***********************
No virus was detected in the attachment no filename
No virus was detected in the attachment no filename

Your mail has been scanned by InterScan.
***********-***********


Robohnya Perpustakaan Hatta di Jogjakarta

Oleh Reni Nuryani

Hari ini, 26 April 2007, adalah hari ketika Perpustakaan Hatta di Jogjakarta 
roboh. Tak ada memang angin puting beliung mengipas-ngipasi daratan Jogja 
sebagaimana kabar-kabar sebelumnya. Bukan juga para petugas Kamtib kota 
melakukan vandalisme dengan menggaruk sebuah monumen buku.

Perpustakaan Hatta roboh karena disungsep sepi yang tiada berkesudahan. Hatta 
pernah bilang bahwa lawan utama di Digul adalah kesepian. Jika tak mampu 
melawan kesepian itu, maka hitunglah detik-detik kematianmu.

Tapi Perpustakaan Hatta bukan di neraka Digul. Perpustakaan itu menggigil 
setengah mati di tengah-tengah kota yang disekelilingnya mengacak dengan 
sombong mal-mal supermewah.

Tepat di depannya pula yang jaraknya hanya sepelontaran ludah, di Gedung 
Wanitatama Jl Solo, tiap tahun pesta buku digelar dan digeber. Tapi masihkah 
orang yang datang dan pulang menenteng buku-buku baru atau buku-buku obralan 
Jusuf Agency tahu bahwa di seberang jalan itu terdapat tonggak-tonggak yang 
merinci jejak pemikiran Hatta. Sadarkah orang-orang dalam pesta itu bahwa di 
sana, buku-buku itu berjibaku; bukan dengan tangan-tangan intelektual yang haus 
ilmu, tapi berusaha bertahan dari rayapan kutu dan sapuan debu langit-langit 
tripleks gedung yang terjuntai.

Pada Juli 2006 silam, setuturan salah satu petugas, Pak Tulus, Perpustakaan 
Hatta akan diakuisisi UGM. Semua isinya dipindahkan di UPT lantai dua. Namun 
rencana itu tak kunjung dilakukan. Baru sesiang yang redup itu, semua buku 
tonggak itu diangkut. Melihat proses pemindahan itu, bagi mereka pernah menjadi 
pembaca di perpustakaan itu, akan miris. Bayangkanlah seperti para perempuan 
malam digaruk, dikejar, dicengkeram, lalu tubuhnya dilempar ke atas truk.

Bagi Hatta buku adalah "perempuan" dan sekaligus menjadi "istri pertamanya" 
selain Bu Rahmi. Dan perempuan yang membebaskan pikirannya selama menjalani 
hari-hari neraka di Digul itu, hari ini, diperlakukan dengan tak terhormat. 
Raga buku itu dibanting dan dilempar ke dalam mobil dengan mental seorang kuli 
memperlakukan karung-karung beras impor.

Majalah-majalah seperti Sarinah dan bundelan-bundelan macam-macam majalah 
berserak-serakan. Saya kemudian berjalan masuk ke dalam mengitari ruangan 
tempat saya biasanya baca dan duduk sendiri. Tepat di depan foto Hatta yang ada 
di ruang tengah saya benar-benar terpaku. Foto itu seolah meliuk perlahan, 
mengangkat bahu yang rentan dan menggeser tubuh rentanya. Ia seperti gumun dan 
menggumamkan sedih melihat buku-buku penggembleng kecerdasan itu terantuk oleh 
tangan-tangan keras.

Cara Hatta mencintai buku bukanlah mitos dari sebuah gadangan nama yang besar. 
Buku adalah monumen pikiran manusia dan dengan buku
manusia menjadi waras dan tahu sejarah pertumbuhannya dalam buana yang sempit 
ini. Dengan tahu sejarah, manusia akan tahu diri dan
berendah hati di hadapan mahkamah kehidupan.

Maka jangankan dibuang, dibanting, dan dilempar, dilipat saja kertas bukunya, 
Hatta bisa meradang dan tak bisa tidur.

Sudut mata dari foto tua itu menggeletar dengan tangan kiri yang bergetar 
memegangi sebuah buku yang terbuka. Jika Hatta bisa bicara, mungkin ia 
menghardik parau: "Kejamnya negara yang kubangun ini, vandalnya manusia-manusia 
di dalamnya yang tak terbiasa hidup dalam pelukan ibu-ibu pengetahuan. Sungguh 
mereka tak bisa menghargai sejarah bangsanya."

