setojooooo
On 3/14/06, Noni Mira Timotius <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Musim Gugur Kembali di Connecticut, > > Sastra Kita dan RUU APP > > ----------------------------------- > > > > Oleh: Mula Harahap > > > > > > "Tangan Tono masih di perut istrinya. Leher istrinya > > diciumnya lagi. Dibisikkannya beberapa kalimat di > > telinga istrinya. Istrinya tersenyum. Sambil bangkit > > dari pangkuan Tono, istrinya menyeretnya masuk ke > > balik tirai. Mereka mulai menanggalkan baju. Kemudian > > suara dua badan yang dihempaskan di tempat tidur > > terdengar bersama keriutnya besi-besi ranjang...." > > > > "Tono merapatkan badan ke badan istrinya. Sesaat > > sentuhan kulit menggetarkan seluruh syaraf Tono. > > Dirabanya seluruh tubuh istrinya. Dicumnya istrinya > > dengan penuh keberahian. Oh, alangkah nikmatnya > > kebebasan, pikir Tono. Alangkah tahu terimakasih > > penderitaan itu. Dan waktu istrinya menanggapi dengan > > panasnya berahi yang sama, seonggok gelombang nafsu > > menggulung kedua tubuh itu...." > > > > "Jam berdentang satu kali di kamar makan. Tono > > tersentak bangun. Istrinya masih tidur di sampingnya. > > Tubuhnya yang telanjang dan tergeletak dengan tenang > > itu mengingatkan Tono pada salah satu lukisan > > Gauguin..." > > > > "Tono mengangkat jaketnya. Seperti biasa dia cium dulu > > lengan-lengan jaketnya. Hidungnya menyengir sebentar. > > Bau mani kering menusuk hidungnya. Dia tersenyum. > > Istrinya tersenyum..." > > > > Kalimat-kalimat di atas saya ambil dari cerpen "Musim > > Gugur Kembali di Connecticut" karya Umar Kayam. Dia > > bukan saya ambil dari sebuah "buku stensilan" konsumsi > > anak remaja. > > > > Siapa pun yang telah membaca cerpen ini pasti akan > > setuju bahwa di dalam berkarya tidak ada maksud dari > > Umar Kayam--sastrawan besar itu--untuk memancing > > selera rendah pembacanya. Kalimat-kalimat itu > > dipakainya sebagai simbol gairah seorang manusia > > terhadap kehidupan; manakala nalurinya telah mencium > > bau kematian. "Musim Gugur Kembali di Connecticut" > > bercerita tentang tragedi seorang intelektual bernama > > Tono yang dituduh terlibat PKI, dan yang kemudian > > digiring oleh sekelompok tentara ke sebuah kebun > > karet. > > > > Simbolisasi terhadap suatu hal, yang dilakukan lewat > > penggambaran aktivitas seksual, tentu saja akan kita > > temukan di banyak karya sastra. Dia ada di novel Ahmad > > Tohari, Pramoedya Ananta Toer, Somerset Maugham, Yukio > > Mishima, Fira Basuki, Guy de Maupassant, Ayu Utami dan > > lain sebagainya. Dia juga ada di filem-filem karya > > sutradara seperti Woody Allen, Bellini, Akira > > Kurosawa, Ingmar Bergman dsb. > > > > Lalu bagaimana kita harus "mendamaikan" penggambaran > > aktivitas seksual dalam karya sastra--sebagaimana yang > > telah diuraikan di atas--dengan kalimat-kalimat di > > bawah ini? > > > > "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau > > rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan > > film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau > > lukisan yang mengeksploitasi daya tarik aktivitas > > orang dalam berhubungan seks atau melakukan aktivitas > > yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan > > berlawanan jenis...." > > > > "Setiap orang dilarang menyiarkan, memperdengarkan, > > mempertontonkan atau menempelkan tulisan, suara atau > > rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan > > film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau > > lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh > > tertentu yang sensual dari orang dewasa melalui media > > massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat > > komunikasi media...." > > > > "Setiap orang dilarang menyiarkan, memperdengarkan, > > mempertontonkan atau menempelkan tulisan, suara atau > > rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan > > film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau > > lukisan yang mengeksploitasi aktivitas orang yang > > berciuman bibir melalui