali, kadang timbul aksi yang tidak diharapkan, semisal penganiayaan 
hingga pembunuhan, baik dari suami maupun istri. Nas`alullah as-salaamah. 

Syaikh 'Abdur-Rahmaan as-Sudais menyampaikan fakta: "Ada sejumlah lelaki 
(suami) yang tidak dikenal kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, 
hardikan, sifat arogan, buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah 
bertoleransi, emosional dan sangat reaktif. Jika berbicara, perkataannya 
menunjukkan dirinya bukan orang yang beradab. Dan bila berbuat, perilakunya 
mencerminkan kecerobohan. Di dalam rumah, suka menghitung-hitung kebaikannya di 
hadapan istri. Bila keluar rumah, prasangka buruk kepada istri menggelayuti 
pikirannya. Bukan pribadi yang lembut dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam 
kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan dan terpaksa mengalami prahara"[1] 

MENDATANGKAN DUA PENENGAH DARI MASING-MASING PIHAK
Dalam konteks ini, bila persoalan semakin meruncing, maka Allah Subhanahu wa 
Ta'ala mengarahkan untuk menghadirkan dua penengah dari keluarga suami dan 
istri. 

خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ 
أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ 
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا 

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah 
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga 
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya 
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha 
Mengetahui lagi Maha Mengenal" [an-Nisaa`/4:35][2]. 

Tugas mereka berdua, mengerahkan segala upaya untuk mengetahui akar 
permasalahan yang menjadi sebba perseteruan antara suami istri dan 
menyingkirkannya, serta memperbaiki hubungan suami-istri yang sedang dilanda 
masalah. Dua penengah ini (hakamain) disyaratkan orang muslim, adil, dikenal 
istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu 
keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan 
antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah 
ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka. 

TALAK BISA "MENJEMBATANI" KEBUNTUAN ANTARA SUAMI-ISTRI 
Pada asalnya, talak bukanlah jalan keluar yang dianjurkan untuk menyelesaikan 
keretakan hubungan antara suami-istri, jika tidak ada faktor penting dan 
mendesak yang menjadi penyebabnya. Namun, ketika istri memperlihatkan 
tanda-tanda kebencian kepada suami, karena istri sering mengalami penindasan, 
misalnya secara fisik berupa pukulan yang menciderai, siksaan yang berat, 
kewajiban nafkah tak dipenuhi, terus-menerus dicaci, mendapatkan tuduhan yang 
bermacam-macam umpamanya, sehingga kehidupan rumah tangga tidak mendukung 
menjadi keluarga harmonis, maka dalam kondisi ini, talak bisa menjadi jalan 
keluar bagi mereka berdua. 

Konsepsi kehidupan rumah tangga dalam Islam sendiri bersendikan "pergaulan yang 
baik, atau dilepaskan dengan cara baik pula". Hal ini berdasarkan firman Allah 
Ta'ala: 

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

"Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan 
cara yang baik" [al-Baqarah/2:229]. 

Kalau suami ingin tetap hidup bersama istri, kewajibannya ialah mempergauli 
istrinya dengan sebaik-baiknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : 

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut". [an-Nisâ/4: 19]

Tindakan aniaya terhadap orang lain terlarang. Demikian juga 
perbuatan-perbuatan yang merugikan dan membahayakan orang lain. Apalagi kepada 
orang yang menjadi pendamping hidup dan bersifat lemah. Orang terbaik ialah 
orang yang berlaku baik kepada keluarganya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam bersabda: 

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي 

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang bersikap baik kepada keluarganya. Dan aku 
adalah orang yang terbaik bagi keluargaku" [HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud].

Kedekatan antara suami dan istri sangat kuat. Dari seringnya interaksi antara 
keduanya, masing-masing dapat mudah terpengaruh oleh kondisi pasangannya. 
Pengaruh baik akan berdampak positif bagi pasangan. Begitu pula, 
keadaan-keadaan yang buruk pun akan mudah berpengaruh pada pasangannya. 