Kemudian saya berjalan dan menghampiri Pak Fauzi, sang kepala jaga. Saya 
bertanya, kapan pertama-tama perpustakaan ini berdiri. Kata Pak Fauzi Perpus 
Hatta sudah berdiri sejak tahun 1950-an di Malioboro. Saya merinding juga. 
Sudah tua betul prasasti Hatta ini. Dalam sejarah, kebetulan saya mahasiswa 
sejarah, tua bukanlah kerapuhan dan karena itu mesti enyah mesti musnah. 
Ketuaan adalah monumen. Ia adalah rumah pulang ingatan ketika tiap hari kita 
disesaki luapan informasi yang datang menyerbu setiap harinya.

Mestinya Perpustakaan Hatta bisa menjadi wisata pengetahuan, sekaligus 
merefleksikan kembali bagaimana pergumulan Hatta dengan buku. Tapi siapa mau 
peduli. Kata Pak Fauzi, kondisinya memprihatinkan seperti ini karena memang tak 
ada yang mau mendonasi. Statusnya juga sebagai "perpustakaan swasta" sudah 
menjurus pada jauhnya uluran tangan pemerintah. "Sejak Orde Baru memang sama 
sekali tak terurus dengan alasan Bung Hatta menolak terima bantuan dari 
Soeharto. Ya alasannya beda pahamlah."

Dan inilah berita ketika sebuah perpustakaan terasing(kan) dari pembacanya. 
Perpustakaan Hatta adalah kesempurnaan kisah bagaimana rumah para buku berteduh 
dilamun sangsai. Bahkan Meutia-yang kini sudah jadi menteri-dan dua saudaranya, 
Halida dan Gemala, juga tak banyak membantu. Kalaupun membantu-sedikit sekali 
dan tak mengubah apa pun.

Berjalan tanpa navigasi dan donasi, Pak Fauzi pun limbung untuk menggaji 
karyawan perpustakaan ini. Ia juga heran kenapa Pemda Jogja tak prihatin dan 
tak pernah memberi santunan sama sekali. Yang lebih menyedihkan lagi... 
ternyata tanah di mana perpustakaan ini berdiri, tiada lain milik UGM. Bahkan 
dalam hidupnya yang sudah setengah abad itu pun, ia hanya numpang di lahan 
orang. Betapa antiklimaksnya kisah perpustakaan historik ini.

Dan setelah perpustakaan ini disingkirkan, entah diperuntukkan untuk apa tanah 
itu. Semoga saja bukan untuk mall. Kalau itu terjadi lengkaplah nestapa Hatta. 
Ia dengan berdarah-darah membangun konsepsi ekonomi Indonesia dengan menulis 
buku-buku babon ekonomi; dan justru ekonomi pula yang mengalahkan dan 
menghancurkan buku-buku warisannya.

Boleh jadi buku-buku Hatta itu akan terawat dengan baik di Perpustakaan UGM, 
yang kabarnya sih akan diberi rak khusus yang diberi nama Hatta Collection. 
Namun kisah tentang pemindahan itu menandai bahwa begitu rapuhnya kita ini 
menjaga monumen-monumen ingatan tentang Hatta. Urusannya memang tiadanya 
perawatan atas buku-buku lawas Hatta itu. Ujung urusan juga pada akhirnya 
ketiadaan uang. Susah untuk mengandai-andai, mana yang duluan: uang atau 
kreativitas mengelola perpustakaan. Sebab nyaris semua orang juga tahu, bahwa 
jika tak ada sepotong nama Hatta di bangunan yang berdiri di atas tanah yang 
jembar itu, bangunan itu sangat representatif untuk syuting film-film horor 
saking wingitnya.

Dan sekarang, bukan cuma tripleksnya yang menggelambir dari langit-langit dan 
cat dindingnya yang kusam dicengkeram lumut dan rumput-rumput liar; tapi juga 
nama Hatta pun ikut musnah dari Jalan Solo itu. Inilah akhir dari pertarungan 
Perpustakaan Hatta melawan rasa sepi menyayat di tengah kota yang kian gila ini.

Nasib perpustakaan ini memang hanya mengulang setepat-tepatnya ucapan Hatta 
lebih dari setengah abad silam di Tanah Merah sebagaimana sudah saya kutipkan 
di awal artikel ini.

(Artikel ini disunting Muhidin M Dahlan)

dikutip dari www.indonesiabuku.blogspot.com

Kirim email ke