Om Suastiastu
Bali tidak mau belajar dari LUAR BALI... Saat ini orang-orang Hindu Bali masih berfikir, bahwa Pratima itu benda suci jadi tidak mungkin dicuri..karena Ida Batara melindungi Pura tsb dari pencurian ...ini salah besar.. Kami yang tinggal di Luar Bali juga membuat Pura pura yang besar-besar, tapi tidak ada pratima yang dicuri..kenapa? Karena kami tahu pencuri harus diatasi oleh kita sendiri dan bukan oleh teori Bahwa benda suci tidak bisa dicuri... Di setiap pura di Luar Bali, umumnya (90%) selalu dilengkapi dengan rumah Penjaga Pura ..jadi pura di Jaga 24 Jam ... Seperti di Pura kami di Sangatta, Kutai Timur, kami tempatkan 3 Penjaga Pura, lengkap dengan rumah dan fasilitasnya... Di Pura Bontang, selain ada penjaga Pura, juga Pratima di dalam Pura itu di-lapisi dinding beton dan ditaruh di dalam Brankas dari Baja .. Demikian juga di Pura Tenggarong dan Pura Samarinda.... Jadi kalau mau umat Hindu di Bali mesti studi banding ke Luar Bali bagaimana mengamankan pratima-pratima di Pura.. Suksme Ngurah Ambara -----Original Message----- From: bali-bou...@lp3b.or.id [mailto:bali-bou...@lp3b.or.id] On Behalf Of suardana gede Sent: Sunday, November 07, 2010 9:03 PM To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: Bali Menyimpan Banyak Beban thanks p'wis...bali memang beda dengan pulau-pulau lainnya di NKRI...dan itulah yang membuat bali terlihat cantik dan menarik bagi wisatawan. konsep tri hita karana memang masih relevan digunakan untuk menata bali tetap menjadi bali tanpa mengesampingkan tuntutan dan tantangan jaman yang semakin modern, namun konsep yang apik nan harmonis menjadi tidak harmonis karena bobroknya moral dan mental manusia itu sendiri...saya gak habis pikir mendengar cerita kawan tentang pencurian pratima tersebut yang pelakunya adalah "oknum pemangku pura dalem" akibat dorongan nafsu duniawi yang tak terkendali...weweewewe, dunia sudah semakin edan....kasus lemukih juga sarat dengan kepentingan dan korbannya tetap masyarakat kecil yang ingin bertahan dan mempertahankan kehidupannya...miris mendengarnya...... perubahan kearah positive paling cepet bisa terwujud hanya dengan menggunakan kewenangan melalui leadership yang baik dari seorang pemimpin tanpa ada embel-embel konflik kepentingan...tapi kapan ya.....wualawualam, kata amin rais...hehehehheeee salam, gede suardana kubutambahan ________________________________ From: Asana Viebeke Lengkong <asan...@indo.net.id> To: bali@lp3b.or.id Sent: Sun, November 7, 2010 3:05:25 PM Subject: [bali] Re: Bali Menyimpan Banyak Beban P Wis, Interesting article. Thank you. Bali itu termasuk besar nggak ya.... ??? Yang ngerti bahwa itu pratime ya Cuma orang Bali saja.... kalau orang asingnya Cuma tau bahwa itu barang bagus layak di perdagangkan, disamping itu juga banyak yang barang di buat baru dan kemudian di antikan. Ada nggak yang bisa menjabarkan transformasi soscial yang kemudian bisa menjadi action plan dan dapat di laksanakan sedikit semampunya??? Mungkin bisa di share???? vieb From: bali-bou...@lp3b.or.id [mailto:bali-bou...@lp3b.or.id] On Behalf Of Gde Wisnaya Wisna Sent: 07 Nopember 2010 7:17 To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Bali Menyimpan Banyak Beban BALI MENYIMPAN BANYAK BEBAN Oleh : Gde Wisnaya Wisna Seorang ahli psikoanalisa dari Jerman yang sangat terkenal dan hidup antara tahun 1856 s/d 1939 yaitu Sigmon Freud, pernah mengatakan bahwa manusia hidup memiliki 2 naluri, yaitu naluri kehidupan dan naluri kematian. Naluri kehidupan merupakan dorongan spontan dari dalam diri manusia untuk hidup dan tumbuh, termasuk keinginan untuk mempertahankan kehidupan. Sementara naluri kematian adalah dorongan spontan dari dalam diri manusia berkaitan dengan keinginan mengakhiri kehidupannya menuju kematian, dan juga keinginan menghancurkan pihak lain. Kedua naluri ini berdampingan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Baik naluri untuk bertahan hidup maupun naluri untuk menghancurkan eksis bersama dalam satu pribadi manusia yang utuh.. Dalam konteks yang disampaikan oleh Sigmon Freud tersebut, Bali nampaknya harus mawas diri dalam melangkah ke masa depan. Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini seperti penggugatan Perda RTRW Bali oleh sekelompok masyarakat Bali sendiri, pencurian pretima , kerusakan lingkungan dan konflik adat sangat membuat miris hati kita. Sejauh ini Bali dikenal dengan sebutan banyak nama yang indah-indah, seperti Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, Pulau Sorga, Pulau Kahyangan dan lain-lain. Tentu orang luar yang mengagumi Bali yang memberikan nama tersebut. Tahun 2009 Bali juga menjadi pulau tujuan wisata terbaik di asia pasifik. Tapi kecendrungan perkembangan Bali ternyata menjauh dari makna nama-nama tersebut. Terganggunya Parhyangan Tanpa disadari, naluri orang Bali untuk menghancurkan dirinya sendiri kini sedang bekerja dengan laju yang mengkhawatirkan.Tiga pilar kehidupan orang Bali, yaitu parhyangan, palemahan dan pawongan, sedang mengalami ujian berat. Di bidang