thanks p'wis...bali memang beda dengan pulau-pulau lainnya di NKRI...dan itulah 
yang membuat bali terlihat cantik dan menarik bagi wisatawan. konsep tri hita 
karana memang masih relevan digunakan untuk menata bali tetap menjadi bali 
tanpa 
mengesampingkan tuntutan dan tantangan jaman yang semakin modern, namun konsep 
yang apik nan harmonis menjadi tidak harmonis karena bobroknya moral dan mental 
manusia itu sendiri...saya gak habis pikir mendengar cerita kawan tentang 
pencurian pratima tersebut yang pelakunya adalah "oknum pemangku pura dalem" 
akibat dorongan nafsu duniawi yang tak terkendali...weweewewe, dunia sudah 
semakin edan....kasus lemukih juga sarat dengan kepentingan dan korbannya tetap 
masyarakat kecil yang ingin bertahan dan mempertahankan kehidupannya...miris 
mendengarnya...... perubahan kearah positive paling cepet bisa terwujud hanya 
dengan  menggunakan kewenangan melalui leadership yang baik dari seorang 
pemimpin tanpa ada embel-embel konflik kepentingan...tapi kapan 
ya.....wualawualam, kata amin rais...hehehehheeee
salam, 
gede suardana
kubutambahan




________________________________
From: Asana Viebeke Lengkong <asan...@indo.net.id>
To: bali@lp3b.or.id
Sent: Sun, November 7, 2010 3:05:25 PM
Subject: [bali] Re: Bali Menyimpan Banyak Beban

 
P Wis,
 
Interesting article.  Thank you.  Bali itu termasuk besar nggak ya.... ???
 
Yang ngerti bahwa itu pratime ya Cuma orang Bali saja.... kalau orang asingnya 
Cuma tau bahwa itu barang bagus layak di perdagangkan, disamping itu juga 
banyak 
yang barang di buat baru dan kemudian di antikan.
 
Ada nggak yang bisa menjabarkan transformasi soscial yang kemudian bisa menjadi 
action plan dan dapat di laksanakan sedikit semampunya???
 
Mungkin bisa di share????
 
vieb
 
From:bali-bou...@lp3b.or.id [mailto:bali-bou...@lp3b.or.id] On Behalf Of Gde 
Wisnaya Wisna
Sent: 07 Nopember 2010 7:17
To: bali@lp3b.or.id
Subject: [bali] Bali Menyimpan Banyak Beban
 
BALI MENYIMPAN BANYAK BEBAN
Oleh : Gde Wisnaya Wisna
Seorang ahli psikoanalisa dari Jerman yang sangat terkenal dan hidup antara 
tahun 1856 s/d 1939 yaitu Sigmon Freud, pernah mengatakan bahwa manusia hidup 
memiliki 2 naluri, yaitu naluri kehidupan dan naluri kematian. Naluri kehidupan 
merupakan dorongan spontan dari dalam diri manusia untuk hidup dan tumbuh, 
termasuk keinginan untuk mempertahankan kehidupan. Sementara naluri kematian 
adalah dorongan spontan dari dalam diri manusia berkaitan dengan keinginan 
mengakhiri kehidupannya menuju kematian, dan juga keinginan menghancurkan pihak 
lain. Kedua naluri ini berdampingan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan 
lainnya. Baik naluri untuk bertahan hidup maupun naluri untuk menghancurkan 
eksis bersama dalam satu pribadi manusia yang utuh..
    Dalam konteks yang disampaikan oleh Sigmon Freud tersebut, Bali nampaknya 
harus mawas diri dalam melangkah ke masa depan. Berbagai peristiwa yang terjadi 
belakangan ini seperti penggugatan Perda RTRW Bali oleh sekelompok masyarakat 
Bali sendiri, pencurian pretima , kerusakan lingkungan dan konflik adat sangat 
membuat miris hati kita. Sejauh ini Bali dikenal dengan sebutan banyak nama 
yang 
indah-indah, seperti Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, Pulau Sorga, Pulau 
Kahyangan dan lain-lain. Tentu orang luar yang mengagumi Bali yang memberikan 
nama tersebut. Tahun 2009 Bali juga menjadi pulau tujuan wisata terbaik di asia 
pasifik. Tapi kecendrungan perkembangan Bali ternyata menjauh dari makna 
nama-nama tersebut.
 
Terganggunya Parhyangan 
    Tanpa disadari, naluri orang Bali untuk menghancurkan dirinya sendiri kini 
sedang bekerja dengan laju yang mengkhawatirkan.Tiga pilar kehidupan orang 
Bali, 
yaitu parhyangan, palemahan dan pawongan, sedang mengalami ujian berat. Di 
bidang Parhyangan, misalkan soal radius kesucian pura yang sedang digugat di 
Mahkamah Agung oleh semeton Bali. Pura adalah tempat suci orang Hindu di Bali 
dalam melaksana upacara dan upakara agama. Karena kesuciannya yang perlu 
dilindungi, perda RTRW Bali telah mengatur agar jarak 5 km dari Pura tidak 
dibangun fasilitas pariwisata, yang mungkin mencemari kesucian Pura. Aturan ini 
rupanya tidak disenangi oleh investor. Dan melalui tangan-tangan orang Bali 
sendiri, yaitu sebagian dari masyarakat Pecatu, investor ingin agar MA 
menganulir ketentuan tersebut. Jika MA mengabulkan, maka sudah bisa 
dibayangkan, 
bahwa tidak akan ada sejengkal tanah Bali yang disisakan oleh investor. Masih 
soal yang berkaitan dengan bidang parhyangan, kedamaian kehidupan agama di Bali 
juga diguncang melalui pencurian benda-benda sakral di Pura, yaitu 
pretima-pretima yang merupakan perlambang dari Betara-Betari, yang disungsung 
dan dipuja umat Hindu di Bali. Yang mengejutkan, pencurinya adalah orang Bali, 
sementara penadahnya orang asing. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 150 pretima 
yang ditemukan di salah satu Villa milik seorang warga Negara Prancis.
 