media massa cetak, media massa > > elektronik dan/atau alat komunikasi medio...." > > > > "Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan > > menggunakan karya seni yang mengandung sifat > > pornografi di media massa cetak, media massa > > elektronik, atau alat komunikasi medio, dan yang > > berada di tempat-tempat umum yang bukan dimaksudkan > > sebagai tempat pertunjukan karya seni...." > > > > Kalimat-kalimat yang saya kutip kemudian ini adalah > > bunyi pasal-pasal--ada 11 bab dan 93 pasal > > banyaknya--dari RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang > > sedang digodok di DPR. > > > > Para pembela RUU mungkin akan menuduh saya terlalu > > mengada-ada. "Undang-undang tidak akan mengatur sampai > > sedemikian jauh," mungkin begitulah kata mereka. > > > > Tapi saya rasa, undang-undang tidak bisa bersifat > > "permissive" dan "main kecuali-kecualian". Begitu ia > > diundangkan, ia harus dijalankan dengan tegas dan tak > > boleh di-"multi-tafsirkan". (Atau--kalau > > tidak--pasal-pasal yang menyeramkan atau bisa > > di-"multi-tafsirkan" itu lebih baik dibuang). > > > > Kalau ia dibiarkan mengambang; maka ia akan membuka > > peluang bagi para "law-enforcer" dan preman-preman > > untuk melakukan pemerasan. > > > > Atau, para pembela RUU Pornografi itu mungkin akan > > berkata, "Kalau tidak mau didakwa sebagai melanggar > > undang-undang, yah gampang saja, buang saja semua > > kalimat, aliena atau adegan yang bisa dikategorikan > > porno itu dari sastra...." > > > > Tapi sebagai peminat sastra, saya tidak bisa > > membayangkan kenyataan ini kalau harus terjadi. Tidak > > gampang untuk menggunting atau mem-"black-out" hal-hal > > yang menggambarkan aktivitas seksual itu dari sastra. > > Seperti yang saya katakan, hal-hal itu adalah > > simbolisasi dari tema besar yang sedang diusung oleh > > sang pengarang. Atau, ia juga bisa merupakan > > "kepingan-kepingan mosaik" yang utuh dan menyeluruh > > dari sebuah sajak, cerpen, novel, esai atau filem yang > > kreatif. > > > > Memotong atau mem-"black-out" simbolisasi dalam bentuk > > aktivitas seksual dari sebuah novel atau filem sastra > > sama saja halnya dengan menggunting buntut dan telinga > > seekor kelinci. > > > > Atau, haruskah kita membuang dan membakar saja semua > > sastra yang ditengarai mengandung "pornografi" itu? > > Lalu, apa yang akan tersisa bagi kita? Akh, tidak bisa > > saya bayangkan betapa sepinya kehidupan ini. > > > > Sebenarnya saya malu kalau kekhawatiran saya ini > > diketahui oleh seniman-seniman besar seperti Rhoma > > Irama, Inneke Koesherwati dan yang lainnya itu. > > > > Saya takut kalau oleh mereka saya dicap sebagai > > "pembela pornografi yang berlindung di balik alasan > > kreativitas pengarang". Saya juga tidak mau kalau > > sampai dituduh sebagai "orang yang mengorbankan moral > > dan akhlak bangsa demi kebebasan berkreasi". > > > > Tidak ada maksud saya untuk membela pornografi dan > > menghancurkan moral serta akhlak bangsa. Bukan. Bukan > > itu maksud saya. > > > > Tapi saya memang sungguh tak bisa membayangkan sebuah > > kehidupan tanpa sastra. Dan bagi saya, kehidupan tanpa > > sastra adalah juga kehidupan yang tak kalah amoral dan > > bejatnya dengan kehidupan yang bergelimang pornografi. > > > > Karena itu dengan menahan rasa malu dan memohon maaf > > kepada para kampiun akhlak dan moral, saya beranikan > > mengangkat fakta ini. Mudah-mudahan fakta ini menjadi > > perhatian para "drafter" undang-undang. Saya rasa > > mereka cukup tahu bagaimana menjaga keseimbangan > > antara kepastian hukum dan kelangsungan hidup > > kebudayaan. > > > > > ================ > Kirim bunga, http://www.indokado.com > Info balita: http://www.balita-anda.com > Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: > [EMAIL PROTECTED] > Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED] > > -- salam uci bundanya dinda dan dira www.babiesonline.com/babies/a/adinda www.babiesonline.com/babies/s/sadira http://photos.yahoo.com/ucixxx http://icuzzz.blogspot.com