On 12/8/05, eMTri Agus <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Kalo cerita yg ini bagaimana ibu2?
> Hi...hi...hi....
>
> Ruang Maya itu Membuatku Bahagia
>
> Tak aku sangka, pertukaran kata-kata antara aku dan dia di ruang maya,
> bisa
> membuatku merasakan lagi sensasi jatuh cinta. Rasa kangen, debaran jantung
> yang keras, senyum yang selalu menghiasi bibirku, wajah yang berseri,
> tumbuh
> di dalam diriku. Sama seperti ketika aku merasakan ini dengan suami, 10
> tahun lalu. Aku berpikir semua ini hanya "keisengan" di ruang internet.
> Tak
> akan meninggalkan bekas apa-apa. Dan aku salah. Kata-kata ternyata adalah
> jantung perasaan kita.
>
> Tak ada masalah dalam rumah tanggaku. Semua aman, terkendali, dan berjalan
> apa adanya. Tak ada orang ketiga, tak ada perselisihan yang membuat asmara
> memudar. Kehidupan ekonomi keluarga yang mapan membuatku rileks menerima
> kehadiran anak-anak, mengantar mereka sekolah, menjemput, dan kemudian
> menunggu suami. Semua berjalan alami. Aku juga dengan ikhlas berhenti
> bekerja ketika karier suami di bank swasta mulai menanjak. Dan kuisi
> kesibukanku dengan membaca, berkebun bunga, dan mengurus anak-anak. Sampai
> suatu hari, suami mengajariku berselancar di internet. Aku pun kecanduan.
>
> Di internet aku bisa membaca apa saja. Mulai mengikuti berita-berita
> nasional dan internasional lebih cepat daripada menunggu koran, juga
> menemukan artikel-artikel yang sangat membantuku mengasuh anak-anak,
> memotivasi suami, memperbaiki bicara dengan mertua, menata rumah,
> psikologi
> usia paro baya, dan pengetahuan umum lainnya. Internet melengkapi
> "kesepianku" ketika siang. Dan, pelan-pelan aku pun ikut milis, semacam
> perkumpulan orang-orang yang punya kesamaan perhatian atau minat. Aku ikut
> milis wanita dan juga milis psikologi. Dari milis itu aku kenal beberapa
> orang, dan kemudian bertukar kabar secara pribadi. Dan dari situ aku
> diajari
> berkomunikasi dengan memanfaatkan chatroom, untuk ngobrol secara langsung.
>
> Pelan tapi pasti, aku mulai menyukai ruang ceting ini. Mendapatkan
> teman-teman yang seide, ngobrol dengan nyaman, dan membicarakan anak-anak
> dengan rileks. Temen-temen cetingku menyebar dari Jakarta sampai Belanda,
> Paris dan Jerman. Mereka ibu-ibu yang menikah dengan bule, atau sedang
> mengikuti suami kuliah dan tugas. Dan ketika suatu hari mereka tidak
> online,
> aku pun iseng masuk ke chatroom umum, di chanel "Jakarta". Mulanya aku
> ngobrol ngalur-ngidul di ruang itu, tapi tiba-tiba aku tertarik dengan
> nick
> (nama yang dipakai saat ceting) Bulan Bugil Bulat. Nama yang unik, dan
> iseng
> aku menegur. Kami lalu terlibat percakapan yang ringan, melempar humor,
> dan
> saling memalsukan identitas. Aku menyebut nama lain, dan dia juga. Ini
> kami
> sadari kemudian.
>
> Hari itu kuakhiri obrolan dengan janji besok "bertemu" lagi. Dan dia
> setuju.
> Besoknya aku memang bertemu dengan dia, dan kami bicara "mojok", dengan
> tidak melibatkan orang lain. Pelan-pelan, perasaan nyaman membuatku bicara
> terbuka, cerita status, dan ngobrolin anak-anak. Dia juga, mulai terbuka,
> bekerja di kantor swasta di Jakarta, punya posisi yang cukup mapan, ayah
> dari 3 anak, dengan istri berkarier di biro hukum. Kami cerita pengalaman
> sehari-hari, cerita kegiatanku menjemput anak-anak. Dia pendengar yang
> baik.
> Dan ketika keakraban mulai kental, aku tahu namanya dan nomor teleponnya.
> Ir
> Hernoxxx, itulah namanya. Dia pandai membawa suasana, menciptakan humor,
> rasa penasaran, penghargaan, dan dia sangat menguasai hal-hal seputar
> rumah
> tangga. Sepertinya rumah tangganya sangat bahagia. Tak ada cerita tentang
> istrinya yang cacad, tak ada cerita tentang anaknya yang nakal. Ia
> memceritakan cara mendidik anak yang luar biasa, yang membuatku sadar
> betapa
> terkonsep sekali "peta" rumah tangganya.
>
> Pelan tapi pasti, muncul rasa simpati padanya. Berbicara dengannya sungguh