Kehancuran Palemahan
    Destruksi palemahan Bali semakin hari akan semakin sulit dibendung bila 
tidak dikawal dengan waspada. Tentu memori kita masih menyimpan dengan baik, 
bagaimana kasus Loloan Yeh Poh di Kuta Utara cukup menggemparkan di tahun 2007 
yang lalu. Investor sudah memiliki HGB menyender campuan sungai/loloan yang 
dianggap suci oleh masyarakat. Investor menginginkan Loloan tersebut menjadi 
resort wisata. Padahal ada SK Bupati Badung yang melarang membangun resort 
wisata di daerah loloan. Masyarakat di 8 desa adat disana protes. Setiap sudut 
palemahan Bali bagi investor ibarat gadis cantik. Apalagi kalau sudah 
menyangkut 
gunung, sungai maupun danau. Begitu juga halnya dengan danau Buyan yang sangat 
diminati oleh investor. Padahal danau Buyan adalah kawasan Suci yang menjadi 
sumber mata air utama bagi masyarakat. Kemudian, sampai saat kini masih tetap 
ada yang mencoba melanjutkan upaya eksplorasi panas bumi di daerah hulu Bali, 
yaitu Bedugul. Benar-benar, nasib palemahan Bali kian mengkhawatirkan karena 
wilayah hutannya juga sudah sangat berkurang. Ada sekitar 18,4 % hutan Bali 
dalam keadaan kritis akibat penebangan liar oleh orang Bali yang tidak 
terkendali, selain sebanyak 264 hektar hutan juga dibakar oleh orang Bali. 
Sampah plastic maupun sampah beracun juga mulai mengancam palemahan Bali dan 
sampai sekarang perda yang akan mengaturnya belum selesai dibuat oleh DPRD. 
Palemahan Bali yang kecil ini sebentar lagi tidak akan mampu memberikan daya 
dukung bagi kehidupan mahluk hidup, karena setiap jengkal tanah sudah dikapling.
 
Konflik Meluas
    Bidang pawongan tidak kalah gawatnya. Konflik adat yang banyak bermunculan 
dalam 2 pekan ini menyajikan drama sosial dalam episode yang menyedihkan. 
Lihatlah konflik di Cemagi Badung. Kemudian konflik di Gianyar antara dusun 
Ketandan dan dusun Tegalingah. Dan yang paling menyedot perhatian, konflik 
sengketa tanah di desa Lemukih antara masyarakat desa adat dengan pemegang 
sertifikat tanah. Perang batu antara pihak yang bertikai dan bahkan saling 
membakar rumah maupun membunuh telah terjadi dalam konflik-konflik tersebut. 
Pun 
tidak hanya dalam setiap konflik adat saja terjadi kekerasan. Beberapa bulan 
lalu juga terjadi korban akibat konflik antar pemuda saat terjadi gerak jalan 
agustusan di Buleleng. Jelaslah, sudah mulai punah konsep hidup orang Bali yang 
begitu luhung dinyatakan dalam pepatah “paras paros sarpanaya selunglung 
sebayantaka”. Keseimbangan dan keselarasan hubungan antar manusia begitu mudah 
tergelincir menjadi konflik. Sesama orang Bali lantas bisa saling 
menghancurkan. 
Gambaran buram masalah sosial dan kemasyarakatan Bali makin dilengkapi dengan 
perilaku generasi mudanya yang suka mabuk-mabukan dan mengkonsumsi miras 
oplosan. Kita sering membaca, makin banyak saja korban mati anak-anak muda 
karena menenggak minuman keras yang dioplos.
 
Mengawal Transformasi Sosial
    Bali sedang mengalami suatu proses transformasi sosial. Transformasi sosial 
diartikan sebagai perubahan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan, seperti 
tata nilai, pranata sosial, wawasan, cara berpikir, atau kebiasaan yang telah 
lama terjadi di masyarakat dan sebagainya. Perubahan nilai-nilai yang dibawa 
dalam proses transformasi ini memberikan ekses negatif sebagaimana berdampak 
pada hal-hal yang telah dijelaskan diatas. Perlu pengawalan dalam proses 
transformasi tersebut, sehingga dapat berlangsung dengan harmonis. Siapakah 
yang 
bertugas mengawal ? Tidak lain adalah para pemimpin formal maupun non-formal 
mulai dari tingkatan paling bawah sampai paling atas. Segala sesuatu akan 
bersumber dari pemimpinnya, termasuk berbagai kebijakan yang dikeluarkan. 
Leadership yang mampu mengelola proses transformasi sosial yang akan 
menyelamatkan Bali dari naluri kematian dan penghancuran.(***)
 


-- 
Gde Wisnaya Wisna
Jl.Dewi Sartika Utara 32A
Singaraja-Bali


      

Kirim email ke