Tatkala kesepahaman tidak bisa dipadukan, dan seluruh terapi tidak memberi 
pengaruh positif bagi perubahan ke arah yang baik, maka kehidupan berumah 
tangga dengan pasangan bisa menjadi beban berat untuk dipikul. Allah Subhanahu 
wa Ta'ala berfirman : 

وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ 
وَاسِعًا حَكِيمًا

"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing 
dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha 
Bijaksana" [an-Nisaa/4:130]

BILA SUAMI TIDAK INGIN MENCERAIKAN
Bila kehidupan rumah tangga sudah menjadi beban berat bagi istri sehingga 
dikhawatirkan tidak mampu lagi menjadi pendamping suami, baik karena perilaku 
maupun tindak kekerasan yang dilakukan suami atau lainnya, maka dalam keadaan 
seperti ini, Islam membolehkan wanita mengajukan gugatan cerai kepada suami 
dengan memberikan ganti rugi harta. Dalam syari’at Islam, gugatan cerai istri 
atas suaminya ini dinamakan al-khulu’.[3] 

Al-Hishnî rahimahullah menjelaskan jenis ketiga dari keringanan dalam 
pernikahan dengan menyatakan: Di antaranya, ialah kemudahan pensyariatan talak 
(cerai) karena beban berat tinggal berumah tangga, dan demikian juga al-khulu’. 
Juga semua yang disyari’atkan hak pilih faskh (menggagalkan akad) karena 
kesabaran wanita atas keadaan tersebut merupakan beban berat (al-masyaqqah), 
karena syari’at tidak memberikan hak cerai kepada wanita.[4]

Sedangkan Ibnu Qudamah rahimahullah, ketika menjelaskan hikmah disyari’atkannya 
al-khulu’, ia menyatakan: "Al-khulu’ (disyari’atkan) untuk menghilangkan dharar 
(kerugian) yang menimpa wanita karena jeleknya pergaulan dan tinggal bersama 
orang yang tidak ia sukai dan benci".[5]

Lebih jelas lagi, yaitu pernyataan Ibnul-Qayyim, bahwasanya Allah 
mensyari’atkan al-khulu’ untuk menghilangkan mafsadat yang berat, menimpa 
pasangan suami istri dan membebaskan satu dari pasangannya [6]. Apabila suami 
menyetujuinya, maka rusaklah akad pernikahan keduanya (faskh) dan sang wanita 
menunggu sekali haidh agar dapat menerima pinangan orang lain. 

Namun, apabila suami tidak menerima al-khulu’ (gugatan cerai) istrinya 
tersebut, maka sang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pemerintah atau 
lembaga yang ditunjuk pemerintah menangani permasalahan tersebut agar 
mendapatkan keridhaan suami untuk menerima gugatan cerai tersebut. Sebab, 
terjadinya al-khulu’, tetap dengan keridhaan suami. Demikianlah pendapat 
mayoritas ulama bahwasanya al-khulu’ tidak sah kecuali dengan keridhaan 
suami.[7] 

Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Maka wanita diperbolehkan 
mengajukan gugatan cerai (al-khulu’) dari suami dan menceraikannya bila suami 
meridhainya".[8]

Demikian, cukup jelas solusi yang diberikan Islam dalam menangani masalah KDRT. 
Keuntungan dunia dan akhirat akan bisa digapai bila menaatinya. Mudah-mudahan, 
Allah Subhanahu wa Ta'ala membukakan hati kita untuk menerapkan seluruh 
syari'at-Nya dalam semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Wallahu a'lam. 

Maraji`:
1. Dhamanâtu Huqûqi al-Mar`ati az-Zaujiyyah, Dr. Muhammad Ya`qub Muhammad 
ad-Dahlawi, Penerbit Jâmi'ah Islâmiyyah Madînah, Cetakan I, Tahun 1424 H. 
2. Kaukabatul- Khutabil-Munîfati min Mimbaril-Ka'batil-Musyarrafah, kumpulan 
khutbah Dr. 'Abdur-Rahmân as-Sudais, halaman 427-478. Lihat makalah berjudul 
Abghadhul Halâl, an-Nidâ`ul Hâni ila an-Nishfits-Tsâni, az-Zawâju Hashânatun 
wab Tihâj, Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât.
3. Shahîh Fiqhis Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin Sayyid Salim, Penerbit Maktabah 
at-Tauqifiyyah. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât
[2]. Adh-Dhamânât, 156-160.
[3]. Lihat artikei almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2382/slash/0
[4]. Dinukil dari kitab Dhamânât Huqûq al-Mar`ah al-Zaujiyyah, Muhammad Ya’qub 
ad-Dahlawi, hlm. 149.
[5]. Al-Mughni, 10/269. Dinukil dari Dhamânât, hlm. 149.
[6]. I’lâm al-Muwaqqi’în, 4/110.
[7]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, 3/357.
[8]. Al-Muhalla, 1/235. 
                                          

Kirim email ke