> tanpa kata akhir. Apalagi, yahoo mesenger kemudian memfasilitasi ceting
> dengan ngobrol. Kami pun tak lagi harus capek menulis, tapi tinggal bicara
> melalui komputer dan mik. Nyaman sekali, dengan biaya telepon yang hanya
> tersedot untuk modem, murah. Dan yang utama, tak ada tagihan telepon ke
> jakarta di slip.
>
> Pelan, kalau minggu tak berceting, kangenku muncul. Tapi, Mas Dodit yang
> di
> rumah tak membuatku nyaman untuk ceting. Lagipula, aku tak ingin dia tahu
> "ketagihanku" itu. Lucunya, Mas Dodit justru kian melengkapi fasilitas
> cetingku. Dia membelikan kamera, sehingga aku bisa menunukkan aktivitasku
> ketika bicara. Bahkan, saat bicara dengan temen-temen ibu-ibu, aku bisa
> sambil memangku anakku yang kecil. Asyik sekali. Terutama dengan Mas Her,
> aku jadi tahu wajahnya, dan dia pun jadi tahu wajahku. Dia lelaki matang,
> 40-an, di wajahnya tergaris kesabaran dengan sempurna. Dan melihat dia
> bicara dari monitorku sungguh menyenangkan. Suaranya demikian tenang,
> sabar,
> dan lambat. Ia bicara seperti menuntutku untuk menerima tanpa memaksa.
> Gila.
> Aku ketagihan dengan suaranya, dengan percakapan siang bersamanya.
>
> Karena aku tak berani menelpon, dia yang acap menelponku jika tak bisa
> ceting. Dan pelan-pelan aku berani mengatakan kangen, setelah dia mengakui
> juga. Tak kupercaya, aku memiliki PIL yang tak pernah aku tahu seperti apa
> aslinya. PIL yang hanya kulihat di kamera saja. Tapi rasa kangen dan
> sayangku sama seperti dengan ayah dari anakku-anakku, Hendra, Amalia, dan
> Rydina. Dan karena kangen, kadang aku mengikutkan rasa itu saat bicara.
> Aku
> pernah dengan penuh kesadaran membuka kemejaku di depan kamera agar Mas
> Her
> dapat melihatku, karena dia begitu menginginkannya. Aku pernah menaikkan
> rokku agar Mas Her dapat melihat pahaku karena dia ingin menyentuhku. Dan
> dari hal-hal kecil itu, kami akhirnya "bersetubuh" di ruang maya, dengan
> kata-kata dan bantuan kamera. Dan sensasi yang aku dapatkan sungguh luar
> biasa, ruarrr biasa... Aku dan dia beberapa kali melepaskan busana di
> depan
> kamera dan saling --maaf-- bermasturbasi. Ini jika situasi kantornya
> memungkinkan.
>
> Dan ketakutanku muncul, saat dia berencana datang ke Semarang. Aku panik.
> Aku mulai takut. Dan dia tahu, dia tahu, dan tak memaksa. Dia hanya ingin
> berjumpa, tanpa meneruskan "perselingkuhan" di ruang maya itu. Dia datang,
> dan aku menemuinya, di sebuah kafe. Mas Her sangat hangat. Dia tak
> membicarakan satu pun tentang "kegilaan" kami di ruang maya. Dia hanya
> menepuk punggung tanganku, dan merangkulku ketika pamit. Tapi,
> kata-katanya
> di telingaku membuatku panas-dingin. "Tak akan ada yang terjadi jika kita
> sama-sama tak menginginkannya, Ratna... Kita dua manusia dewasa, tak akan
> pernah ada paksa."
>
> Ketika dia kembali ke Jakarta, dan esoknya kami ceting lagi, aku seperti
> gila. Aku melampiaskan semua kemunafikanku di depan kamera. Aku bukakan
> semua tubuhku, aku minta dia menikmatinya, aku akui betapa aku mengingian
> dia, tapi betapa aku juga takut.. Kami "bersetubuh" dengan liar dan
> dahsyat.
>
> Aku tak ada masalah rumah tangga dengan suamiku. Rumah tanggaku bahagia.
> Tapi, di hatiku telah ada orang lain, yang kukangeni sama dengan kangenku
> pada suami. Mungkin pembaca menilai aku "kotor" atau jahat. Tapi
> percayalah,
> aku sungguh tak bisa menghentikan "kegilaan" ini, dengan cara apa pun.
> Apalagi, aku tidak pernah berselingkuh nyata-nyata, hanya di ruang maya.
> Tak
> ada bagian tubuhku yang telah cemar. Tak ada tubuhku yang telah tak
> setia...
> semua masih terjaga, kecuali di ruang maya itu....
>
> [Penuturan Ratna, ibu dengan 3 anak, di Semarang]
> Sumber : suaramerdeka.com
>
> M Tri Agus
> ----------------------


ck-ck-ck....baru punya satu anak dah dapet ujian dgn membaca ini....smoga
gak harus nunggu sampe tiga anak utk tetap tabah dan fight to faith for
everything good...apapun....

mulai mendung di Semarang

Kirim email ke