Parhyangan, misalkan soal radius kesucian pura yang sedang digugat di Mahkamah Agung oleh semeton Bali. Pura adalah tempat suci orang Hindu di Bali dalam melaksana upacara dan upakara agama. Karena kesuciannya yang perlu dilindungi, perda RTRW Bali telah mengatur agar jarak 5 km dari Pura tidak dibangun fasilitas pariwisata, yang mungkin mencemari kesucian Pura. Aturan ini rupanya tidak disenangi oleh investor. Dan melalui tangan-tangan orang Bali sendiri, yaitu sebagian dari masyarakat Pecatu, investor ingin agar MA menganulir ketentuan tersebut. Jika MA mengabulkan, maka sudah bisa dibayangkan, bahwa tidak akan ada sejengkal tanah Bali yang disisakan oleh investor. Masih soal yang berkaitan dengan bidang parhyangan, kedamaian kehidupan agama di Bali juga diguncang melalui pencurian benda-benda sakral di Pura, yaitu pretima-pretima yang merupakan perlambang dari Betara-Betari, yang disungsung dan dipuja umat Hindu di Bali. Yang mengejutkan, pencurinya adalah orang Bali, sementara penadahnya orang asing. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 150 pretima yang ditemukan di salah satu Villa milik seorang warga Negara Prancis. Kehancuran Palemahan Destruksi palemahan Bali semakin hari akan semakin sulit dibendung bila tidak dikawal dengan waspada. Tentu memori kita masih menyimpan dengan baik, bagaimana kasus Loloan Yeh Poh di Kuta Utara cukup menggemparkan di tahun 2007 yang lalu. Investor sudah memiliki HGB menyender campuan sungai/loloan yang dianggap suci oleh masyarakat. Investor menginginkan Loloan tersebut menjadi resort wisata. Padahal ada SK Bupati Badung yang melarang membangun resort wisata di daerah loloan. Masyarakat di 8 desa adat disana protes. Setiap sudut palemahan Bali bagi investor ibarat gadis cantik. Apalagi kalau sudah menyangkut gunung, sungai maupun danau. Begitu juga halnya dengan danau Buyan yang sangat diminati oleh investor. Padahal danau Buyan adalah kawasan Suci yang menjadi sumber mata air utama bagi masyarakat. Kemudian, sampai saat kini masih tetap ada yang mencoba melanjutkan upaya eksplorasi panas bumi di daerah hulu Bali, yaitu Bedugul. Benar-benar, nasib palemahan Bali kian mengkhawatirkan karena wilayah hutannya juga sudah sangat berkurang. Ada sekitar 18,4 % hutan Bali dalam keadaan kritis akibat penebangan liar oleh orang Bali yang tidak terkendali, selain sebanyak 264 hektar hutan juga dibakar oleh orang Bali. Sampah plastic maupun sampah beracun juga mulai mengancam palemahan Bali dan sampai sekarang perda yang akan mengaturnya belum selesai dibuat oleh DPRD. Palemahan Bali yang kecil ini sebentar lagi tidak akan mampu memberikan daya dukung bagi kehidupan mahluk hidup, karena setiap jengkal tanah sudah dikapling. Konflik Meluas Bidang pawongan tidak kalah gawatnya. Konflik adat yang banyak bermunculan dalam 2 pekan ini menyajikan drama sosial dalam episode yang menyedihkan. Lihatlah konflik di Cemagi Badung. Kemudian konflik di Gianyar antara dusun Ketandan dan dusun Tegalingah. Dan yang paling menyedot perhatian, konflik sengketa tanah di desa Lemukih antara masyarakat desa adat dengan pemegang sertifikat tanah. Perang batu antara pihak yang bertikai dan bahkan saling membakar rumah maupun membunuh telah terjadi dalam konflik-konflik tersebut. Pun tidak hanya dalam setiap konflik adat saja terjadi kekerasan. Beberapa bulan lalu juga terjadi korban akibat konflik antar pemuda saat terjadi gerak jalan agustusan di Buleleng. Jelaslah, sudah mulai punah konsep hidup orang Bali yang begitu luhung dinyatakan dalam pepatah "paras paros sarpanaya selunglung sebayantaka". Keseimbangan dan keselarasan hubungan antar manusia begitu mudah tergelincir menjadi konflik. Sesama orang Bali lantas bisa saling menghancurkan. Gambaran buram masalah sosial dan kemasyarakatan Bali makin dilengkapi dengan perilaku generasi mudanya yang suka mabuk-mabukan dan mengkonsumsi miras oplosan. Kita sering membaca, makin banyak saja korban mati anak-anak muda karena menenggak minuman keras yang dioplos. Mengawal Transformasi Sosial Bali sedang mengalami suatu proses transformasi sosial. Transformasi sosial diartikan sebagai perubahan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan, seperti tata nilai, pranata sosial, wawasan, cara berpikir, atau kebiasaan yang telah lama terjadi di masyarakat dan sebagainya. Perubahan nilai-nilai yang dibawa dalam proses transformasi ini memberikan ekses negatif sebagaimana berdampak pada hal-hal yang telah dijelaskan diatas. Perlu pengawalan dalam proses transformasi tersebut, sehingga dapat berlangsung dengan harmonis. Siapakah yang bertugas mengawal ? Tidak lain adalah para pemimpin formal maupun non-formal mulai dari tingkatan paling bawah sampai paling atas. Segala sesuatu akan bersumber dari pemimpinnya, termasuk berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Leadership yang mampu mengelola proses transformasi sosial yang akan menyelamatkan Bali dari naluri kematian dan penghancuran.(***) -- Gde Wisnaya Wisna Jl.Dewi Sartika Utara 32A Singaraja-Bali